Quantcast
Channel: Foi Fun!
Viewing all 133 articles
Browse latest View live

Ravel Junardy: Bikin Festival Musik itu Tidak Menguntungkan

$
0
0

Titimangsa 2012, Ravel Junardy bertemu dengan Stevie Item. Mereka berbincang tentang kemungkinan membuat festival musik metal tingkat nasional. “Sekalian saja tingkat internasional,” kenang Ravel, pria usia 30-an dengan tertawa kecil.

Setelah pertemuan itu, mereka lanjut bertemu dengan Krisna Sadrach, pemain bass Sucker Head. Mereka bertiga akhirnya sepakat membuat Hammersonic di bawah bendera Revision Live Entertainment. Ravel menjabat sebagai Chairman, dan Krisna bertindak selaku Chief Operating Officer. Sebermulanya adalah modal keberanian dan beberapa jaringan yang dipunyai Ravel. Bahkan kantor saja mereka belum punya.

“Saat itu kami ngantornya di angkringan Fatmawati,” kenang Ravel.

Hammersonic pertama kali mengudara pada 28 Apri 2012 di Senayan, Jakarta Pusat. Saat itu penampilnya ada Deadsquad (band yang digawangi Stevie), Koil, Burgerkill, Sucker Head, hingga band internasional seperti D.R.I dan Suffocation. Helatan pertama ini dikunjungi sekitar 15.000 penonton. 

Festival metal ini terus berkembang. Mereka benar-benar menjadi festival musik skala internasional, sesuatu yang sejak awal dicanangkan. Ada banyak band metal kelas wahid yang pernah manggung di sini. Dari Cannibal Corpse, Kreator, Bullet for My Valentine, Angra, Lamb of God, hingga Megadeth. Sekarang, Hammersonic sudah menjelma sebagai festival musik metal dan rock terbesar di Asia Tenggara.

Tahun 2018, Hammersonic mengusung tema Metalveva Jayamahe, yang diartikan bebas sebagai dengan metal kita berjaya. Kali ini In Flames, band heavy metal asal Swedia, yang jadi penampil utama di festival yang diadakan di Ancol Dreamland, 22 Juli 2018. Selain In Flames, ada pula nama-nama seperti Dead Kennedys dari Amerika Serikat, Koil, dan Deadsquad. Menariknya, dalam rilis pers, dituliskan bahwa Hammersonic tahun ini bisa jadi yang terakhir. Dalam konferensi pers, berkali-kali panitia menyebut bahwa ini adalah, “…the last of us,” yang kemudian melahirkan isu bahwa tahun ini adalah Hammersonic terakhir.

Pada Juli 2018, saya bertemu dengan Ravel Junardy untuk berbincang tentang Hammersonic, tentang festival musik, hingga kenapa kita tak perlu terlalu terpaku pada The Big Four. Juga bagaimana ia dan timnya terus menyalakan mesin serta menjaga agar Hammersonic tetap ada dan terus menjadi salah satu festival metal terbesar di Asia.

Sebenarnya The Last of Us itu benar-benar Hammersonic terakhir, atau hanya gimmick?

Sebenarnya banyak orang yang salah pengertian. The Last of Us itu artinya kita adalah satu-satunya festival rock, metal, terakhir di Indonesia. Jadi lestarikanlah. Kita tahu banyak festival rock yang bagus. Java Rockin’ Land, Bandung Berisik, Rock In Solo. Sekarang tinggal kami doang, gak ada lagi yang lain. Cuma kami yang bertahan, survive, dan yang masih terus-terusan mau bikin festival ini.

Di konferensi pers kemarin, juga di rilis pers, dibilang bahwa tahun ini mungkin Hammersonic yang terakhir. Jadi bukan yang terakhir ya?

Kita enggak tahu, kita enggak bisa jawab juga. Karena kita enggak tahu seperti apa keadaan di depan, kondisi politik atau apa.

Tapi optimistis tahun depan ada lagi?

Saya sih selalu optimis. Semoga bukan yang terakhir. Sayang sekali, karena ini festival metal terakhir. Masa sudah yang terakhir, jadi berakhir.

Ini tahun ketujuh, apa yang membedakan dari festival pertama?

Yang membedakan, kami kini lebih wide genre musiknya. Banyak cibiran dari netizen dan banyak orang. Dari tahun pertama sudah banyak yang gak suka.

Karena? Apakah perkara genre?

Tidak juga. Dari tahun pertama sudah banyak yang gak suka. Karena politiknya juga. Di genre metal sendiri ada semacam pengkotak-kotakan. Banyak itu terjadi. Ada yang dari tahun pertama, (metal) satu jari lah. Saya sih gak terlalu mikir. Yang penting jalanin dulu saja lah.

Jadi tahun ini kami bikin lebih luas, tidak gitu-gitu saja. Karena kalau melulu metal, metal, metal, orang pasti bosen juga. Terbukti, dari bisnisnya setahun ini industri drop.

Bisnis Hammersonic drop?

Enggak, untuk semua industri metal. Saya banyak ngobrol juga dengan semua pelaku industri. Penjualan merchandise saja turun 80 persen.

Mulai kapan tim Hammersonic berpikir kalian harus melebarkan genre?

Dari dua tahun lalu. Sebenarnya melebarkan genre itu bukan dalam arti mendatangkan band pop. Tetap satu benang merah, musik keras.

Pertanyaan ini paling dasar: bikin festival musik itu menguntungkan enggak sih?

(terdiam cukup lama). Pertanyaan ini cukup sulit dijawab. Menguntungkannya tidak selalu materi sih. Kalau mau bikin festival yang bagus, bagus banget, jawabannya: tidak menguntungkan.

Bahkan untuk skala besar dan berkesinambungan seperti Hammersonic?

Nggak menguntungkan (geleng kepala). Secara finansial enggak menguntungkan.

Lalu apa yang membuat Hammersonic jalan terus?

Dukungan dari fans-fans kami lah. Kalau enggak ada itu ya… Saya sering membaca komentar-komentar di media sosial. Yang mencerca kadang bikin saya mikir, kenapa harus kayak gitu? Tapi banyak juga yang membela (Hammersonic). Ternyata ada juga ya fans yang bener-bener fans. Enggak peduli siapa artisnya, mereka tetap mendukung. Mereka itu yang bikin kami jalan terus.

Jadi kasarannya, bikin festival musik itu adalah kegiatan membakar uang?

(Terdiam lama). Uhm, jadi sebenarnya ada nilai lain: nama. Ada branding yang kami bangun. Uang yang kami keluarkan untuk bikin festival, itu jadi nilai branding. Buktinya, kami jual merchandise laku. Padahal kami jual eksklusif, hanya di acara. Kalau kami mikir finansial doang, kami akan jual merchandise sebanyak-banyaknya. Kami jadiin seperti clothing. Tapi saya gak mau. Nanti hilang nilai idealismenya. Jadi tetap, merchandise hanya dijual di venue. Kayak gitu yang bisa kami kembangin. Kami naikin brandingnya.

Tapi anda tidak menampik kan kalau sebuah festival musik sebagai bisnis, harus tetap menguntungkan supaya bisa terus berjalan?

Memang betul. Sebuah bisnis itu harus menguntungkan untuk bisa berjalan. Dari sisi Hammersonic, ini ditopang oleh bisnis-bisnis lain. Analoginya, kami harus terus memoles kekurangan agar jadi lebih baik. Evaluasi. Sebagai brand, maupun prestise.

Menurut anda, apa kekurangan Hammersonic hingga sekarang?

Produksi. Punya kita masih kalah jauh dibandingkan produksi festival di luar negeri. Tahun ini kami satu-satunya festival rock yang skala panggungnya benar-benar bagus. Sekelas produksi Wacken, atau Hell Fest. Setiap tahun kita aiming ke situ. Kami datengin alat-alat yang paling bagus, yang bahkan rental company pun harus import. Dari Australia, atau lampu dari Singapura.

Di Indonesia belum ada yang bisa menyediakan itu?

Belum ada. Ya itu, dua yang bisa menyediakan adalah Sumber Ria dan Focus Production. Tapi mereka akhirnya tetap harus impor. Karena di Indonesia belum ada yang pakai. Kayak lampu yang dipakai band In Flames, di Indonesia gak ada yang punya. Tetap impor. Mereka bisnisnya berkembang, saya “paksa” mereka untuk beli barang impor itu. Saya bayar dengan harga yang masuk akal. Akhirnya Indonesia juga belajar. Banyak festival musik sekarang mencontoh produksinya Hammersonic.

Tim Hammersonic pernah mencatat rata-rata penonton per tahun?

Di angka 30 ribuan.

Target tahun ini berapa?

Kami gak pernah bikin target. Bagi kami, kalau penonton puas dan senang, itu rasanya melebihi target.

Tapi grafik penonton naik terus?

Naik turun sih. Dari sisi ekonomi, misalnya.

Apakah komposisi line up berpengaruh?

Sedikit sih. Tapi yang baru bagi kami adalah, kami gak lagi tergantung pada festival-festival di sekitar kami. Kami gak lagi nunggu Australia, gak lagi nunggu Jepang. Kami langsung booking direct ke musisinya. Mereka yang ikut jadwal kami.

Apakah ini karena sumber pendanaan lebih gede?

Karena saya males nunggu-nunggu jadwal sebenarnya. Jadi ya udah. Kami nentuin tanggal, siapa saja artis yang bisa. Kayak In Flames, misalnya. Bener-bener dari Swedia, langsung ke sini. Minggu depannya mereka main di festival Borgholm Brinner di Swedia. Jadi mereka khusus main di Hammersonic. Dan ini pertama kalinya mereka main di Asia Tenggara.

Pendekatan seperti ini mulai kapan dipakai?

Sejak dua tahun terakhir lah.

Itu lebih efektif?

Kalau dari segi cost, lebih mahal. Jauh lebih mahal, hingga 3 kali lipat. Tapi kami lebih punya banyak pilihan. Karena kami juga harus mikir, line up yang kami mau datangkan, siapa yang belum datang. Karena misalkan, semua orang minta Slayer. Namun begitu Slayer didatangkan, bingung tahun depannya mau mendatangkan siapa. Kami menjaga agar itu tak terjadi.

Apakah itu yang terjadi setelah kalian mengundang Megadeth? Apakah ada beban untuk mengundang nama lain dari Big 4 (istilah di dunia thrash metal untuk menyebut Metallica, Slayer, Megadeth, dan Anthrax)?

Enggak ah. Menurut saya, istilah itu hanya analogi nama doang. Bahkan dari empat itu, ini belum tentu jadi band terbesar di dunia, kecuali Metallica ya. Bahkan Anthrax, main di festivalnya In Flames, namanya di bawah In Flames. Jadi itu hanya istilah bisnisnya John Jackson (nama agen booking yang pernah berkiprah di ICM dan Fair Warning, banyak menangani band-band rock). Itu pun hanya thrash metal. Okelah, kalau di thrash, mereka yang terbesar. Tapi jangan lupa, di thrash ada Kreator, juga ada banyak band lain dari Eropa. Menurut saya, bukan itu band metal terbesar di dunia. Mau dikemanain Iron Maiden? Mau dikemanain Judas Priest? Slipknot?

Contohnya: Slayer main di Santiago. Ditonton paling sekitar 5.000 orang. Tapi Iron Maiden di Santiago, penontonnya 100.000. Intinya sih menurut saya, jangan terlalu terpaku pada nama besar, Big 4 itu saja.

Di Indonesia, Hammersonic “dituntut” mendatangkan nama besar, Slayer misalkan?

Adaaa. Tapi kami punya strategi bisnis sendiri. Kami gak mau tahun ini datengin Slayer, tapi tahun depannya kami bingung datengin siapa. Masih banyak band-band selain Slayer yang harus didatangkan lebih dulu. In Flames, misalnya. Ini band keren banget menurut saya. Mereka jadi influence dari band-band metal baru, Trivium contohnya. Tapi karena In Flames ini dari Eropa, begitu pula Rammstein, jadinya agak kurang dilirik. Banyak orang Indonesia terlalu American minded. Padahal kalau di Eropa, Rammstein itu keren banget.

Avantasia, misalkan. Gak banyak yang tahu kan? Tobias Sammet, dia main di Wacken itu 100.000 orang yang nonton. Di sana besar. Kita perlu edukasi, bahwa metal itu bukan hanya Big 4.

Dan Hammersonic ingin mengedukasi itu?

Oh iya, kami ingin mengedukasi, terus mengedukasi penonton kami. Dari segala hal, gak hanya musik. Tapi juga dari tata cara menonton festival, terus dari harga tiket. Orang pada komplain harga tiket Hammersonic 400 ribu itu mahal. Coba saja cek, kami ini paling murah. Karena kami selalu menjaga agar daya beli masih terjangkau.

Dalam konferensi pers Hammersonic, ada yang menyebut Hammersonic setengah hati dalam mengundang line up. Menurut anda?

Setengah hati jelas enggak. Mungkin itu tipe orang yang mengkotak-kotakkan. Tahun ini, In Flames adalah headline utama Wacken. Nama dia dicetak paling besar, paling atas. Berarti kalau kayak gitu, kami gak kalah dong dengan Wacken. Atau Ihsahn dari band black metal Emperor. Dia kalau main di Eropa, selalu ditaruh paling belakang (penampil utama).

Banyak festival musik sudah didukung pemerintah. Hammersonic bagaimana?

Gak ada sama sekali.

Tidak ada keinginan untuk kerja sama, misalkan bantuan terkait imigrasi atau pajak?

Uhm. Enggak sih. Makanya saya bilang kami itu The Last of Us. Kami dipandang sebelah mata, tapi massa kami banyak. Kalau pemerintah tidak mau bantu kami, ya apa boleh buat. Kami ini mendatangkan devisa, lho.  Segitu banyaknya orang luar negeri datang dan menghabiskan uang di sini. Contoh mikronya, Ancol deh. Setiap Hammersonic, Ancol itu pendapatannya selalu naik 40 persen. Bahkan bisa sampai dua kali lipat dibanding pendapat normal. Padahal Ancol ini punya Pemprov DKI. Tapi kami ya tidak didukung (tertawa). Kami gak mencari sih. Orang-orang pemerintah yang harusnya jeli, mana yang potensial untuk jadi pariwisata. Kami sudah jalan tujuh tahun, tapi pemerintah juga gak jeli. Tapi kami ya gak terlalu peduli juga sih.

Sekarang Hammersonic adalah satu-satunya festival metal dan rock skala besar di Indonesia. Bagaimana anda melihat ini? Apakah ini artinya susah membuat festival musik rock yang berkesinambungan? Atau karena genre rock dan metal ini tidak menguntungkan?

Karena festival musik itu susah dibuat. Gak cuma aspek artis. Banyak printilannya. Bisa juga pelaku-pelaku yang terdahulu malas karena gak ada uangnya. Itu yang terjadi pada banyak festival musik rock dan metal. Sebenarnya kami (Revision), juga yang membuat Rock In Solo. Tapi kawan-kawan di Solo punya otonomi untuk membuat, silakan. Tapi ternyata gak jalan.

Kendalanya apa sih? SDM?

Banyak aspek. Dari sisi finansial. Rock in Solo dari tahun pertama sampai tahun terakhir, gak pernah untung. Itu yang bisa saya buka. Begitu pula Hammersonic, dari tahun pertama sampai sekarang, gak pernah untung.

Kalau boleh tahu, untuk menyelenggarakan festival musik sekelas Hammersonic, berapa sih biaya yang dibutuhkan?

Sekitar 2 juta dolar (sekitar Rp29 miliar).

Pemasukan paling besar dari mana? Tiket? Sponsor?

Dari pribadi (terkekeh). Uang dari sponsor paling hanya menutupi 20 persen pengeluaran. Tiket sekitar 30 persen. Sisanya ya pribadi. Cukup mengerikan kan bisnis ini? (tertawa). Tapi di balik itu semua, uang “sekolah” yang saya keluarkan tiap tahun untuk Hammersonic itu jadi nama Hammersonic. Saya pernah ke Papua hingga Aceh, ada kaus bajakan Hammersonic. Bahkan penjualnya gak tahu itu kaus apa. Tapi kaus Hammersonic ada.

Pengeluaran paling besar?

Produksi. 50-50 dengan artis.

Pasti ada titik lelah kan? Bagaimana anda menyikapi itu?

Titik itu sudah terjadi bertahun-tahun lalu. Sudah lewat malah. Jadi saya berpikir, balik lagi ke penggemar Hammersonic. Kami punya fans militan.

Ungkapan “semua untuk penggemar” itu jadi gak klise di sini ya?

Iya, gak klise. Everything for the true fans.

Anda melihat itu sebagai benefit jangka panjang?

Apa ya. Saya ini orang yang rela mengeluarkan uang untuk sesuatu yang saya sayang. Saya sayang Hammersonic sejak awal muncul. Jadi apapun yang terjadi, saya keluarkan. Masalah profit atau non profit, itu urusan ke berapalah.

Sekarang pergi ke festival musik sudah jadi gaya hidup. Makin bermunculan festival musik, dari skala kecil sampai besar. Ada tips untuk orang-orang yang ingin bikin festival musik?

Pertama ya jangan idealis, dalam artian lu harus mainstream untuk cari profit. Sekarang orang bikin festival ya cuma ada dua tipe: orang yang mau cari untung, atau orang yang cuma ingin senang-senang. Mau pilih yang mana? Kalau mau cari untung, ya harus mainstream. Kalau mau senang-senang, ya jangan berharap untung.

Dan Hammersonic yang mana?

Jelas idealis. Idealis menurut saya. Buat seneng-seneng. Jadi kalau kelak fans sudah berhenti mendukung, di situlah akhir Hammersonic.

The post Ravel Junardy: Bikin Festival Musik itu Tidak Menguntungkan appeared first on Foi Fun!.


Dom Lawson: “Jangan Jadi Jurnalis Musik”

$
0
0

Dom Lawson sudah empat kali datang ke Bandung. “Dan setiap ke sini, aku selalu minum kopinya,” kata Dom terkekeh sembari menunjukkan kopi hitam di gelas kertas.

Bisa dibilang Dom terkesima dengan Bandung, kopi, dan kancah musiknya. Dia beberapa kali menulis tentang musik metal di Bandung untuk tempatnya bekerja, Metal Hammer. Di majalah metal terbesar di Inggris ini pula, band metal Bandung, Burgerkill, mendapat penghargaan bergengsi Metal As Fuck di ajang Golden Gods 2013.

Kali ini pria yang juga menulis untuk The Guardian ini datang untuk jadi narasumber di acara Bandung Metal Affair yang diselenggarakan ATAP Class, British Council, dan Museum Kota Bandung. Temanya menarik: Indonesia International Metal Media and Agency Networking. Selain Dom, pembicara lain adalah Luuk Van Gestel dari Doomstar Booking Agent, Kimung dari ATAP Class, dan Samack dari Solidrock.

Di acara itu, Dom banyak berbicara tentang pentingnya merawat jaringan antar metalheads. Selain itu, Dom juga punya ide menarik tentang one stop Indonesian metal website, satu situs khusus yang menulis tentang band-band metal Indonesia. Tentu dalam Bahasa Inggris, agar bisa membantu publik internasional mengenal banyak band metal Indonesia. Ide ini bukannya luput dari kritik, tapi tetap menarik untuk diperbincangkan.

Pada malam harinya, usai menyantap seporsi mie Jambi, Dom banyak berkisah tentang jurnalisme musik dan hidup sebagai seorang jurnalis musik. Pria dengan tindik di hidung bagian kanan ini orang yang hangat dan menyenangkan. Dia banyak tertawa, dan tak segan menertawakan kegetiran pula. Mendengarnya bercerita soal jurnalisme musik, mau tak mau, menghadirkan nostalgia juga romantisasi profesi sebagai jurnalis musik. Ada kepahitan, tapi banyak juga kesenangan di sana.


Bisa diceritakan bagaimana sih dunia jurnalisme musik di Inggris sekarang? Bagaimana kalian menyikapi dunia digital dan sebagainya.

Ada perubahan besar di sini. Tapi perubahan ini ya sudah mulai terasa sejak akhir era 90-an, saat internet muncul. Tapi sekitar 10 tahun terakhir, penjualan majalan di Inggris mulai menurun drastis. Terutama karena dulu pembeli majalah musik adalah anak-anak muda. Sekarang anak-anak muda gak ada yang membaca majalah. Aku punya anak perempuan remaja, dan dia gak baca majalah, tapi dari media sosial.

Kupikir sih memang masih ada pangsa pasar untuk majalah, masih ada yang membeli majalahku (Metal Hammer). Tapi sekarang pembacanya adalah kebanyakan orang berusia lebih tua. Tapi perubahan terbesar di dunia jurnalisme musik, paling tidak yang kualami, adalah ketika dulu aku memulai profesi di dunia ini: dulu orang sering bilang tidak perduli apa yang ditulis oleh para jurnalis musik, tapi sebenarnya mereka peduli.

Dulu, jurnalis musik menjadi jembatan antara pelaku di industri musik dan para penggemar. Dan orang sepertiku, aku mendengarkan ratusan album per minggu —well, kadang-kadang gak sebanyak itu sih, tapi setidaknya aku mencoba dengerin sebanyak mungkin. Aku menulis album-album bagus, sehingga orang yang gak punya waktu mencari album-album bagus, bisa punya panduan.

Namun sekarang, semua orang merasa bisa menjadi jurnalis musik. Kamu tinggal bikin situs, dan mulai menulis. Jadi sebenarnya di hari-hari ini masih banyak produk jurnalisme musik yang bagus, tapi lebih banyak lagi yang kualitasnya buruk, ditulis oleh orang-orang yang gak paham mau nulis apa.

Jadi di satu sisi, ini semacam demokratisasi jurnalisme musik. Tapi kupikir ini juga ada sisi buruknya.

Apa sisi buruknya, menurutmu?

Orang jadi sinis terhadap para ahli —mereka yang paham tentang apa yang mereka omongkan atau tulis. Waktu aku masih kecil, aku biasa baca majalah dan jurnalis-jurnalis favoritku menulis banyak hal tentang musik, dan mereka paham apa yang mereka tulis. Hal kayak gini bisa terlihat dari tulisan-tulisan mereka.

Tapi sekarang banyak orang merasa punya opini saja sudah cukup. Padahal ya gak cukup, mereka harus bisa menulis dengan baik. Kalau kamu tidak bisa menulis dengan baik, tidak punya konsistensi, maka kamu gak akan bisa jadi jurnalis musik.

Sekarang kan banyak kamu temui orang-orang yang nulis, “Wah aku suka band ini, 10/10!”. Tapi ya segitu saja, dan itu gak cukup untuk disebut sebagai kritik musik. Itu gak ada artinya. Itu adalah penggemar. Memang kamu harus suka apa yang kamu tulis, sih. Tapi ya gak cukup hanya itu.

Jadi begitulah, itu perubahan terbesar yang sekarang dirasakan: pekerjaan jurnalis musik tidak sepenting dulu. Sekarang, misalkan, orang tinggal buka Spotify untuk mencari rekomendasi lagu atau album musik. Dan orang-orang sekarang juga tidak terlalu banyak membaca (media cetak). Jadi ya begitu, para jurnalis musik berusaha keras untuk tetap relevan.

Tapi jadi jurnalis tetap terasa punya peran penting. Misalkan ketika aku datang ke Bandung dan menulis tentang scene metal Bandung untuk Metal Hammer, aku bisa melihat dampak tulisanku di sini. Jadi setidaknya aku merasa tulisanku punya nilai.

Memang sekarang pekerjaan jadi jurnalis musik itu berat sih. Aku masih mencintai pekerjaanku, sama seperti dulu. Tapi ya sulit menikmatinya seperti dulu, karena banyak hal yang berubah. Dan orang-orang sudah mengonsumsi musik dengan cara yang berbeda.

Menurutmu, perubahan-perubahan seperti itu lebih banyak baiknya atau buruknya?

Sebenarnya ini bukan soal baik atau buruk, bukan dua-duanya. Tapi perkara perubahan zaman, sih. Aku bisa saja mengeluh tentang banyak hal. Ini soal perkara adaptasi saja. Dan sayangnya, aku mungkin sudah terlalu tua. Aku gak terlalu banyak menghabiskan waktu di media sosial, dan aku masih membaca majalah.

Kurasa, masih banyak penggemar musik garis keras yang masih mau membaca jurnalisme musik yang bagus. Masalahnya adalah mencari cara agar mereka  mau membayar untuk produk itu. Itu tantangannya sekarang. Karena sekarang banyak orang bisa mendapatkan banyak hal gratis di internet.

Bentuk jurnalisme musik selalu berubah, kan. Dari cetak ke digital, dari teks ke audio, lalu ke visual. Kamu punya akun YouTube dan sering bikin vlog. Banyak juga jurnalis musik yang bikin podcast. Menurutmu, apa kemampuan menulis itu masih penting bagi jurnalis musik, ketimbang katakanlah, memproduksi video?

Kemampuan lain selain menulis itu mungkin bagian dari jurnalisme musik. Tapi kamu harus menentukan yang mana fokusmu, dan kamu mau jadi seperti apa. Kamu tentu saja bisa jadi apapun, tapi menurutku kamu gak akan bisa jadi jurnalis musik terbaik kalau konsentrasi ke video YouTube. Karena menurutku, orang akan selalu membaca.

Nyaris semua orang bisa membuat video atau podcast di masa sekarang, tapi gak semua orang bisa menjadi penulis yang bagus. Gak semua orang bisa membuat tulisan 4.000-an kata tentang sebuah band. Ya tentu saja orang bisa mencoba, tapi kan ada bedanya tulisan 4.000 kata yang bagus dengan tulisan 4.000 kata yang jelek (tertawa).

Aku banyak membaca tulisan jelek. Gak punya struktur, penulis bingung mau ngomongin apa, lebih banyak trivia. Dan skill menulis itu yang menurutku jadi penting. Tentu, kalau kamu pengen menghasilkan uang di zaman sekarang, kamu harus ada di YouTube, punya podcast, atau gitulah.

Di Inggris, bagaimana nasib media musik alternatif?

Tidak sebanyak zaman dulu, tapi masih lumayan banyak. Dulu banyak zine punk, atau fanzine. Sekarang ya masih ada, tapi banyak juga yang beralih ke situs. Banyak yang masih bikin, tapi ya hanya sebagai hobi, tidak untuk cari duit. Tapi hal itu berharga buat banyak band. Karena publikasi ya tetap bentuk promosi toh. Ditulis di 20 situs bawah tanah, ya itu tetap promosi. Itu bisa membantu.

Tapi ya gitulah, ini masa sulit buat para jurnalis musik.

Kondisi sulit itu juga menerpa para jurnalis musik di Inggris dan Amerika ya?

Yeah. Dulu ada banyak majalah musik. Tapi sekarang industri musik sudah tidak lagi menghasilkan uang seperti dulu, dan orang tidak mau mengambil risiko besar untuk membuat majalah musik baru, karena kemungkinan besar tidak akan laku. Dan yang sudah ada pun, tetap harus berjuang keras.

Zaman dulu, majalah ya saingan dengan majalah. Tapi sekarang sudah harus bersaing dengan media sosial, games, acara televisi, dan lain-lain. Metal Hammer memang masih bertahan. Ia punya karakter kuat sebagai majalah heavy metal dari Britania. Orang tahu apa yang kami tulis. Dan kami sudah berusia 30an tahun.

Kalau orang mau bikin majalah musik, kayaknya harus benar-benar niche. Misal, majalah brutal death metal. Atau kamu harus bikin produk yang benar-benar high quality, mewah. Memang sulit sih. Majalah musik macam Kerrang, Metal Hammer, Classic Rock, mungkin mereka hanya akan bertahan beberapa tahun lagi, 10 tahunan kira-kira? Karena kelak, pada akhirnya semua akan jadi online. Metal Hammer sendiri sekarang sedang ngembangin situsnya.

Mana yang lebih banyak pembacanya? Online atau majalah kalian?

Keunggulan online adalah, bisa menjangkau lebih banyak pembaca. Saat ini, laman Metal Hammer di Facebook punya sekitar 2 juta penggemar. Sedangkan majalah, terjual sekitar 20 ribuan eksemplar. Cukup bagus untuk majalah, tapi ya tidak cukup.

Menurutmu, apa tantangan terbesar bagi jurnalisme musik sekarang?

Tetap relevan. Ya, menjadi tetap relevan itu adalah hal yang paling sukar. Berjalan beriringan dengan teknologi itu relatif mudah, akan ada orang yang dibayar untuk mengurusi teknologi. Perusahaan akan membayar orang untuk itu. Selain tetap relevan, hal sulit lainnya adalah meyakinkan orang-orang bahwa menulis itu masih penting dan punya makna. Menulis tulisan panjang yang enak dibaca, bukan sekadar berita pendek dan cepat. Karena internet menghasilkan itu, tulisan yang selesai dibaca dalam beberapa detik.

Di zaman kejayaan majalah cetak, aku biasa duduk santai di pagi hari, membaca feature lima halaman tentang band metal sembari minum teh. Itu adalah hal yang menyenangkan. Dan masih mungkin mengajarkan kesenangan seperti itu ke anak-anak muda.

Menurutmu itu mungkin?

Sulit, tapi tidak mustahil. Sekarang anak-anak muda mulai membeli piringan hitam lagi. 30 tahun lalu, orang akan bilang itu mustahil, tapi sekarang terjadi toh. Di Britania Raya, penjualan piringan hitam sudah melampaui penjualan CD.

Di Indonesia, salah satu masalah yang terjadi adalah, banyak media musik tidak berjalan dengan berkesinambungan. Mereka kesusahan mendapat pemasukan yang cukup untuk bisa bertahan. Bagaimana dengan media besar di Inggris, mereka juga mengalami masalah yang sama?

Ya. Metal Hammer pernah mengalaminya juga. Kami dinaungi perusahaan bernama Team Rock. Dan mereka bangkrut karena gak paham apa yang mereka kerjakan. Untungnya, perusahaan penerbitan lama yang pernah menaungi Metal Hammer dan Classic Rock membeli kami kembali. Tapi ya mereka tidak menanamkan investasi baru. Jadi mereka menghidupkan kami kembali, membiayai, tapi ya tidak ada modal baru. Jadi kami tidak bisa ekspansi besar-besaran.

Menurutmu, ada gak sih formula untuk bikin majalah musik yang bisa tahan lama?

Jujur, enggak (tertawa). Semua orang sepertinya gak punya formula itu. Kayaknya orang-orang juga belum menemukan solusi terhadap penurunan oplah majalah. Iya, memang industri majalah masih ada. Kalau kamu pergi ke bandara, majalah-majalah gampang dijumpai di rak toko buku bandara. Tapi majalah musik? Gak terlalu.

Majalah musik masih punya performa bagus di Jerman dan beberapa negara Eropa. Tapi, lagi-lagi, sekarang online lebih penting. Ya dunia sudah berubah, cara orang mengonsumsi berita juga sudah berubah.

Yang bisa kamu lakukan adalah bikin konten sebagus mungkin. Dan bikin tulisan sebagus mungkin, sembari berharap para pembaca menyadari tulisanmu itu bagus. Jadi ketika kamu menulis, para pembaca itu akan tahu siapa yang menulis dan menjadi pembaca setiamu.

Cuma itu yang bisa kamu lakukan (tertawa). Dan lagi, kalau mau kenyamanan dan keamanan, jangan jadi jurnalis musik, palingan kamu hanya dapat musik gratis (tertawa).

Melanjutkan idemu soal one stop Indonesian metal website agar musik metal Indonesia diketahui publik internasional, menurutku ide itu malah terlalu besar dan merepotkan. Bagaimana kalau idenya adalah media luar negeri membuka jalan bagi penulis Indonesia untuk mengirim tulisan. Ke Metal Hammer, misalkan? 

Semua tergantung seberapa bagus tulisan Bahasa Inggrismu. Ini tentang standar tulisan. Kalau misal Metal Hammer punya orang Indonesia yang bisa menulis Bahasa Inggris dengan baik, dan punya banyak hal menarik untuk ditulis, ya kenapa tidak?

Sayangnya, scene musik metal di Indonesia belum jadi sesuatu yang besar di luar Indonesia atau Asia. Jadi tidak terlalu banyak kesempatan buat menulis metal Indonesia. Tapi kalau scene metal ini akan lebih dikenal di luar internasional, ya maka kesempatannya akan terbuka lebar. Mungkin 10 tahun lagi, Indonesia akan jadi salah satu scene metal terbesar. Dan di saat seperti itu, majalah-majalah musik besar akan menulis tentang Indonesia lebih sering. Mereka akan lebih sering meminta kontributor orang Indonesia untuk menulis, ketimbang mengirimkan penulis dari luar negeri kayak aku, karena ongkosnya ribuan dolar (tertawa).

Sekarang ini, jurnalis musik di tempat kalian masih dapat kiriman CD atau link Spotify sih?

Sebagian besar label sekarang ngasihnya linkdownload. Biasanya aku dapat tumpukan CD dari label, sekarang sudah berkurang sih. Sekarang dua atau tiga CD per minggu. Tapi aku dikirimi 50 link download album-album baru per minggu.

Dan kamu mendengarkan semuanya?

Aku coba. Biasanya aku denger lagu track pertama dulu. Seringkali, setelah 20 detik lagu pertama itu, kita sudah bisa memutuskan akan lanjut mendengarkan atau berhenti saja.

Beberapa tahun lalu, ketika aku bilang ingin jadi jurnalis musik, seseorang bilang: jangan jadi jurnalis musik. Nasihat itu kuabaikan saja. Kamu punya nasihat bagi para anak muda yang ingin jadi jurnalis musik? 

Nah, itu yang ingin kubilang: jangan jadi jurnalis musik (tertawa). Tapi tergantung sih. Kalau kamu ingin cari uang yang banyak, hidup yang nyaman, keamanan dalam pekerjaan, maka jangan jadi jurnalis musik. Jadi jurnalis musik bukan soal itu sih. Tapi kalau kamu oke-oke saja gak punya banyak uang, dan punya renjana ke musik, ya lakukan saja.

Selama 20 tahun terakhir, hidupku ya naik turun. Aku mengalami banyak kejadian yang menyenangkan dan bikin bahagia, tapi ada juga masa-masa aku miskin, dan itu rasanya sengsara sih. Tapi kalau punya kesempatan memutar waktu pun, aku gak mau menukar hidupku yang sekarang ini.

Aku sudah keliling dunia, menonton band-band favoritku, dan punya banyak teman di seluruh dunia. Itu lebih penting dan lebih berharga ketimbang uang. Jika kamu suka nulis dan suka musik, ya jadi jurnalis musik adalah pekerjaan yang sempurna buat kamu.

Jujur saja, kalau aku kasih tahu berapa honorku jadi penulis musik, kamu akan terkejut dan kaget. Orang-orang selalu mikir kalau aku yang sudah kerja 20 tahun jadi jurnalis musik ini sudah kaya dan hidup nyaman, dan mereka menganggap penulis musik rock ini punya banyak uang. Padahal, gajiku kadang lebih rendah ketimbang orang yang kerja di McDonald’s.

Aku dan pacarku tinggal bareng, dan gaji dia lebih besar. Tapi aku gak punya ego bahwa gaji lelaki harus lebih besar ketimbang perempuan. Aku gak peduli itu. Aku cuma ingin hidup dikelilingi musik, dan itu yang menurutku menarik.

Mendengarkan Iron Maiden sekarang, masih menghadirkan perasaan yang sama ketika aku mendengarkan mereka di masa kecil dulu. Dan aku masih menikmati nulis, walau ya memang gak terlalu menikmati seperti 10 tahun lalu. Tapi aku tetap cinta menulis dan pekerjaanku.

Pagi-pagi bangun, lalu dengerin death metal seharian. Itu pekerjaan bukan sih? (tertawa).

The post Dom Lawson: “Jangan Jadi Jurnalis Musik” appeared first on Foi Fun!.

Perlahan Tua dan Penyakitan

$
0
0

Sekira empat tahun lalu, saya mengantarkan Panjul ke Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta. Saat itu saya kebetulan sedang menginap di markas anak-anak KBEA. Tak lama usai Subuh, saya mendengar Panjul mengerang kesakitan. Saya terbangun, dia sudah merengek.

“Anterin gue ke rumah sakit, Ran. Pinggang gue sakit banget,” ujarnya memelas.

Saya langsung ambil motor, dan kami ke RS. Panjul langsung tiduran di brankar, dan saya yang mengurus administrasi, dokter, dan segala tetek bengeknya. Siang datang, saya harus pulang ke Jakarta. Panjul ditemani oleh pacarnya –yang sekarang jadi mantan, eaaa.

Di kereta, saya dapat kabar dari Panjul kalau ginjalnya bermasalah. Penyebabnya klise: kurang minum air putih dan kebanyakan duduk.

Hitung maju setahun kemudian, giliran Dhani yang merengek pagi-pagi di hari Minggu. Buntelan lemak ini mengabari kalau dia masuk rumah sakit dan tidak ada yang menjaga. Saya berangkat dari Depok untuk menemaninya.

Ternyata penyakit Dhani sama dengan Panjul: batu ginjal. Cuma, Dhani lebih parah. Sejak 2014 saya sekantor dengan Dhani, sampai hapal kebiasaannya.

Dia datang, menaruh tas di bawah meja, buka laptop, dan tenggelam di dunia maya sampai dia bosan. Saat itu, kebetulan pula dia sedang merintis karier jadi selebtwit, jadi harus setiap saat ada di Twitter.

Mungkin dia berhenti menatap laptop ketika harus makan. Dia jarang buang air kecil (lebih sering berak, dan kadang lupa disiram pula, jancuk tenan), nyaris tidak pernah saya melihatnya minum air putih. Baginya, air putih hanya diminum setelah makan. Lain itu, tidak usah.

Batu ginjal Dhani cukup parah, dan mengharuskannya operasi. Dhani cerita, dia dilaser. Hasilnya, gumpalan batu kerikil yang sudah jadi pasir keluar dari lubang kencingnya.

Cerita itu membangkitkan memori menyakitkan belasan tahun lampau, saat saya melihat ayah meringis kesakitan di kamar mandi karena tak bisa kencing. Batu ginjal menyumbat saluran kencingnya. Saya lupa bagaimana akhirnya ayah menghancurkan batu itu, tapi saya tak akan lupa mimik kesakitannya, dan perasaan leganya ketika batu kerikil tajam itu berhasil keluar dari lubang kencing.

Sebetulnya saya sudah dua kali mengalami kesakitan di ginjal. Pertama sekitar tahun 2010. Pulang dari warnet, tiba-tiba saya merasakan sakit di pinggang bagian kanan. Rasanya seperti ditujah belati tumpul. Begitu sakit hingga susah bernapas. Saya langsung meminum dua liter air putih. Rasa sakit itu hilang, untuk kemudian datang lebih dahsyat keesokan harinya.

Saya memaksakan diri untuk pulang dan cerita ke ayah dan mamak soal keluhan ini. Ayah menasehati –tipikal nasehat yang bakal kamu kenang karena ia diceritakan dari orang yang pernah mengalaminya– betapa pentingnya minum air putih.

Saya sempat menceritakan pengalaman menyakitkan itu di postingan lawas. Di tulisan itu, saya sok-sokan ingin hidup sehat, olahraga, dan segala macam omong kosong yang sering kamu dengar dari orang-orang yang baru kena timpa penyakit.

Benar saja, pada 2014, ginjal saya kembali bermasalah. Ini lebih sakit dari pengalaman pertama dulu. Saya sampai tak bisa bergerak, pipis pun harus dikeluarkan di botol. Rani bingung melihat saya kesakitan hingga nyaris tak bisa ngomong. Dia lalu membelikan saya obat di apotek, sembari mengomel dan mengingatkan: jangan malas minum air putih!

Saya cuma mengangguk pasrah, minum obat, lalu minum air putih banyak-banyak. Sampai sekarang, meski saya masih bandel karena jarang sekali minum air putih, penyakit itu tidak pernah datang lagi –walau amat mungkin akan kambuh. Cuk.

***

Sekarang saya sudah berusia 31, Desember nanti akan 32. Sebenarnya usia yang terbilang muda. Namun sejak beberapa waktu silam, usia 30-an sudah masuk usia rawan, masa di mana penyakit mulai berdatangan, bahkan yang sebelumnya tak pernah kamu idap.

Sekira tiga bulan lalu, saya kena tifus untuk pertama kalinya dalam hidup. Awalnya kupikir demam biasa. Lalu sembuh. Tapi malam lemas dan lidah pahit, tak enak makan. Siang mendingan, lalu lemas lagi di malam hari. Rani yang juga sakit, curiga saya kena tipes. Lalu kami berdua periksa ke dokter.

Hasilnya: kami sama-sama kena tifus ringan.

Penyakit ini sering dikaitkan dengan pekerjaan yang terlampau berat hingga bikin kondisi tubuh menurun. Rani amat mungkin kena tifus, sebab dia pekerja keras. Pula, jam biologisnya terbalik, yang rentan bikin kondisi tubuhnya drop.

Lha saya?

Saya bukan pekerja keras, seringkali kerja dari rumah, tak pernah kerja berlebihan hingga lembur, hanya mungkin jam biologis saya yang tak sama dengan manusia kebanyakan. Bisa jadi itu yang memicu kondisi tubuh menurun.

Lalu saya bertanya-tanya; bukankah jam biologis terbalik macam ini sudah saya jalani sejak SMA, dan makin parah ketika kuliah? Kenapa baru sekarang saya kena tifus?

Saya berusaha menjawab sendiri pertanyaan itu: usia. Alias, aku wis tuek. Sederhana, gak banyak analisis ndakik-ndakik. Usia tua nyaris bersinonim dengan kekuatan tubuh yang berkurang. Maka di usia 31 ini, saya makin sering pilek, batuk, juga masuk angin. Kena angin dikit udah mual-mual, huek-huek, berujung minta kerokin. Dulu mana ada. Belagu benar, keluar malam tanpa jaket hingga Subuh. Sekarang, naik motor dari Depok ke Sudirman siang-siang tanpa menutup jaket saja sudah masuk angin.

Penyakit perdana ini belum selesai.

Tiga hari lalu, saya terbangun lalu mendapati dunia berputar kencang. Jangkrik, maki saya. Ini vertigo. Saya merem, dan dunia tetap menggedor-gedor kepala.

Sebenarnya ini bukan penyakit asing. Mamak sering kena vertigo, bahkan beberapa kali opname karena vertigonya parah.

“Wuiiih, koyok munyer-munyer. Trus ngelu, terus muntah,” ujarnya dulu.

Tiga dekade saya hidup, tidak pernah saya kena vertigo. Baru kemarin. Dan benar kata Mamak: dunia berputar di kepalamu, meninggalkan pening dan mual yang menonjok perut. Untungnya vertigo ini tidak terlalu parah, sehingga dua-tiga hari saya sudah pulih dan bisa menulis ini.

Di hari saya kena vertigo, si Putra, kawan baik saya yang kerja di Coffee Life, tiba-tiba kirim pesan.

“Ran, badanku tiba-tiba menggigil, keluar keringat, dan muka pucat. Apakah itu tanda-tanda serangan jantung? Gue ngalamin itu semalam, setelah masak. Pagi ini, habis minum kopi jantung gue juga agak gak enak. Terus agak enakan setelah gue minum air putih.”

Saya agak panik karena ciri-ciri itu adalah jantung yang bermasalah –lagi-lagi bukan penyakit baru di keluarga saya. Ada dua orang keluarga dekat –satu paman dan satu sepupu yang meninggal di usia 34 karena serangan jantung. Ada lagi satu om yang jantungnya bermasalah sejak beberapa tahun lalu, dan diikuti oleh gagal ginjal yang bikin dia harus cuci darah seumur hidupnya.

Si Om ini pernah kena serangan jantung ringan. Ciri-cirinya sama dengan yang dibilang Putra. Badan mendadak kedinginan, lalu jantung serasa diremas sarung tangan berduri, dan mandi keringat.

Maka saya bilang ke Putra buat periksa ke RS. Dia nurut. Hasilnya: jantungnya kecil, disarankan kurangi berat badan dan merokok. Buat yang belum kenal Putra, dengan tinggi badan sekitar 168-170 centimeter, beratnya lebih dari 120 kilogram. Dia sadar bahwa dirinya obesitas. Pernah pula dia diet dan olahraga beberapa waktu lalu. Namun tentu saja berhenti dalam waktu sebentar saja.

“Nanti pagi gue mau jogging,” kata Putra.

Lagi-lagi omong kosong, seperti yang selalu saya gaungkan.

***

Jadi tua itu pasti, tapi menjalani hari tua seperti apa adalah pilihan. Sejak dulu saya sadar: besar kemungkinan hari tua saya tak akan cemerlang-cemerlang amat. Rekam jejak suka makan sembarangan, malas olahraga, dan jam biologis awur-awuran, membuat saya bersiap diri kalau akan kena stroke, diabetes, atau gagal ginjal kelak.

Namun sesiap-siapnya menghadapi hari berat itu, saya gentar juga. Tak ada orang yang benar-benar siap menghadapi penyakit di hari tua. Tak ada.

Dan ini yang kemudian membuat saya berpikir ulang tentang hidup, penyakit, dan kematian. Ini juga berangkat dari pengalaman saya (dan Mamak) mengurus ayah yang stroke selama delapan tahun.

Rasanya kematian itu biasa saja. Namun akan jadi tidak biasa ketika jalan menuju kematian itu berliku, dan ini yang menyebalkan: merepotkan banyak orang. Sebagai orang yang hidup dengan banyak rasa sungkan, hidup dengan banyak penyakit itu akan bikin saya merepotkan banyak orang –sesuatu yang paling saya hindari.

Bayangkan kalau saya kena stroke tapi tidak langsung mati, entah lumpuh, entah setengah lumpuh. Rani tentu saja akan jadi orang yang paling saya repotkan. Dia harus memandikan, membuang kotoran, memasak, kerja, dan berurusan dengan mood penderita stroke yang naik turun dengan cepat sekali.

Hidup macam apa itu?

Saya pernah melihat bentuk cinta tulus ketika Mamak merawat ayah selama satu windu. Namun itu tak indah seperti di dongeng. Saya sering melihat Mamak menangis karena dibentak ayah yang mengalami mood swing, atau kesal karena ayah tidak bisa dinasehati –dia tetap hobi makan sate kambing dan jajan di warung. Juga sering bingung karena kehabisan uang untuk berobat.

Dan percayalah, menjalani laku merawat orang sakit itu sulit. Sulit sekali. Amat sangat sulit.

Saya tak ingin seperti itu, dan tidak ingin Rani melakukan bakti berat seperti itu. Di titik seperti itu, kadang saya berpikir kenapa eutanasia tidak dibolehkan? Memilih untuk mati seharusnya jadi hak asasi tiap orang.

Dulu saya sering sok iye dengan kerap mengutip kalimat The Who yang tersohor itu: I hope I die before get old. Kalimat itu jadi penting bagi saya karena dua hal. Pertama, tentu saja darah muda yang konon akan tercemar ketika usia menapak naik, nyaris tak menyisakan kejayaan apapun. Yang kedua, mungkin ini dorongan alam bawah sadar yang melihat ayah sakit dan Mamak jadi sedih karenanya: saya tak ingin sakit-sakitan dan merepotkan orang yang saya sayang.

Ternyata saya tidak mati ketika melewati usia 27. Artinya saya harus hidup. Untuk apa? Entah. Ada banyak alasan. Mengutip penulis idola saya, Dea Anugrah: hidup itu begitu indah, dan hanya itu yang kita punya.

Hidup, terlepas dari segala ketengikan dan kebusukannya, menyodorkan banyak sisi menyenangkan yang bisa membuat kita berteguh untuk menjalaninya. Mungkin ini akan berbeda antar individu. Tapi di luar dugaan, saya menikmati usia 30-an ini. Bertambah tua, bertambah masa bodoh, sekaligus semakin menghargai hidup dan apa yang ada di dalamnya.

I look around at a beautiful life
Been the upper side of down
Been the inside of out
But we breathe
We breathe

I wanna breeze and an open mind
I wanna swim in the ocean
Wanna take my time for me
All me

Saya menikmati ngopi, ngobrol ngalor ngidul dengan kawan-kawan lama, memasak, bertemu dengan dan nenek-nenek komplek yang membawa cucunya berbelanja di pagi hari, bermain dengan Joplin, dan tentu saja menjalaninya dengan Rani.

Untuk itu, untuk segala alasan bertahan hidup yang mungkin tidak pernah benar-benar ajeg dan barangkali terdengar seperti bualan romantika belaka, saya harus sehat. Kamu juga.

Semoga kita semua mau berusaha untuk hidup, untuk sehat, menjalaninya dengan penuh seluruh. Bersulang untuk hari esok yang sehat.

The post Perlahan Tua dan Penyakitan appeared first on Foi Fun!.

30 Hari Menulis (Lagi)

$
0
0

Halo, blog!

Sudah lama bener kayaknya gak ngisi rumah ini. Barusan saya tengok, banyak sarang laba-laba di sana-sini. Langsung nyapu.

Saya baru saja memasang aplikasi WordPress, biar gampang memantau isi rumah ini (dan dua rumah kecil saya yang lain). Selain itu, biar mudah juga nulis, gak harus via laptop.

Jadi kalian apa kabar? Semoga selalu sehat dan baik-baik saja.

Saya sekarang sedang kedinginan setelah jalan kaki hampir 10 kilometer, dan bengong memandangi perlimaan Picadilly Circus yang riuh itu sambil makan anggur.

Iya, saya sedang ada di Inggris. Sudah dua minggu di sini. Kapan hari sempat main ke Manchester (nonton Manchester United, tentu saja. Mereka menang 3-1 lawan Partizan, yeah!) dan Liverpool (menengok kota Beatles tentu saja, bukan untuk tim bolanya, wekkk!).

Kalau tak ada perubahan rencana, saya akan dua bulan ada di sini. Keberangkatan saya ke Inggris disponsori oleh Komite Buku Nasional dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Jadi sejak 2016,setiap tahun mereka membuat program residensi penulis. Para penulis ini akan mengirim proposal penulisan buku dan di mana negara yang akan dituju. Sejak tahun pertama saya coba melamar. Gagal. Tahun berikutnya tetap kirim proposal. Kembali amsyong. Tahun lalu, kembali kirim proposal. Ditolak lagi. Baru tahun ini proposal saya lolos.

Sejak 2016 itu saya selalu mengajukan tema yang sama: festival musik. Kenapa tema itu? Tema itu adalah tema yang rutin saya baca sejak menggarap tesis medio 2013. Saya juga kerap ngobrol dengan orang-orang yang berkecimpung di dunia penyelenggaraan festival musik. Dan sejak dulu saya ingin membukukan tesis saya itu. Maka klop sudah, kebetulan dapat rejeki lolos residensi.

Lalu kenapa London, kenapa Inggris? Sederhana saja, Inggris adalah negara yang amat serius menggarap pariwisata musik dan festival musik. Ada ratusan festival musik, dari skala festival yang dikelola keluarga, hingga skala gigantis macam Glastonbury atau Reading.

Selain itu, Inggris juga punya dua hal yang saya senangi: musik dan Manchester United. Maka dengan mantap saya memilih Inggris. Tidak seperti, katakanlah, Amerika Serikat yang tidak punya Old Trafford.

Maka ketika saya mendarat di Heathrow pada 31 Oktober malam, saya menghirup udara London dalam-dalam. Wangi impian, jeh. Wkwk.

Dan agar perjalanan saya tidak menguap begitu saja, saya berencana rutin kembali menulis blog ini. Lumayan lah, selain untuk arsip bisa juga untuk mengisi blog yang kosong lama ini.

Jadi mulai besok akan saya mulai proyek 30 hari menulis (entah proyek yang ke berapa ini, wkwk). Doakan semua lancar!

The post 30 Hari Menulis (Lagi) appeared first on Foi Fun!.

Tur Toko Buku London

$
0
0

“Sudah pernah ke Housmans?”

Saya menggeleng sambil tanya: itu apa, Mas?

“Toko buku radikal gitu.”

Mas Eric Sasono, salah satu kritikus film paling dihormati di Indonesia dan baru saja menuntaskan doktoral bidang film di Nottingham, menanyakan perihal Housmans sekitar dua malam lalu. Pangkalnya, kami ngobrol soal buku bekas dan beberapa buku bekas yang saya beli di eBay.

Karena saya belum pernah ke Housmans, maka Mas Eric menawarkan diri untuk memandu saya ke beberapa toko buku. Saya tentu saja menerima tawaran itu dengan riang gembira. Turut ikut: Mbak Shinta, mahasiswa PhD yang juga tinggal di Wisma Siswa Merdeka sekaligus teman baik Mas Eric.

Hari ini kami akhirnya tur toko buku. Karena Mas Eric harus balik ke Nottingham sore harinya, maka hari ini cukup dua toko yang kami sambangi: Housmans dan Judd. Keduanya terletak di Bloomsbury, kawasan dengan banyak kampus dan lekat dengan tradisi literasi yang kuat. Distrik ini pula yang mengilhami lahirnya penerbit Bloomsbury.

Dari luar, Housmans sudah menampakkan identitasnya dengan tegas: toko buku radikal. Di pintu kaca depan, tertulis jelas: Radical book seller since 1945.

Loud and proud, Cuk!

Ketika masuk dan melihat aneka judul buku di rak, wuih, ini tipikal buku yang akan membuat kawan-kawan saya macam Windu Jusuf atau Rio Apinino betah dan ingin menginap di sini. Ada rak soal buruh, komunisme, sosialisme, anarkisme, juga sejarah Rusia. Yang cukup beda: food.

Namun di rak ini, buku makanannya juga senapas dan senada dengan rak lain: banyak buku-buku tentang politik pangan, termasuk buku laris Eating Animals-nya Jonathan Safran Foer dan The Way We Eat Now-nya Bee Wilson.

Tahu saya adalah periset dengan uang saku terbatas, Mas Eric mengajak ke lantai bawah yang banyak berisi buku-buku obralan seharga 1 Pounds.

“Juga ada buku-buku musik di sana,” katanya.

Wah ini!

Benar saja, saya betah sekali di lantai bawah ini. Ada seksi khusus anak-anak yang menghadirkan buku-buku bergambar, pun juga ada buku semacam ini:

Di ruangan khusus buku 1-3 Pounds, saya menemukan beberapa buku menarik. Kumpulan tulisan Bruce Chatwin (dia penulis In Patagonia yang kerap dianggap sebagai salah satu buku perjalanan terbaik sepanjang masa), bunga rampai Nigel Slater tentang kuliner Inggris (dih!), dan In Siberia-nya Colin Thubron, akhirnya berpindah tangan dan siap dibawa ke Indonesia. Hehe.

Di rak musik, buku-bukunya banyak bicara soal punk rock (apa lagi?). Di sudut, juga ada satu rak khusus yang memajang aneka macam zine dengan berbagai jenis tema. Mulai punk, LGBTQ, sampai kesehatan mental. Di bagian bawah rak, ada peringatan yang bikin ketawa kecil: hipster take a bashing! Anti-gentrification zine oppose!

Sebelum keluar, saya juga sempat menyambar sebungkus kopi produk Zapatista untuk beberapa teman di Indonesia. Pasti ini kopi rasa perjuangan.

TOKO BUKU kedua yang kami sambangi adalah Judd, hanya sepuluh menit jalan kaki dari Housmans. Beda dengan toko buku sebelumnya, Judd toko buku umum yang menyediakan berbagai jenis tema. Mulai arsitektur sampai musik. Dari sastra sampai buku kritik film. Harganya pun tidak mahal, berkisar 3 Pounds hingga puluhan Pounds. Ada buku baru, ada pula yang bekas. Sama seperti Housmans, ada banyak buku yang diobral seharga 1 Pounds.

Di rak musik, ada banyak sekali buku tentang jazz, rap, dan hip-hop. Bahkan ada satu rak khusus buku musik klasik. Saya cuma menyambar satu buku saja, Uncommon People: The Rise and Fall of the Rock Stars yang dibanderol 3 Pounds.

Buku David Hepworth ini menarik karena membahas soal fenomena bintang rock dari masa ke masa, sejak Little Richard hingga Kurt Cobain, yang tragedi meninggalnya disebut-sebut sebagai lonceng kepunahan spesies langka bernama rock stars. Tak hanya itu, tadi sekilas saya baca pengantarnya, buku ini juga memberikan konteks perubahan industri musik dan kenapa hal itu (mungkin) membuat bintang rock tak lagi relevan (dan mungkin memang seharusnya begitu?).

Tur buku hari ini diakhiri dengan ngopi sore, sebelum kami berpisah. Mas Eric kembali ke Nottingham, Mbak Shinta lanjut kuliah, dan saya ke British Library buat kerja.

Hari yang menyenangkan!

The post Tur Toko Buku London appeared first on Foi Fun!.

Sejauh Las Vegas Memandang

$
0
0

Saat tulisan ini dibuat, London baru jelang pukul 10 malam. Sedang di Indonesia, sudah mau masuk pukul 3 pagi. Sejak tiga puluh menit lalu, Rani mengabari dirinya baru saja melewati imigrasi.

Sebelumnya, lima jam lalu, dia mengabari tidak bisa check in online. Alasannya selalu sama: nama. Setiap pergi ke negara Paman Sam, Rani selalu dihentikan imigrasi karena namanya dicurigai punya keterkaitan dengan salah satu ustadz yang berjejaring dengan kelompok teroris.

Hari ini Rani akan kembali terbang ke AS. Sebelumnya dia beberapa kali menolak berangkat meski diminta. Sudah setahun Rani enggan kembali ke sana. Baginya, AS tidak semenarik seperti yang digambarkan di film, buku, atau cerita.

“Mungkin karena kamu di sana kerja ya, bukan liburan,” kataku suatu ketika.

Tapi bahkan ketika hari libur pun, Rani tidak menikmatinya. Dulu saya menganggap karena penempatan Rani di Florida, yang sepertinya lebih banyak dihuni aligator ketimbang manusia. Tapi lalu dia ke Vegas, yang menghadirkan banyak gemerlap. Tak betah juga.

Mungkin Rani tidak punya keterikatan emosional dengan AS. Musik, iya. Film, jelas. Tapi tidak lantas membuatnya jadi ingin sekali tinggal dan hidup di sana.

Saya sedikit berbeda dengannya. Saya punya On the Road, Travels with Charley, hair metal, Guns N Roses, Sunset Strip, Harley Davidson and the Marlboro Man, Anthony Bourdain, Franklin BBQ, dan ratusan alasan lain yang menempatkan AS –bersama dengan Inggris dan Jepang– sebagai sesuatu yang memantik fantasi dari tanah jauh.

Tapi melihat kondisi negara itu yang sepertinya tambah ruwet, mungkin Rani ada benarnya. Dan sepanjang tujuh tahun bersama, dari semua perdebatan kami: memang Rani yang benar. Yah, walau saya sering nyolot dan gak mau mengakui kalau dia benar.

Kali ini dia akan ke dua kota, Las Vegas dan Boston. Dan tak lama seperti sebelum-sebelumnya, kali ini cukup tiga minggu. Semoga perjalanan ini bisa memberikan suasana yang sedikit berbeda.

Perjalanan ini mendadak. Rani hanya punya satu minggu untuk persiapan, itu pun setelah Rani keberatan disuruh berangkat cepat-cepat. Sebelumnya, Rani sedang mengurus visa ke Inggris. Dia ingin liburan bareng saya di sini, merayakan tiga hari besar: ulang tahun saya, Natal, dan tahun baru.

Tapi perjalanan ke Las Vegas sedikit mengubah rencana kami. Tapi semoga semua lancar dan kami bisa liburan bareng di sini.

Sedikit intermezzo. Dulu waktu kami masih ngontrak di rusun di Tebet, kami beberapa kali kehujanan di atas motor Mio butut yang sangat berjasa itu. Kalau sudah gitu, biasanya saya dan Rani akan berkelakar.

“Wah, cuacanya kayak di London ya.”

“Iya nih, mirip-mirip di Paris juga.”

Jadi kami sudah memimpikan betul bisa liburan bareng di London sejak beberapa tahun lalu. Guyonan itu terus kami lontarkan setiap kehujanan.

Semoga tahun ini guyonan itu benar jadi kenyataan (walaupun Rani akan menggigil sepanjang hari di sini), semoga kami juga bisa hujan-hujanan di sini, plus berkelakar.

“Nah, ini baru cuaca di London.”

Omong-omong, saya rindu Rani. Sialan.

The post Sejauh Las Vegas Memandang appeared first on Foi Fun!.

Duel Salt Beef Beigel di Brick Lane

$
0
0

Di seruas jalan Brick Lane, yang banyak diisi hipster dan barang-barang vintage berharga menyundul langit, ada dua penjual beigel yang masyhur: Beigel Shop dan Beigel Bake. Keduanya hanya dipisah dua toko dan sama-sama punya hidangan andalan salt beef beigel.

Nama yang pertama lebih dulu ada, sejak 1855! Sedangkan nama kedua, konon masih sanak saudara pendiri Beigel Shop yang akhirnya memutuskan membuka kedai beigelnya sendiri pada 1974 (ada yang bilang 1976). Belakangan, nama kedua ini yang lebih populer.

Oh ya, saya sempat nanya kenapa beigel, bukan bagel. Karena, katanya, kata bagel adalah bentuk Amerikanisasi. Yah, walaupun terma bagel juga dikenal luas di Inggris, sih. Tapi untuk menjaga akarnya, dua kedai ini tetap pakai istilah beigel.

Meski begitu, keduanya sama-sama punya penggemar berat. Itu sama seperti Soto Sukri atau Soto Ayu atau Soto Dahlok; Pecel Walisongo atau Pecel Bu Darum atau Pecel Lumintu; Lawless Burger atau Byurger. Semua punya penggemar masing-masing.

Pada akhirnya, saya memilih Beigel Bake. Tak ada alasan khusus, sih. Hanya penasaran saja.

Di Beigel Bake ada berbagai jenis roti, pastry, dan beigel. Ada yang polosan, ada yang isian. Yang polosan dibanderol 0,30 Pounds. Yang isian harganya mulai 0,40 (pakai selai kacang), hingga 2,20 yang isiannya salmon asap dan krim keju. Tapi pusaka dari kedai beigel ini adalah: salt beef beigel. Harganya pun beda, 4,50 Pounds.

Antriannya panjang, tapi sangkil. Pelayan akan menanyakan pesanan, dijawab, lalu mereka akan memasukkan pesanan ke dalam kantong kertas coklat, dan pembeli tinggal bayar di kasir. Beigel dengan isian populer macam salmon asap, sudah disiapkan terlebih dulu.

Tak ada tempat duduk di sini. Pengunjung yang ingin makan di tempat hanya disediakan meja panjang. Makannya ya sambil berdiri.

Saya pesan dua jenis beigel: salmon asap dan krim keju, dan salt beef. Rencananya saya mau makan yang salmon dulu. Namun wangi daging sapi dan acar yang menguar dari kantong kertas itu akhirnya bikin saya menyerah dan memutuskan mengganyang beigel sapi asin itu.

Seporsi salt beef beigel berupa satu potong beigel yang dibelah tengah, diisi setumpuk irisan tebal sandung lamur yang lemaknya meneteskan kaldu nan gurih, empat helai acar timun, dan seoles mustard Inggris yang lebih tajam dan menyodok hidung.

Juaranya tentu daging sapinya. Warisan boga bangsa Yahudi ini menunjukkan betapa daging yang dimasak sederhana bisa hadir dengan rasa yang kaya. Kalau baca berbagai resep salt beef, nyaris tak ada rempah macam-macam untuk memasak salt beef. Hanya garam, daun salam, wortel, bawang, dan merica. Serupa membuat sop daging, minus rempah yang kaya.

Tapi cara masak berbumbu sederhana ini yang akhirnya mempersilakan daging menunjukkan rasa aslinya. Penuh saripati yang terperangkap dalam daging, dan lemaknya itu… Aduh. Aduh. Aduh.

Pulang dari Beigel Bake, senyum saya lebar sekali. Yah, walaupun kalau ingat sambal terasi jadinya kangen lagi. Hhh.

The post Duel Salt Beef Beigel di Brick Lane appeared first on Foi Fun!.

London Calling Setelah Empat Dekade

$
0
0

Kemarin saya melihat poster ikonik itu di stasiun bawah tanah: seorang pria membanting bass gitar, dengan kata London berwarna merah muda dan Calling berwarna hijau. Rupanya ada pameran untuk memperingati album legendaris dan politis ini.

Desember tahun ini, London Calling, album ketiga band punk rock Inggris, The Clash memasuki usia 40 tahun. Rasanya keren sekali ya, album yang sudah berumur sepanjang itu masih diperingati dengan gegap gempita. Tidak banyak album yang mendapatkan perlakuan seistimewa itu, lebih banyak yang dilupakan begitu saja.

Tak kurang-kurang, pameran London Calling ini diadakan di Museum of London, museum yang konon punya koleksi artefak kehidupan urban terbanyak di dunia. Pameran ini dibuka tanggal 15 November 2019, dan akan berlangsung hingga April 2020 kelak. Lama juga ya.

Sore tadi akhirnya saya mampir ke sana. Yang paling ingin saya tengok adalah bass gitar Fender Precision yang dihantam ke lantai oleh Paul Simonon. Bass itu pernah dipinjamkan ke museum Rock N Roll Hall of Fame, lalu kali ini Paul meminjamkannya untuk pameran.

Bass yang tidak ada duanya itu

Malam itu, The Clash akan bermain di The Palladium, New York. Sayangnya, gedung itu jenis tempat konser bertempat duduk. Jadi, penonton yang ingin berdiri dan berjingkrak akan langsung kena tegur penjaga.

“Itu bikin aku ngamuk, hingga akhirnya membanting bassku,” kata Simonon pada Fender 2011 silam.

Ada kisah menarik soal kapan kejadian ini berlangsung. Berbagai literatur, termasuk liner notes album ini, mengatakan foto yang dijepret oleh Pennie Smith itu diambil pada 21 September 1979. Namun, satu orang penggemar The Clash bernama Dave Marin yang malam itu ada di barisan penonton bilang: tanggal itu salah. Yang benar adalah 20 September 1979.

“Aku telah mengoreksi soal ini selama lebih dari 35 tahun,” ujar Marin pada Wall Street Journal. “Aku cuma pernah sekali melihat pemain band membanting gitar, dan aku melihatnya dengan jelas dan peristiwa itu membekas.”

Meski berkali-kali mengontak sisa personel The Clash yang masih hidup maupun Epic Records dan mereka tidak peduli soal fakta tanggal itu, Marin bergeming. Cita-citanya sederhana: ada ralat dari label ataupun personel bandnya, terutama jika ada rilis ulang London Calling.

Di pameran London Calling, cita-cita Marin terkabul. Di bawah stang Fender yang tengahnya patah itu, ditulislah takarir dengan jelas:

“Pada September 1979, The Clash tampil selama dua malam di New York sebagai bagian dari tur Take the 5th. Paul Simonon membanting bass Fender P-nya pada akhir konser Kamis malam 20 September. Foto yang diambil Pennie Smith malam itu digunakan sebagai sampul London Calling.”

Jika kamu penggemar The Clash, rasanya pasti akan bahagia ada di pameran ini. Lha saya yang bukan penggemar berat mereka saja –cuma dengar London Calling dan Combat Rock (karena ada “Should I Stay or Should I Go”– rasanya senang banget ada di sana.

Total ada 100 lebih barang yang dipamerkan. Selain bass yang paling ikonik itu, ada barang-barang lain yang tak kalah penting. Mulai dari mesin ketik milik Joe Strummer, gitar-gitar milik Joe dan Mick Jones (Fender Squire 1959 dan Gibson ES-295), baju-baju dan jaket, sepatu, kotak gitar, foto-foto lawas, dan catatan tangan lirik. Termasuk tulisan tangan Joe ketika menulis lirik “London Calling”, yang awalnya berjudul “Ice Age”.

Pulangnya, saya mampir beli merchandise pameran ini. Dua zine The Armagiedon Times, dan satu pak kartu pos isi enam lembar. Satu zine buat koleksi saya pribadi, satu lagi buat mentor saya di penulisan musik.

Sedangkan enam lembar kartu pos akan saya kirimkan buat mereka yang mau. Satu lembar akan saya kirim ke Tomi Wibisono, dan satu lagi rencananya buat Mas Kernet, senior saya di kampus yang jadi salah satu figur keren di pergerakan punk rock di Jember. Sisa empat lagi akan saya bagikan saja. Diutamakan yang memang penggemar The Clash, ya. Kirimkan alamat kalian di komentar, nanti siapa yang cepat dia yang dapat.

Sekarang saya sedang menimbang apakah kartu pos akan dikirim dari Inggris atau dari Indonesia saja. Kalau di Inggris, durasi pengirimannya akan lama, bisa berbulan-bulan. Termasuk ada resiko kartu pos hilang. Kalau kalian kirim komentar, sekalian tulis ya mau dikirim dari Inggris atau dari Indonesia.

Tambahan: semua kartu pos sudah ludes ya. Hehe.

The post London Calling Setelah Empat Dekade appeared first on Foi Fun!.


Masak Rendang Pakai Rice Cooker

$
0
0

Saya sudah punya firasat buruk waktu Gita Wiryawan menelpon video via WhatsApp. Sedang jam makan malam di Indonesia, dan saya paham: dia akan pamer menu makan malamnya.

Benar saja. Beberapa menit kemudian, dia mengirim video muka menyebalkannya lengkap dengan gaya rambut yang dimirip-miripkan Paul McCartney, sedang mengganyang dendeng batokok.

Di bagian akhir video, dengan tawa meledek, si Nasalis larvatus ini menunjukkan kerupuk jangek, alias rambak yang diguyur kuah gulai.

“Kerupuk jangek enak juga lho.”

Nenek-nenek juga tahu!

Kesal, sekaligus tergiur, akhirnya saya pergi ke dapur. Bongkar freezer dan mengeluarkan stok daging. Kebetulan kapan hari saya sudah berencana masak rendang. Jauh sebelum si Gita brengsek itu pamer dendeng batokok.

Saya belanja di Wing Yip, pusat perbelanjaan bahan makanan Asia terbesar di London. Pas saya datang ke sana, saya bengong. Buset, gede bener. Nyaris semua bahan makanan Asia umum ada di sana. Dari bahan masakan Korea, Jepang, Thailand, juga Indonesia (rak paling sedikit variannya), semua ada. Kecuali sambal Bu Rudy kayaknya. Huhuhu.

Awalnya saya ingin bikin rendang dari nol, alias bikin bumbu dari bahan syegar. Tapi melihat satu bungkus kecil daun jeruk dihargai 2,5 Pounds, akhirnya saya urungkan niat kurang kerjaan itu. Saya pilih beli bumbu rendang kemasan, santan, bawang merah, putih, dan cabai rawit saja.

Untuk dagingnya, saya pilih yang paling murah: sengkel dan tendon alias urat. Sekilo cuma 4 Pounds. Bagian ini dijual murah mungkin karena dianggap sisa-sisa dari kumpulan yang terbuang. Ciiih, dasar orang Eropa, tak paham bahwa daging berlemak itu justru bagian yang paling mendekati surga.

Bahan sudah lengkap. Masalahnya cuma satu: di wisma tempat tinggal saya itu tidak bisa pakai kompor. Untunglah ada warisan rice cooker dari Eka, mahasiswa S2 asal Bali yang baru lulus dan akan pulang tanggal 20 November ini.

Si Eka sendiri sempat heran waktu dengar niat saya bikin rendang pakai rice cooker.

“Memang bisa, Mas?”

Hohoho. Mengutip Rie McClenny: asal kita tahu cara pakainya, rice cooker (dan magic jar) adalah sahabat terbaikmu.

Kebetulan di Indonesia saya beberapa kali bikin sup buntut pakai magic jar. Tinggal tumis bumbu, masukin buntut, kasih air, lalu dibiarkan saja hingga buntut empuk. Cukup sesekali ditengok kalau-kalau butuh tambahan air. Kalau buntut sudah matang, tinggal masukkan bahan lain seperti kentang, wortel, seledri, dll. Masak lagi sampai kentang dan wortel empuk. Selesai.

Yang lebih enak lagi, masak di magic jar lebih aman ketimbang masak di kompor. Saya pernah ketiduran waktu masak sop buntut. Ketika bangun dan menengok magic jar, airnya sudah habis dan karenanya mode masaknya otomatis pindah ke mode menghangatkan (warm). Kaldunya tertinggal di dasar panci. Buntut sudah super duper empuk. Jadi tinggal tambah air, wortel, dan kentang. Masak lagi. Selesai. Bayangkan kalau saya ketiduran ketika memasak di kompor. Mungkin rumah saya sudah ludes.

Jadi bagaimana metode memasak rendang lewat rice cooker? Mudah sekali *ala YouTuber*. Pertama, tekan mode memasak. Tunggu sampai panci panas. Lalu masukkan bumbu, tumis hingga wangi.

Setelah bumbu matang, masukkan daging. Lalu aduk-aduk hingga daging berselimut bumbu. Tunggu beberapa menit, lalu masukkan santan. Aduk kembali. Lalu masukkan air hingga nyaris penuh. Lalu diamkan saja. Kalau memodifikasi istilah Gordon Ramsay: let the rice cooker do the work.

Sekitar 1,5 atau 2 jam kemudian, bukalah rice cookermu. Akan tampak daging berselimut bumbu kecoklatan dengan wangi rempah yang tak akan kamu temukan di fish and chips. Lalu mendadak perutmu akan keroncongan.

Ndak buruk-buruk amat, kan?

Apakah waktu 2 jam cukup untuk bikin dagingnya empuk? Dalam kasus saya sih iya. Karena daging dimasak dengan cukup lama dan panas yang konsisten. Dengan kata lain, daging dimasak dengan metode yang mirip-mirip slow cooker. Apalagi kalau dagingnya bagian sengkel dan urat yang sifat alamiahnya memang genjur.

Sedikit catatan: tekstur daging sapi bisa amat berbeda di beberapa negara. Semisal 2 jam dagingnya belum empuk juga, tinggal tambahi air saja.

Lalu bagaimana takarannya? Entah, saya tadi pakai perasaan saja. Tips buat yang agak susah pakai perasaan: cek kemasan. Biasanya ditulis petunjuk penggunaan di bagian belakang, dan dikira-kira dari sana.

Di bungkus bumbu rendang yang saya pakai, tertulis kalau satu pak itu bisa untuk masak 1,2 kilo daging. Tadi saya masak sekitar 200-300 gram daging, jadi cukup pakai seperempat bungkus saja. Trus santannya juga pakai perasaan saja, alias secukupnya.

Sebenarnya rendang ini masih berbentuk kalio, alias masih basah. Sebenernya ini akan lebih mantap kalau diselesaikan di atas kompor, dimasak hingga sehitam hatinya Gita Wiryawan. Atau bisa juga dimasak terus pakai mode cook hingga jadi benar-benar kering. Tapi saya keburu punya janji, jadi tidak sempat.

Sepulang dari nongkrong, barulah saya sempat menyendok nasi dan rendangnya. Masya Allah. Bagian yang genjur dan ginuk-ginuk itu meleleh begitu masuk rongga mulut. Bumbunya mlekoh. Dagingnya sama sekali pasrah ketika dirobek pakai tangan kosong. Cabai yang saya masukkan menambah rasa pedas yang begitu saya rindukan.

Untung nasi yang saya makan itu bukan masak sendiri, alias minta ke salah satu penghuni. Coba nasinya masak sendiri, sudah pasti akan nambah.

Jadi, Gita, percuma kau pamer masakan Padang: aku bisa masak sendiri, cah berdikari, kok!

The post Masak Rendang Pakai Rice Cooker appeared first on Foi Fun!.

Tak Ada Hair Metal di Rough Trade

$
0
0

Saya tidak menyangka akan mendengar guyonan jenaka-garing ala British di Rough Trade East. Dan, guyonan itu ditujukan untuk saya.

“Bad t-shirt day, eh?”

Saya awalnya bingung maksud si bapak usia 40-an itu. Lalu saya menundukkan kepala. Tampaklah kuartet dari neraka bernama Motley Crue yang nampang gede-gede, lengkap dengan lingkaran satanik, di kaus yang saya pakai. Lalu saya terkekeh.

Mungkin saya tak teliti, tapi setelah beberapa kali keliling lorong Rough Trade East, memang tak ada hair metal di sini.

Musik era 60-70an menempati posisi terhormat di toko musik yang pertama kali didirikan pada 1976 itu. Raknya paling banyak. Selain dekade, jelas banyak rak berdasar genre. Punk sepertinya paling banyak. Apa boleh buat, toko musik ini berdiri dengan semangat punk rock, dan di masa keemasan punk, pula.

Selain itu, ada pula funk, soul, hip-hop, elektronik, bahkan house music.

Demi Tuhan, house motherfukkin’ music!

Tapi ya sudah lah. Toh saya ke sini tidak untuk beli vinyl. Saya hanya memuaskan keinginan si Faisal, kolega saya di Tirto, yang minta foto-foto Rough Trade. Karena hari ini sedang senggang, ya sudah ke sini saja.

Saya senang suasananya. Setelah pintu masuk, di bagian kiri ada bar yang menjual berbagai kudapan, bir, juga kopi. Di sana banyak dijejer buku saku. Mulai buku Greta Thunberg, sampai esai Plato dan Socrates.

Musik yang diputar variatif, ini tentu tak usah dijelaskan panjang lebar. Penjaganya ada beraneka rupa dan saya yakin punya kutub musik yang amat berbeda.

Yang paling saya ingat yang bentukannya mirip Lester Bang. Komplit pakai celana dan kaos ketat, kumis tebal, dan jaket jeans tanpa lengan. Sekujur tubuhnya seolah menyemburkan aura pria macan era 70-an.

Saya membayangkan replika Lester ini adalah jenis yang menganggap The Doors sebagai gerombolan pemain sirkus dengan vokalis seorang badut berlagak pujangga, dan tiap pagi berdebat keras dengan kawan sesama penjaga yang selera musiknya berbeda, tentang musik siapa yang harus diputar di jam buka toko. Mirip adegan di High Fidelity.

Selain rak musik, Rough Trade East juga menyediakan panggung di bagian belakang. Pas saya datang, kebetulan ada solis asal Prancis bernama La Feline yang akan main. Musiknya pop elektronik berbekal Fender Jaguar dan beberapa set sequencer.

“Saya dari Prancis, dan saya datang dari masa depan. Aku beritahu kalian, masa depan amatlah buruk.”

Siap, bosku.

Saya sempat nonton dia main empat lagu berbahasa Prancis. Saya tak paham dia nyanyi apa, tapi cukup lumayan didengar. Jenis musik yang cocok didengar sambil ngelangut dan memikirkan kiamat.

Selain jual vinyl dan CD, Rough Trade juga menyediakan buku. Banyak buku musik, tapi ada juga buku-buku macam…

Tapi ya jelas banyak buku keren yang sempat menggoda untuk dibawa pulang.


Setelah biduanita Prancis dari masa depan itu kelar manggung, saya pesan coklat hangat, duduk santai sembari membaca selebaran saku tentang album terbaik 2019 pilihan Rough Trade. Saya susuri dari nomor satu hingga terakhir.

Tentu saja tak ada Motley Crue di sana.

The post Tak Ada Hair Metal di Rough Trade appeared first on Foi Fun!.

EFG London Jazz Festival

$
0
0

Mencari festival musik di Inggris pada November itu adalah pekerjaan yang bisa dibilang terlambat. Karena kebanyakan festival musik di sini berlangsung pada musim panas, berawal sekitar bulan Mei, dan biasanya berakhir sekitar bulan Agustus.

Tapi apa sama sekali tak ada festival setelah itu? Ada, tapi tak banyak. Dua dari yang sedikit itu antara lain London Jazz Festival (LJF)dan London Roots Festival. Yang ingin saya ceritakan kali ini adalah festival pertama.

Tahun ini, LJF diadakan pada 15 November sampai 24 November. EFG adalah nama bank besar yang jadi sponsor utama sejak 2013, makanya jadi title name. Mirip bank BNI yang jadi sponsor Java Jazz gitu lah.

Konsep festival ini tidak terpusat di satu venue, melainkan menyebar di beberapa lokasi. Dari gedung besar macam London Barbican (kapasitas 1.100-an kursi), Southbank Centre (kapasitas 900-an kursi), hingga di pub atau bar atau klub kecil seperti Pizza Express Jazz Club, Ronnie Scott’s, hingga Karamel, sebuah bar, galeri seni, dan kafe vegetarian di pinggiran London Utara.

Konsep festival dengan panggung menyebar ini sebenarnya bukan hal baru. Festival Camden, yang merupakan cikal bakal LJF, sudah melakukannya sejak era 1970-an.

Saya pertama kali dengar konsep seperti ini malah dari Wok the Rock, pendiri Yes No Wave, pada 2013 silam. Saat itu, kami ngobrol soal Lockstock Festival yang berakhir tragis. Obrolan itu kemudian melebar ke soal festival musik, dan keinginan Wok untuk bikin festival dengan venue yang tersebar di beberapa titik. Waktu itu, kawasan yang dianggap bisa menampung beberapa panggung adalah sekitar Malioboro hingga ke arah Prawirotaman.

Waktu itu saya tidak membayangkan konsep itu bisa terlaksana di Jakarta, hingga Archipelago Festival bikin konsep seperti itu. Dengan cerdik, penyelenggara mengokupansi kawasan Kemang, Jakarta Selatan, dan bikin gigs di beberapa lokasi.

Balik lagi ke LJF. Tahun ini bintang tamu utamanya adalah Herbie Hancock dan Corinne Bailey Rae. Saya sempat ingin menonton Corinne, tapi tiketnya terjual habis cepat sekali. Hadah.

Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, ada banyak penampilan gratis. Saya lantas menonton beberapa secara acak, yang jamnya sesuai saja. Oh ya, beberapa konser diadakan pas jam makan siang, terutama yang lokasinya ada di restoran.

Saya sempat menonton kuartet asal Jerman yang dipimpin pianis Julia Hulsmann di Southbank Centre. Suasanaya hangat. Beberapa orang usia lanjut menonton di bagian depan sembari memegang segelas wine.

Saya juga sempat menonton O-Janna dan Hubby Horse, duo musisi asal Italia. Mereka main di Barbican Centre. Sama seperti di South Bank, suasanya selo. Bangku dijejer, penonton menyimak sambil menyesap wine atau menenggak bir. Musik duo ini agak campur aduk, ada bossa nova, jazz, bahkan techno. Saya gak begitu mudeng. Haha.

Tapi saya lebih gak mudeng lagi musik yang dimainkan Numb Mob, duo musisi elektronik, atau lebih tepatnya seniman audio visual. Jadi konsep konser mereka adalah perpaduan musik dan video. Mereka tidak main berdua, melainkan dibantu beberapa orang personel tambahan, termasuk yang main drum dan terompet.

Ketika mereka mulai bermain, diputarlah video di dua layar yang terletak di kanan-kiri panggung. Gambarnya berganti tiap beberapa detik. Ikan mati. Pabrik. Lapangan. Sutet. Matahari. Video itu panjangnya 24 menit, untuk menggambarkan siklus satu hari: dari matahari terbit sampai terbit lagi, alias 24 jam.

Saya bengong, juga ngantuk banget, mendengarkan komposisi elektronik selama 24 menit itu. Bingung juga gimana mau menikmatinya. Haha.

Lalu barusan, alias 20 November malam, saya pergi ke Karamel untuk menonton Noah Stoneman, pianis jazz muda. Dia juga rutin manggung dan bikin jam session di Karamel tiap hari Senin.

Usai kerja di British Library, saya pergi ke Utara London, alias ke kawasan Wood Green yang terletak di Zona 3. Kalau dari pusat kota, waktu tempuhnya cukup 30 menit. Tapi kalau dari kawasan saya tinggal di Willesden Green, butuh waktu satu jam.

Stoneman, mantan finalis BBC Young Musician of the Year, mengajak tiga orang kawannya: satu drummer, satu bassist, dan satu vokalis. Stoneman sempat mengenalkan personelnya, tapi karena logatnya seperti kumur-kumur, saya tak bisa menghapalnya. Yang saya ingat adalah, vokalisnya mirip Alexandra Daddario, hehe.

Mereka memainkan beberapa lagu jazz, lengkap pakai improvisasi dan solo. Yang saya tahu cuma “Autumn in New York” yang pernah disenandungkan Billie Holiday.

Konser intim ini berakhir setelah 50 menit. Setelah membayar cider kiwi dan salted caramel cheesecake yang enak sekali, saya bergegas pulang agar tak kemalaman.

Festival jazz ini masih akan berlangsung hingga 24 November. Harus jaga kesehatan.

The post EFG London Jazz Festival appeared first on Foi Fun!.

Lisboa Patisserie, 22 Desember 2019

$
0
0

Aku bangun pagi ini dengan linu di sekujur tubuh. Sisa demam sejak dua hari lalu. Beberapa hari ini, London hujan terus. Tahu begitu, aku malah sok muda dan tak jeri keluar tanpa payung.

Lihatlah akibatnya sekarang, Pak Tua. Batuk, pilek, dan demam. Terima sajalah kenyatannya: tulang dan badanmu sudah tak lagi leluasa diajak begajulan.

Seharusnya kemarin saya ikut beberapa kawan nyekar ke makam Karl Marx. Terpaksa saya urung ikut.

Hari ini aku harusnya bisa menyantap lontong sayur yang disiapkan Mbak Vina dan suaminya, bareng Mbak Shinta, Mas Eric, dan beberapa kawan lain. Terpaksa batal pula. Padahal aku sudah janji mau bawa dendeng batokok bikinan sendiri.

Bangun siang, aku paksa untuk makan: sisa ayam rica dua hari lalu. Masih enak. Aku nambah nasi, pertanda baik tubuh yang berusaha pulih.

Lalu minum obat lagi. Bangun jam 3 sore, dan merasa jauh lebih enak, walau masih ada sisa pilek dan batuk. Aku paksa bangun buat nonton Manchester United. Jancuk, malah dihajar 2-0, oleh tim juru kunci. Mungkin ini waktunya MU gabung Liga Shopee bareng AC Milan?

Tidur lagi sebentar.

Waktu bangun lagi, aku sadar: tubuh gak boleh dimanja. Akhirnya mandi, lalu keluar menuju Lisboa Patisserie di Ladbroke Groove, tak jauh dari rumah berpintu biru di Notting Hill milik William Thacker.

Tentu saja aku sudah kehabisan pastel de nata, alias egg custard ala Portugal yang kondang itu. Di toko kue lawas yang usianya sudah hampir tiga dekade ini, egg custardnya biasanya sudah ludes jam 1-2 siang.

Aku memesan dua kue –satu adonan natas dengan rasa yang amat legit, satu lagi pastry dengan taburan bubuk kayu manis dan kacang almon– dan satu kopi susu. Minuman ini penting, sebab rasanya yang sedikit pahit bisa menetralkan lidah –aku tak terlalu suka kue manis.

Aku lalu melanjutkan baca buku Michael Booth yang sempat tertunda beberapa lama. Selama di sini aku sudah khatam baca dua buku, kejadian yang amat jarang. Seingatku, tahun ini aku baru baca 10 atau 11 buku. Yang paling berkesan adalah Orang-Orang Oetimu yang kubaca habis dalam satu hari saja, saking bagusnya. Kalau buku Booth bisa kutandaskan sebelum 2019 habis, ini bakal jadi catatan baik agar tahun depan bisa menuntaskan lebih banyak buku.

Di sampingku ada bapak tua sedang khusyuk baca selebaran gereja, Sunday Message. Di sebelahnya lagi ada dua perempuan Portugal yang pesan seporsi meringue cake dan dua kopi susu. Di meja paling ujung ada dua pria beruban yang sibuk mencorat-coret entah apa di selembar kertas, mengingatkanku pada gaya Om Ammar dan Mbah Adam ketika bikin kolom buat menebak angka togel.

Hari ini 22 Desember 2019. Selepas 27, kata seorang pujangga, hidup hanya sekadar menunda kekalahan. Hari ini, pas sudah lima tahun sejak aku menjalani fase itu. Di luar dugaan, mengetahui bahwa kita hidup hanya sekadar menunda kekalahan dan karenanya mari bersuka ria saja, cukup membantu menjalani hidup dengan tenang dan santai.

Saya menandaskan kue almond seiring mbak pramusaji dengan sepatu Karrimor hitam-biru mengepel lantai. Tadi dia hampir kepeleset, dan kawannya menertawai tingkahnya.

Sejam lagi, Lisboa akan tutup. Saya juga akan beranjak, menutup buku Booth yang sudah saya lahap hingga halaman 245 (ayo, delapan puluhan halaman lagi!) dan pergi entah ke mana. Saya belum memutuskan. Mungkin ke Camden, mungkin ke Chinatown atau mencari sushi diskon di Japan Centre, atau pulang dan beristirahat agar besok pulih sepenuhnya.

Tugas dan riset saya di London sudah selesai beberapa hari lalu. Saatnya menyelesaikan laporan akhir, menyelesaikan utang editan pada seorang kawan, lalu bersiap pulang ke Indonesia sehari setelah tahun baru.

Di sana aku akan menyambut 2020 seperti biasa.

Atau mungkin waktunya mencari petualangan baru? Entah. Aku belum memutuskan, sama seperti aku yang belum tahu mau ke mana setelah Lisboa menutup tirai.

The post Lisboa Patisserie, 22 Desember 2019 appeared first on Foi Fun!.

Watermelon Sugar… Ugh!

$
0
0

Oh, betapa algoritma ini kurang ajar. Hari itu tertanggal 23 Maret 2020, dan YouTube menyuguhkan rekomendasi yang sekonyong-konyong: video Harry Styles manggung di NPR Music Tiny Desk.

Sebenarnya rekomendasi itu tak aneh-aneh banget, mengingat saya nyaris rutin menyimak acara konser kecil nan intim itu. Beberapa favorit saya adalah ini (siapa yang tidak?)

ini (bayangkan minum es limun di siang yang panas),

ini (macam bersantai di pantai dengan matahari terik Karibia),

ini (membuat sederet kenangan masa kecil berjejalan di kepala),

ini (Ketika kamu mencari blues di sebuah bar kecil di Mississippi, ini yang akan kamu dapat),

dan juga ini (suatu sore pintu rumahmu diketuk oleh seorang diva dan dia minta dibuatkan secangkir teh Earl Grey dengan dua sendok makan gula, lalu dengan senang hati menyanyikan ode-ode patah hati sebagai bayaran atas teh enak itu).

Tapi… Harry Styles? Saya bahkan tak pernah mendengarkan lagunya, satu kali pun.

Masalahnya adalah: sekira tahun lalu, saya iseng berjanji pada diri sendiri untuk lebih berani mengikuti intuisi, termasuk perkara algoritma. Sebelumnya saya nyaris tak pernah ikut saran kecerdasan buatan itu, memilih musik yang nempel dengan nyaman di kuping dan otak sejak 20 tahunan terakhir. Alias selera saya mentok di sana-sana saja.

Iya iya, kebiasaan itu tak baik. Karenanya saya ingin lebih berani mengikuti saran algoritma, terutama di babagan musik. Kalau tidak suka, tinggal matikan. Kalau suka, ya anggap saja bonus dan variasi buat kuping.

Maka dengan alasan itu, saya pasang headphone dan langsung klik video Harry. Sepertinya itu adalah salah satu keputusan penting yang saya ambil di tahun 2020.

Tampil dengan format full band –tiga gitaris (satu merangkap pianis), satu bassist, dan satu drummer– Harry tampak seperti pria yang tersesat dari jagat musik 70-an. Dia beserta rombongannya terdengar seperti David Crosby dari pedesaan Worcestershire. Saya terkesiap.

Yang lebih bikin saya senang –selain kesadarannya untuk memilih sweater biru yang lebih buruk dari Cosby sweater!– adalah bagaimana Harry tampil organik ketimbang versi albumnya. Musik yang mereka mainkan hari itu hanya hadir dari alat musik yang dimainkan full oleh tangan, bukan musik dari mesin dan perangkat lunak.

Saya lupa siapa yang mengatakan, kalau tidak salah Paul Stanley dari Kiss, bahwa untuk mengetahui kualitas sebenarnya dari seorang musisi, cukup kasih dia gitar akustik. Biarkan dia bermain, dan kamu bisa melihat kualitas aslinya.

Salah satu contoh yang berhasil membuat saya yakin opini itu valid adalah penampilan Nirvana di MTV Unplugged. Meskipun saya tidak terlalu suka Nirvana, tapi busettt, penampilan mereka bikin saya paham dan maklum kenapa dunia memalingkan muka dari gemerlap Los Angeles dan memilih melongok ke Seattle yang muram dan dingin.

Momen seperti itu terjadi lagi ketika saya menonton Harry sejak YouTube merekomendasikannya lima hari lalu. Harry dan kawan-kawan tampil seolah kedap dari bunyi-bunyian elektronik yang sering bikin kesal, dan justru itu yang menampilkan kekuatan terbesar alumnus X Factor ini.

Cukup empat lagu, mereka berhasil membuat saya membuka Spotify dan mengetikkan Harry Styles di kolom pencarian (dan membuat saya tergerak menulis postingan pertama di 2020 yang blangsak ini).

Kemungkinan besar bulan ini, bulan depan, entah sampai kapan, dua album Harry akan menemani hari-hari saya di masa kerja dari rumah ini. Oya, lagu “Watermelon Sugar” –terutama yang versi NPR– itu rasa-rasanya mengandung opium dosis tinggi.

Jancuk koen, Har!

The post Watermelon Sugar… Ugh! appeared first on Foi Fun!.

Kalah

$
0
0

Ketika Robbin Crosby sadar umurnya tak lama lagi, dia bilang ke orang-orang terdekatnya, “Kalau aku mati, jangan nangis. Mendingan kalian pesta saja. Aku sudah menjalani hidup sebaik-baiknya, mimpiku semua sudah kesampaian, bahkan lebih dari itu.”

Robbin, gitaris yang bersama Warren DeMartini menjadi dinamo bagi grup Ratt hingga jadi salah satu band paling populer di kancah rock 80-an, meninggal pada 6 Juni 2002 di usia 42 tahun karena komplikasi kecanduan heroin, AIDS, dan juga pneumonia.

Kisah hidup Robbin menjadi salah satu hikayat favorit saya dari kancah hair metal. Entah ini adalah romantisasi hidup yang dijalani secara ugal-ugalan atau tidak, tapi Robbin mencerminkan sikap pantang menyesal pada apa yang sudah dijalani. Tak ada waktu untuk menengok ke belakang, apalagi sambil menyesal.

Kisah favorit lain adalah tentang Vito Bratta, gitaris White Lion. Vito, yang menurut banyak pundit musik adalah gitaris paling underated dari era 1980-an, memutuskan pensiun dari dunia musik di puncak kejayaannya pada 1991. Alasannya? Merawat ayahnya yang sudah sepuh. Baru pada 2007, dalam wawancaranya bersama Eddie Trunk (ini wawancara pertama yang dia lakukan sejak pensiun), dia bilang punya faktor lain: masalah di pergelangan tangannya.

Mungkin, di atas dua kisah favorit itu, yang paling favorit adalah tentang Izzy Stradlin. Selalu tentang Izzy. Penggemar Guns N Roses tahu kenapa dia keluar dari band paling berbahaya di dunia itu. Dia benci hidup di bawah lampu sorot yang membuat banyak orang terlena. Izzy tak mau jadi bagian itu semua. Cabut dari tur dunia yang dijalani Guns N Roses, Izzy membuat Izzy Stradlin and the Ju Ju Hounds dan main dari satu bar ke bar lain.

If you crawl to get on up
You’re gonna level and get there
The feeling’s gone
And you better get cleaned up
Start thinkin’ of a new thing

Ada satu benang merah dari kisah-kisah itu. Tentang bagaimana rocker era 80-an menyikapi hidup dan kekalahan. Sekarang jam 4 pagi, saya tidak bisa tidur, dan merasa harus menuliskan ini. Saya sempat mencuit di Twitter, tapi rupanya saya tak punya bakat bikin utas. Jadi mending saya tulis di sini saja.

MUNGKIN baru-baru ini saya menyadari kenapa bisa jatuh cinta dengan hair metal. Salah satunya karena saya melihat bagaimana para hair rocker menyikapi hidup dan kekalahan.

Dekade 1990 datang, gerombolan Seattle bermunculan, selera musik berganti, industri mengikuti. Para hair rocker ini tersingkir, tersapu jauh ke bawah karpet merah. Satu dua band mungkin masih bisa aktif dan relevan. Bon Jovi adalah contoh paling sukses. Sisanya, ditinggalkan dan dilupakan. Orang bijak bilang, mati lebih baik ketimbang dilupakan. Sayangnya, itu yang terjadi pada rocker-rocker yang beranjak tua ini.

Sebagai gambaran, Poison, yang albumnya terjual jutaan kopi dan dianggap menjadi representasi paling pas dari era ugal-ugalan itu, terpaksa bermain di arena pasar malam: hanya di depan ratusan penonton, yang juga sama-sama menua dan menjalani hidup biasa-biasa saja.

Saya tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Brett Michaels, vokalis Poison yang pada masa jayanya menjadi simbol bom seks, mendapati dirinya yang biasa memandu koor bagi belasan ribu orang, harus bernyanyi “Every Rose Has Its Thorn” di hadapan bapak-ibu yang cuek karena sibuk mengawasi anak-anak yang berlarian macam setan kecil.

Mungkin macam luka disayat pisau: ia sembuh tapi lukanya terus membekas. Like a knife that cuts you: the wound heals, but the scar, that scar remains.

Itu Poison, yang pernah menjadi salah satu band terbesar era 1980. Bayangkan bagaimana nasib band semenjana, kelas menengah, macam Bang Tango, King Kobra, atau Pretty Boy Floyd. Dan ada ratusan band seperti ini, buah dari Sunset Strip dreams yang membius itu.

Maka yang sering kita dengar adalah kabar sedih. Kevin DuBrow botak (hair rocker mengalami kematian dua kali, yang pertama adalah ketika rambut menipis dan botak), bangkrut, mati overdosis, dan baru ditemukan enam hari kemudian.

Jani Lane, salah satu lirikus favorit saya, hidup dirisak banyak orang karena popularitas Warrant dan “Cherry Pie”, jatuh ke kubangan alkohol dan susah bangkit. Dia pernah sober, manggung di sana-sini dengan senyumnya yang tetap menawan meski perut lebih mancung ketimbang hidung, walau akhirnya dia kembali jatuh ke kegelapan yang lebih dalam. Dia meninggal keracunan alkohol.

Hidup mereka, sekilas tampak menyedihkan. Tapi, mereka punya keberanian untuk jalan terus meski hidup menggasak mereka tanpa ampun, menendang mereka dari puncak hingga jatuh ke titik paling rendah. Prinsip mereka sepertinya: mati itu mudah, yang susah adalah bertahan hidup. Dan mereka, walau babak belur, memilih tapak yang susah itu.

Maka saya senang melihat para tentara tua ini tetap aktif bermusik dan menjalani. Tesla bikin album baru. Dokken reuni, begitu pula L.A Guns. Steven Adler sehat kembali setelah kena stroke, masih bisa cengengesan sambil main satu set lagu dari Appetite for Destruction. Guns N Roses tur lagi. Dan tentu saja Izzy dengan senang hati meledek reuni dan tur itu. Banyak band memulai karier lagi dari bawah, main di bar-bar kecil bertiket 5-10 dolar. Sewaktu di London kemarin, The Quireboys kerap konser di bar kecil dengan banderol tiket 8 Pounds saja.

“Aku malah senang main di bar kecil dan bau pesing. Tempat macam itu bisa menempa mental,” ujar Joe Leste, vokalis Bang Tango suatu ketika.

Feel the motors winding on
There ain’t no news
If you see those old friends out there
Tell them that I send my love

Maka, ketika hidup blangsak saya selalu memutar lagu “Shuffle It All” yang ditulis oleh Izzy selepas dari Guns N Roses. Bait itu memberikan saya alasan yang lebih cukup untuk terus berjalan, untuk menyikapi kekalahan di sana-sini. Hanya membayangkan kelak saya bisa ngider, singgah di tiap kota, mampir ke kawan-kawan lama, bercengkrama dan menertawakan masa lalu yang penuh kebahagiaan dan juga kesia-siaan.

Dari para hair rocker ini, saya selalu belajar bagaimana menyikapi hidup, apalagi seusai lampu panggung padam. Belajar jadi biasa-biasa saja. Karena toh di dunia ini, sebagian besar dari kita adalah orang kalah. Dan hidup, kata sang maestro Chairil, hanya menunda kekalahan.

Karena kekalahan pasti datang, cepat atau lambat, disadari sekarang atau tujuh belas tahun kemudian, dan yang bisa kita lakukan, adalah menghadapinya. Boleh pakai tangis atau pakai cengiran, entah dengan sadar atau dengan teler.

The post Kalah appeared first on Foi Fun!.

Uncool

$
0
0

Seperti biasa, lewat 2 dini hari adalah waktunya saya aktif. Maklum, nokturnal. Hari ini saya memakai jam melek untuk menengok Instagram beberapa musisi dari Jember. Sebagian lebih tua ketimbang saya, sebagian lebih muda. Kesamaannya: mereka menyandang predikat “keren” dan “cool” ketika ada di atas panggung. Dan, pada satu titik, saya ingin jadi mereka.

Saya kemudian merefleksikan diri betapa saya uncool, tidak keren. Perasaan itu sebenarnya muncul sejak lama, sejak saya masuk bangku SMA sepertinya. Saat itu perasaan ingin diakui sedang mekar dan saya melakukan banyak hal untuk diakui, untuk dianggap keren. Saya bikin band, juga gabung dengan organisasi pecinta alam –hingga sekarang rasanya jadi anak pecinta alam adalah jalan pintas untuk dianggap keren.

Main musik, naik gunung, juga mengampu mading pecinta alam, membuat saya merasa cool. Layak dikagumi, dan segala omong kosong pengakuan diri lainnya.

Ketika kuliah saya bergabung dengan Tegalboto, persma tingkat Universitas, sesuatu yang saat itu terasa seperti segerombolan liyan. The others. Al ghuroba. Orang asing dan “aneh”. Di kampus saya, Universitas Jember, anak-anak pers mahasiswa, terutama dari Tegalboto, punya reputasi sebagai tempat berkumpulnya mahasiswa aneh, kritis, berbusa-busa ngomong filsafat, dan karenanya dikagumi, tapi juga dianggap aneh.

Tapi saya tetap merasa ingin jadi anak cool. Siapa sih yang tidak. Saya masih main musik. Bikin band. Beberapa kali manggung. Pernah juga ikut satu dua kali kumpul komunitas band-band indie di Jember.

Kumpul dengan para musisi saat itu bikin saya merasakan sesuatu yang janggal. Perasaan aneh yang merayap dari suatu tempat yang gelap, entah di mana. Saya merasa tidak cocok ada di sini. Saya merasa pakai topeng dan menjadikan diri sebagai sosok artifisial. Seonggok daging yang berusaha keras untuk jadi keren, walau saya tahu: ini bukan saya. Secara obrolan, sebenarnya saya masih nyambung dengan mereka, terutama soal musik. Tapi ada sesuatu yang, sampai sekarang saya juga tak tahu apa itu, bikin saya tidak betah.

Kisi-kisi perasaan ini bisa ditonton di film Almost Famous, yang sampai sekarang jadi salah satu film favorit saya karena ikatan dan persamaan perasaan dengan tokoh William Miller.

Tokoh itu memang sepertinya gambaran banyak remaja hampir di semua dunia: canggung, pemalu, ingin diterima oleh lingkup pertemanan orang-orang keren, juga ingin dianggap keren, dan berusaha keras menyukai berada di kerumunan walau aslinya akan memilih tinggal di rumah dan memasak atau membaca sambil mendengar musik tanpa diganggu.

Tentu ini bukan tentang saya merasa berbeda dan istimewa. Justru tidak. Malah saya bertanya: kok saya merasa tidak pas ada di tempat ini. Proses pencarian jawaban itu bikin saya perlahan menarik diri dari teman-teman musisi karena merasa tak layak ada di sana, dan akhirnya lebih aktif di Tegalboto. Ini pilihan yang tak pernah saya sesali, malah saya syukuri hingga sekarang. Namun jawabannya masih saya cari saat itu.

Padahal, yang tak saya sadari, jawabannya sudah ada. Saya hanya tak mengakuinya.

I’m uncool.

Perasaan uncool ini juga sempat bikin saya minder setengah mati ketika datang ke Jakarta. Bahkan mungkin sampai sekarang. Saya merasa tak bisa bergaul dengan banyak orang, sesuatu yang harusnya saya lakukan karena itu terkait dengan pekerjaan. Saya mudah grogi, saya suka gugup ketika harus memulai pembicaraan, apalagi dengan orang-orang yang selama ini saya idolakan dari jauh.

Seorang teman pernah membahas soal ini. Alkisah, dia menanyakan nomor kontak seorang artis. Saya bilang tak punya. Dia, dengan nada bercanda, meledek: bagaimana bisa seorang wartawan hiburan tak punya kontak artis yang sedang naik daun.

Betul juga, ya.

Penjelasan dari pertanyaan kawan saya itu malah datang dari Yandri, kawan baik yang sekarang jadi managing editor Vice Indonesia. Dalam sebuah diskusi, dia bilang bahwa saya berangkat dari titik yang berbeda dibanding kebanyakan wartawan musik yang dia kenal. Saya dari pers mahasiswa, sedangkan kebanyakan wartawan musik di ibu kota berasal dari kancah penulis zine atau majalah. Yandri sama seperti saya, dia berasal dari pers mahasiswa. Namun dia lebih luwes, pernah jadi reporter isu internasional dan ekonomi.

Saya tak pernah menyadari apa yang dibilang Yandri. Bagaimanapun, di dunia hiburan Indonesia, zine akan dianggap sebagai epitome cool, sedangkan pers mahasiswa kebalikannya.

Perasaan minder dan gugup itu melahirkan banyak konsekuensi, sih. Saya jadi gampang minder, gugup, dan ujungnya: saya tak bisa punya banyak koneksi. Saya sering kagum dengan beberapa kawan dengan profesi sama. Betapa mudah mereka akrab dengan band ini, berfoto dengan band itu, berkawan dengan aktor dan aktris populer, dan lain sebagainya. Dan sama seperti ketika dulu saya ingin jadi seperti anak-anak band di Jember itu, saya juga ingin jadi wartawan hiburan yang keren.

Lantas saya bertanya, lebih ke diri sendiri, kenapa saya tidak bisa seperti itu? Setelah lama mencari dan menerka, ternyata jawabannya sudah pernah saya temukan waktu kuliah dulu.

Because I’m uncool.

Untungnya, sama seperti William Miller yang punya mentor bernama Lester Bangs, saya juga punya mentor (bahkan beberapa orang) untuk mata kuliah Menyadari Kamu Tidak Keren dan Bagaimana Agar Hidup Tetap Baik-Baik Saja.

Beberapa mentor saya ini dikenal jago menulis soal musik, tapi mereka mengaku jarang menonton konser atau berteman dengan banyak musisi. Ketika akhir pekan, mereka lebih sering di rumah ketimbang ada di gigs. Membaca buku, bermain dengan anak, atau memasak.

Lagi-lagi, ini bukan tentang yang mana yang lebih baik, lebih keren, dan mana yang seharusnya kamu jadikan acuan. Melainkan tentang menyadari siapa dirimu, berdamai dengannya, dan melanjutkan hidup. Kamu tak keren? Ya sudah sih, tak semua orang bisa punya pesona seperti Keith Richards atau Steven Tyler.

Kamu merasa tak keren karena tak bisa bergaul dengan orang terkenal dan lebih nyaman berada di rumah ketimbang di tempat ramai penuh lampu sorot? Kamu tak sendirian.

Bahkan Izzy Stradlin, ketika sekondannya di Guns N Roses sedang keliling dunia untuk tur dan mengawetkan predikat sebagai bintang rock, memilih berdiam diri di rumah sambil main gitar sendirian.

Berdamai dengan kenyataan bahwa saya ini uncool, membuat saya lega sih. Saya jadi lebih tahu harus ngapain, tak memaksakan diri untuk berkerumun, lebih menikmati lingkar perkawanan yang lebih kecil, tak bersalah jika tak kenal dengan tokoh populer, dan juga merasa baik-baik saja ketika akhir pekan ada di rumah saja.

“I’m always home. I’m uncool.”

The post Uncool appeared first on Foi Fun!.


Faraway, So Close

$
0
0

Di Brebes, kota yang sama sekali tak pernah terpatri di pikiran ketika membayangkan hal romantis, lagu itu terngiang di kepala.

Aku putar lagu itu di playlist yang kubuat sebelum kami berangkat menuju Jember, dua minggu lalu. Ini perjalanan darat terjauh yang kami tempuh, dan pertama kalinya kami naik mobil berdua.

Tentu saja Rani yang menyetir. Dia khawatir kalau aku yang pegang kendali. Beberapa waktu lalu, aku memasukkan mobil ke garasi –pekerjaan yang sudah berulang kali kulakukan. Tapi karena lama tak pegang setir, aku kagok.

Bruk. Tak keras, tapi Rani mendengar suaranya. Bagian belakang mobil menyentuh bemper motor. Bukan hal besar. Tak ada lecet. Tapi kejadian itu cukup bikin Rani –dan aku– yakin kalau aku belum siap pegang mobil jarak jauh.

Ketika akan pulang dari Jember, kami sudah bersepakat ini perjalanan santai. Kami akan berhenti di manapun kami mau, makan atau mengudap tak perlu menunggu lapar, dan tidur ketika mata sudah berat.

Matahari perlahan tenggelam di depan mata. Cuaca cerah. Merah semburat. Gunung Ceremai terlihat megah dari kejauhan. Jalanan lengang sejak kami masuk dari tol Leces. Rest area Brebes baru kami tinggalkan.

Bawang merah.

Telur asin asap.

Banjaratma.

U2.

“Stay (Faraway, So Close)”.

Lampu jalanan mulai dihidupkan. Suara gitar The Edge pelan mengisi ruang sempit untuk empat penumpang ini. Bariton Bono merayap, memutar gambar jalan dan kesepian di kepala. Bass Adam Clayton dan drum Larry Mullen Jr bergerak lambat namun ritmis.

If I could stay
Then the night would give you up
Stay then the day would keep its trust
Stay with the demons you drowned
Stay with the spirit I found
Stay and the night would be enough

Jalanan tetap lengang. Hanya ada satu dua truk, beberapa keberatan muatan dan mengular malas macam Anakonda yang baru melahap bayi kijang –bikin ingat Tom Waits dan “Ol’ 55”. Salip saja dengan mudah. Sesekali mobil besar pamer kecepatan dan kuasa. Lampunya mengerjap dari belakang. Kami minggir ke kiri. Ini terjadi berulang kali.

“Di kiri saja. Santai nyetirnya.”

Perjalanan masih panjang. Di tengah dan di ujung jalan, kami bersitegang. Jalan salah diambil. Apa boleh bikin. Harus jalan terus walau memutar dan makan waktu lebih lama. Saya lelah. Rani apalagi.

Tapi kami bahagia.

Three o’clock in the morning
It’s quiet and there’s no one around
Just the bang and the clatter
As an angel runs to ground

The post Faraway, So Close appeared first on Foi Fun!.

Bana Menikah

$
0
0

Arlian Buana akan menikah minggu depan. Perempuan yang akan disuntingnya, Rana, asli Aceh dan punya keramahan semenyejukkan es timun serut kala matahari tepat di atas kepala.

Saya tak tahu benar lika-liku perjalanan mereka hingga ke titik ini. Tapi dari cerita-cerita yang mereka sampaikan, aduh, jalannya panjang, pula tak mudah. Long and winding road kalau kata Beatles.

Tadi sore Bana meminta saya membikin mixtape. Saya menyanggupi, ini kegiatan masa senggang favorit saya. Sengaja bikin agak banyak lagunya, pas 50, siapa tahu mau diputar ketika resepsi.

Tak ada perlakuan khusus terhadap senarai ini. Saya memasukkan banyak lagu favorit saya, beberapa lagu nostalgia, juga satu lagu dari band favorit Bana, Peterpan.

Mau nyanyi “Aku dan Bintang” dulu ach

Band ini pula yang menjadi titik awal perkenalan saya dengan pria asal Palembang ini. Dia membaca tulisan saya tentang Peterpan, lalu dia yang saat itu mengelola majalah Surah meminta saya menulis lagi tentang Peterpan.

Saya tak tahu apakah pilihan lagu yang saya buat akan disukai Rana atau tidak, tapi saya mencoba memilih lagu yang masuk dalam batas toleransi kuping –tak pekak, nihil solo gitar panjang, dan tak pakai suara melengking.

Selfie dulu biar gak capek

Judul mixtape ini saya ambil dari potongan lirik Cat Stevens, “Father and Sons”. Mungkin, bagi Stevens, menikah adalah pintu gerbang memasuki dunia baru. Di dunia ini, semuanya berubah, entah mendadak atau perlahan. Segala nilai-nilai yang dianut di masa lampau, kemarahan dan ketakberdayaan dari masa lalu, bisa jadi akan hilang dan berganti dengan banyak hal. Kesabaran, kebajikan yang tumbuh seiring waktu.

Find a girl, settle down
If you want, you can marry
Look at me, I am old but I’m happy

Selain lagu Stevens, saya menaruh lagu “Tonight You Belong to Me”, sebuah lagu klasik dari era 1920-an yang digarap ulang oleh banyak musisi. Saya pilih versi Eddie Vedder. Kenapa versi Eddie? Sederhana, karena tak ada versi Axl Rose.

Bana Vedder

Dua lagu awal itu saya pilih sebagai pembuka, untuk memberikan penghormatan kepada orangtua Bana dan Rana. Dialog emosional dan kalem, fire and ice, ala bapak dan anak lelaki; dan ode seorang ayah untuk anak perempuannya yang akan menikah, saya pikir jauh lebih dalam ketimbang lagu-lagu cinta antar lelaki dan perempuan.

Setelahnya baru lagu-lagu yang sedikit banyak menggambarkan pernikahan –yaaah setidaknya versi saya dan Rani yang baru enam tahun menjalaninya. Tak selamanya jalannya bertabur bunga mawar, tapi banyak juga mur dan paku yang dilempar ke tengah. Mungkin akan ada banyak peristiwa yang membuat dua orang itu bertanya-tanya: we want to know what love is, seperti pertanyaan yang diajukan Mick Jones bertahun lampau dan tak pernah bisa dijawab hingga sekarang, dan diselimuti keraguan: will you still love me tomorrow?

Kok gelap yha bhang?

Karenanya, saya tak melulu memasukkan lagu penuh kembang gula. Banyak dari kita pernah merasakan cinta yang penuh onak dan air mata –coba tanya Eddward S. Kennedy dan Wisnu Prasetya dan Mawa Kresna dan Arman Dhani soal ini. Kita semua pernah menelan cinta yang penuh keraguan, rasa takut, juga ketabahan dan kebosanan.

Ada cinta abadi namun kere, ada badai yang kan menguji, kasur yang dingin karena ditinggal minggat, get married or run away, my world crumbles, you and me bent, woman they’ll trap you and they use you, juga ain’t no sunshine. Di masa abu-abu dan sedikit cahaya itu, tak ada pilihan lain buat tegar sebab semuanya sudah dianjurkan oleh Bhang Iwan yang amat dipuja penyair Beni Satryo itu.

“Ternyata asmara itu tak mudah, tak gampang, dan tak secengeng yang kukira, yang kusangka…”

Jadi, mari merayakan dan mendoakan pernikahan Bana dan Rana –kau sengaja cari yang namanya A-B-A-B kayak pantun ya bhang?– yang akan memasuki dunia barunya. Tak ada yang mudah dari pernikahan, sebab kata Andy Liany: jalan masih panjang, jangan ucap janji, nikmatilah cintamu hari ini.

Jalan panjang dan berkabut, bhang

Mari pula merapal doa-doa terbaik bagi cinta-cinta aneka warna, baik yang gagal diselamatkan, dimasukkan ke peti lalu dilarung ke Samudera Hindia, atau sedang menyibak halimunnya masing-masing.

Dan semoga, sampai kapan pun, Bana selalu patuh mengamalkan petuah Boriel.

“…Di antara beribu lainnya, kau tetap, kau tetap, kau tetap benderang…”

Di antara lainnya, kau tetap benderaaaang aaang aaang *echo*

The post Bana Menikah appeared first on Foi Fun!.

Bagaimana Gita Wiryawan Mencari Cinta dan Menikah Pada 20 Desember 2020

$
0
0

Sebermulanya adalah pertanyaan luhur dari Gita Wiryawan:

Dunia selalu dihinggapi banyak pertanyaan, dan banyak pula yang tak terjawab. Seperti: sedalam apa lubang hitam dan apa yang ada di sana? Juga benarkah Yeti dan Lochness itu ada? Tentu saja pertanyaan-pertanyaan Gita itu termasuk dalam senarai misteri yang belum terpecahkan.

Bahkan John Lennon, pria pemurung dari Liverpool itu memilih untuk membayangkan saja bagaimana jika dunia ini tanpa negara, agar tak ada orang saling bunuh dalam perang. Sayang, Lennon tak membahas bagaimana jadinya dunia tanpa cinta. Padahal, kata Gita, pria doyan cengengesan dari Liverpool itu, cinta itu juga berbahaya karena bikin orang terluka.

Sepanjang 2009, dan besar kemungkinan sudah dimulai sejak bertahun-tahun sebelumnya, Gita mulai bertanya dan mencari makna cinta. Ia, seperti Lou Gramm, ingin tahu apa itu cinta. I wanna know what love is, begitu dalam benak Gita.

Maka di Facebook, sebuah palagan kegundahan dan status-status menjijikkan, kita bisa melihat Gita banyak berpikir dan bertanya. Seperti ini misalnya.

Si Prima, kawannya yang juga doyan cengar-cengir itu, tak membantu banyak. Malah mengutip Jacques Lacan segala. Cih. Padahal ujung-ujungnya klise: menerima kekurangan pasangan apa adanya. Pada akhirnya, meski sudah dibantu Prima untuk berpikir Lacanian, 2009 adalah tentang patah hati dan luka bagi Gita. Ia bahkan mengutip ayat Al Quran untuk menguatkan hatinya.

Git memang punya peruntungan yang tak apik-apik amat perkara asmara. Dia berkali-kali putus, ditinggal nikah, dan kisah-kisah mengharu biru lainnya. Sampai dia pernah memaki, yang membuat kalimatnya jadi abadi.

Setiap kali ketemu, jika bicara tentang asmara, yang keluar adalah nada sendu. Cengengesannya tak lagi membantu. Saking banyaknya nilai merah dalam rapor asmaranya, saya sampai lupa ada berapa perempuan yang pernah singgah di hidup Gita.

Tapi Gita memang seorang pejuang. Sebagai seorang PNS, sama seperti nama lengkapnya Gita Wiryawan Puja Negara, Gita sudah merasakan pindah penempatan. Dari Bangko di Jambi, hingga di Penajam Paser, Kalimantan Timur.

Ia tak pernah menyerah cari calon istri, sebab tujuan hidupnya memang itu.

Lama tak ngobrol intens, suatu hari Gita memberi kabar gembira. Dia akan menikah.

“Tenan po iki?!”

“Yo tenan, wong ganteng kok.”

Saya awalnya sempat skeptis. Apalagi Gita tak pernah bercerita soal calon istrinya ini. Sama sekali. Kontras dengan kebiasaannya menceritakan para perempuan yang merobek hatinya di masa lalu. Tapi ketika Gita memberikan undangan, baru saya yakin kabar itu benar. Gita dan kekasihnya, seorang perempuan asal Kendal, Jawa Tengah, akan menikah besok, 20 Desember 2020.

Dan sebagai kado, saya membuatkan playlist di Spotify. Saya coba menyusun daftar lagu sesuai fase hidup Gita. Ia rutin ambyar, pernah masuk fase benci cinta, menganggap wanita sebagai racun, berpikir bahwa “cinta tu bulsit”, sembuh, kembali cengengesan, dan akhirnya akan menikah. Fase yang tak singkat, tentu. Toh Gita berhasil melewatinya –walau nangis di sana-sini.

Sebagai lagu pembuka, tak ada yang lebih pantas ketimbang penampilan Pearl Jam membawakan “Black” di MTV Unplugged. Siapa yang hatinya tak ikut perih mendengar Eddie Vedder melolong putus asa di menit 3.50. Saya membayangkan Gita ikut meraungkan lirik itu dengan sedih –dan tentu saja kualitas suara yang inferior.

I know someday you’ll have a beautiful life
I know you’ll be a star
In somebody else’s sky
But why
Why
Why can’t it be
Oh can’t it be mine

Ada juga balada patah hati sepanjang masa dari Nazareth, tembang anti cinta dari Marjinal, jari tengah dari 13th Floor Elevator, juga tentang stasiun patah hati dari band rock Cinderella.

Di fase tengah adalah masa-masa memaafkan diri sendiri, berusaha sembuh dari bala yang bikin hati Gita berkarat, dan pada akhirnya berdamai dengan kenyataan. Pembuka di fase ini adalah “The Art of Letting Go”, sebuah balada perpisahan yang indah dari Stone Temple Pilots. Mendengarkan solo gitar Dean DeLeo di lagu ini akan membuatmu menggigit kuku sembari tertawa pahit.

Selanjutnya adalah fase baru dalam hidup Gita. Di sini, ada banyak harapan. Doa. Impian. Tapi tak ada ruang untuk cinta yang menggebu-gebu dan teledor. Maka ada “Jalan Masih Panjang” dari Dewa 19, “Here Comes the Sun” dari Beatles, dan tentu saja “Jatuh Cinta Itu Biasa Saja” ada di fase ini.

Sebagai penutup, “Sex on Fire” dan “Let’s Get It On” bisa jadi lagu pengantar buat bergulat, dan “Forever” dari Kiss adalah upaya amin dari semua doa yang diucapkan Gita dan Evi Miftakhul Ulum, perempuan yang beruntung (semoga) karena mendapatkan Gita.

Selamat menikah, Gita dan Evi, semoga langgeng sampai maut memisahkan!

The post Bagaimana Gita Wiryawan Mencari Cinta dan Menikah Pada 20 Desember 2020 appeared first on Foi Fun!.

Lulung dan John Myung

$
0
0

Waktu SMA, aku punya sahabat perempuan. Namanya Ayu Luhing, tapi kami kawan-kawannya biasa memanggilnya Lulung.

Aku dan Lulung kenal sejak kami berdua masuk kelas yang sama, 1.2. Ada beberapa hal yang bikin kami nyambung dan akhirnya jadi kawan akrab. Kami suka guyon slapstick, kadang sedikit mesum, dan Lulung relatif santai serta bisa membaur di antara teman laki-lakinya.

Suatu hari aku main ke rumah Lulung untuk kali pertama. Rumahnya bergaya jengki, letaknya sepelemparan batu saja dari SD Kepatihan I. Ini rumah keluarga besarnya. Di sana, Lulung tinggal bareng kakak lelakinya, Bayu, dan neneknya. Ayah ibu Lulung merantau di Kalimantan.

Satu lagi yang kemudian membuat kami akrab. Musik.

Lulung dan Mas Bayu suka musik. Mas Bayu punya dua gitar: satu gitar akustik, dan satu gitar elektrik.

Gitar akustik mereka mereknya Yamaha, warna hitam. Saat itu, aku yang biasanya cuma main gitar KW, terperangah mendengar bunyi criiing dari gitar Yamaha itu. Saat itu, gitar milik Mas Bayu jadi yang paling enak di kuping. Dasar gitar mahal, memainkannya pun enak. Empuk. Tak bikin jari lekas memerah dan meninggalkan bekas menggaris.

Aku sempat berpikir Mas Bayu adalah gitaris suka-suka. Artinya tak jago-jago amat. Cuma genjrang-genjreng di waktu luang. Di mataku, Mas Bayu tampak seperti nerd biasa. Tak banyak omong, agak malas bersosialisasi, dan lebih senang mengurung diri di kamar yang ada komputer, seperangkat sound, ampli, dan gitar listrik yang digantung di tembok.

Oh, betapa anggapan saya salah besar.

Suatu sore Mas Bayu memainkan lagu rock. Suaranya terdengar hingga depan rumah. Aku tak tahu itu musik siapa.

“Itu band favoritnya Mas Bayu. Dream Theater,” kata Lulung.

Musik apaan ini. Njlimet. Vokalisnya harus menunggu lama hanya untuk membuka mulut. Lalu semua sibuk unjuk skill. Bikin pusing.

Ketika aku mau mengambil air minum di dapur, dari sisi pintu yang terbuka, aku bisa melihat jelas Mas Bayu duduk di kursinya, memangku gitarnya –aku benar-benar lupa merek dan warnanya. Dia mengulik lagu. Dari Lulung aku tahu lagu itu judulnya “Metropolis”.

Di atas fret, jemari Mas Bayu berpindah seperti kilat. Saya bengong. Ini toh yang namanya shredding. Aku baru usia 14, dan tak pernah melihat gitaris ngebut di depan mataku secara langsung.

Belakangan aku baru tahu kalau Mas Bayu dan bandnya sering ikut festival musik. Dan ia kerap dapat penghargaan The Best Guitarist. Seorang kakak kelas kami yang agak belagu karena bisa main gitar lebih jago ketimbang kawan-kawan seangkatannya, pernah menemui Lulung ketika kami lagi di kantin.

“Kamu adiknya Bayu, toh. Masmu itu jago banget. Salamin, yo!”

Saat itu aku memang yakin bahwa Mas Bayu memang jago hingga kemampuannya lintas sekolah.

Beda dengan Mas Bayu yang mengidolakan John Petrucci, Lulung menggilai John Myung. Selain jago main bass, Myung, menurut Lulung, adalah epitome pria keren. Lulung mungkin merasa pria kalem dan tak banyak omong cocok untuk dirinya yang ceriwis dan banyak tingkah.

“Dia cool banget bro, gak banyak gaya. Gak pernah atraksi, tapi keren pol!” pujinya.

Biasanya aku langsung mengadu Myung dengan bassist favoritku: Duff McKagan. Dan biasanya perdebatan kami akan panjang, sampai Nova, kakak angkatan tak naik kelas yang akhirnya sekelas di 1.2 dan kelak mau-maunya ngeband bareng kami, memberi hak vetonya.

“Tetep Duff yang paling keren,” kata Nova yang sering menulis namanya sebagai Nova McKagan.

Setelah itu Lulung akan ngomel. Tak terima. Aku dan Nova cuma bisa ngekek, ogah ambil pusing.

Aku merasakan apa yang dibilang Lulung itu 19 tahun kemudian.

Setelah nyaris dua dekade, ada banyak yang berubah dari hidup kami. Lulung “menghilang”, dalam artian lost contact sejak kami lulus SMA. Kami sempat bertemu lagi via Facebook. Saling bertukar kabar, dan ternyata dia sudah menikah, punya satu anak, dan tinggal di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Tapi setelah itu tak ada obrolan lagi. Dia tak lagi aktif main medsos, dan aku kehilangan jejaknya.

Kenangan soal Lulung dan Mas Bayu ikut mengiringi ketika aku akhirnya perdana menonton Dream Theater di Stadion Manahan, Solo. Ini tugas dari kantor, dan kebetulan aku serta empat wartawan lain dapat akses untuk memotret band yang dibentuk di Boston ini di depan panggung.

“15 menit saja. Setelah itu harus balik ke tenda wartawan, ya,” kata Mas Chandra, yang jadi koordinator wartawan, sembari menempel stiker khusus di ID kami.

Di jadwal, konser dimulai pukul delapan malam. Sama seperti musiknya yang seperti ilmu pasti, nyaris tak ada ruang buat kesalahan dan improvisasi berlebih, begitu pula jadwal mereka. Presisi.

Petrucci naik panggung duluan. Jenggotnya berkibar, macam Merlin versi jenggot warna hitam. Lalu diikuti Mangini, Rudess, dan Myung. Setelah mereka main beberapa menit, baru LaBrie sang vokalis naik dengan menenteng mikrofon dan tiang mik dengan ornamen tengkorak.

Saya memilih ke sebelah kiri panggung. Itu posko milik Myung. Benar seperti kata Lulung, Myung tak banyak bergerak. Dia seperti punya dunia sendiri yang tak bisa dimasuki oleh orang lain, bahkan kawan satu bandnya.

Ia banyak merunduk. Membiarkan rambut panjang lurusnya tergerai menutupi wajah. Perhatian hanya dipusatkan ke bass enam senarnya. Lain tidak. Sepanjang aku memperhatikannya, Myung bahkan tak menatap penonton. Seolah tak peduli ada 10 ribu pasang mata yang menyaksikannya.

Kadang-kadang ia pergi ke tengah panggung. Bertemu dengan Petrucci, lalu ngobrol via alat musik masing-masing. Selebihnya, ya balik ke posisinya.

Tepukan di bahu kanan bikin saya keluar dari lamunan.

“Sudah 15 menit,” kata salah satu petugas media. “Ayo mundur, Mas.”

Aku mengangguk, melihat Myung sekali lagi, berjanji akan mencari kontak Lulung, lalu mengabarinya bahwa aku sudah menonton idolanya, dan setuju dengan perkatannya pada 2003 silam, bahwa Myung memang cool dan keren.

Tapi tentu saja, Duff McKagan lebih keren.

The post Lulung dan John Myung appeared first on Foi Fun!.

Pindah ke Jogja

$
0
0

Aku sebenarnya lebih suka menulis Yogyakarta sebagai Jogja. Lebih ringkas dan enak dibaca + didengar. Jadi untuk tulisan ini, minggir dulu ya, EYD. Aku mau pakai Jogja saja.

***

Aku pernah merasakan masa menyenangkan tinggal di Jogja selama 3 tahun. Dari 2011 sampai 2014. Saat itu aku, didorong oleh Mamak dan tante-tanteku, memutuskan untuk kuliah lagi di UGM.

Di Jogja, aku tinggal di kawasan Condong Catur bareng teman-teman asal Jember. Kalau tak salah ingat, kontrakan dua lantai dengan lima kamar ini harganya Rp13 juta per tahun. Aku menempati kamar depan, bersebelahan dengan kamar Sawir yang paling besar. Real di kamar kecil yang terletak di sebelah kamar mandi. Sedang dua kamar di lantai dua ditempati Dandy dan Raymond.

Pengalaman tinggal di Jogja itu berkesan hingga membuat aku berpikir akan kembali tinggal di kota ini, entah kapan.

Dari dua tahun yang direncanakan untuk kuliah, ternyata molor hingga harus menjalani masa kuliah total lima tahun (dua tahun kuliah di kelas, dan tiga tahun tesis yang tertunda). Masalahnya, di 2014 aku memutuskan untuk menikah dan pindah ke Jakarta.

Saat itu aku tak punya pekerjaan tetap, dan memutuskan tak mau menjawab penulis serabutan jika calon mertua bertanya apa pekerjaanku. Maka aku memutuskan mengirim buku-bukuku ke Jember, dan dengan satu tas berisi pakaian pergi menuju barat. Jakarta. Kota yang pernah kubenci dan bikin aku bergidik tiap membayangkan kemungkinan tinggal di sana.

Hitung maju delapan tahun kemudian.

Ada banyak kejadian yang berlangsung selama sewindu. Setelah melewati banyak malam untuk menulis tesis dan mengutuki diri sendiri kenapa mau-maunya sekolah lagi (aku tak pernah jadi orang yang cemerlang secara akademik dan kurang begitu tertarik dengan sekolah, sehingga keputusan untuk sekolah lagi sebenarnya relatif konyol), akhirnya aku lulus.

Bahkan sekira dua tahun setelah aku wisuda, aku kadang masih mimpi ditanya soal perkembangan tesis oleh Pak Djoko, pemimbing tesisku yang baik dan lapang dada menerima mahasiswa penuh kekurangan (ya otak, ya perilaku) sepertiku.

Setelah menikah dan pindah-pindah selama dua tahun, akhirnya Rani dan aku memberanikan diri untuk beli rumah di Depok, Jawa Barat. Dan sejak 2016 itu, kami terbiasa dengan ritme hidup Jakarta-Depok yang seragam: melewati kemacetan, berdesakan, terburu-buru.

Dan peribahasa itu benar: ala bisa karena biasa. Kami yang awalnya tak bisa membayangkan bagaimana hidup di Depok dan kerja di Jakarta Selatan, ternyata bisa juga menjalaninya. Awal-awal memang bikin pusing. Pulang kantor, kami langsung tepar. Untuk kemudian bangun, dan mengulangi rutinitas lagi.

Semua berubah karena pandemi.

Pandemi membuat banyak hal dan kebiasaan lama runtuh. Terutama kantor baru Rani yang sejak awal sudah memberlakukan working from anywhere secara permanen. Kami lebih banyak di rumah, punya lebih banyak waktu luang untuk mengerjakan hal-hal menyenangkan. Namun kami tak pernah membayangkan untuk pindah domisili.

Hingga suatu hari aku bilang ke Rani mau pergi ke Jogja barang seminggu untuk menyelesaikan wawancara para pembuat festival musik. Ini untuk buku residensi yang sudah kucicil sejak 2019 dan harus terhenti dua tahun gara-gara pandemi dan nihilnya festival musik.

“Kenapa gak sekalian sebulan aja? Aku ikut,” kata Rani.

Wah, benar juga, ya.

Beda denganku, Rani tak pernah punya ikatan lama dengan Jogja. Dia adalah anak Bandung dan Jatinangor, maklum hampir satu dekade tinggal di dua kota itu. Tentu dia pernah satu dua kali ke Jogja, dan dia suka kota ini.

Setelah ngobrol agak panjang, akhirnya kami setuju untuk pindah ke Jogja barang sebulan. Kawan lamaku, Cahyo Purnomo Edi, wartawan masyhur di Jogja, berbaik hati menyewakan rumahnya di kawasan Maguwo dengan harga amat bersahabat.

Sama seperti kuliahku yang direncanakan dua tahun dan molor jadi lima tahun, begitu pula rencana kami untuk tinggal di Jogja. Dari yang awalnya cuma mau sebulan, jadi molor hingga setahun.

Penyebabnya apa lagi kalau bukan karena Rani betah di sini. Baginya, ritme kota Jogja yang lebih pelan dan tak menuntutnya untuk tergesa, memberikan suatu perasaan baru. Perasaan tenang dan santai yang dicari oleh banyak homo Jakartanensis.

“Gimana kalau kita pindah Jogja, setahun aja dulu,” kataku.

“Setuju!”

Rani memberi jempol dengan cepat dan mantap.

Sekira dua minggu sebelum kami pulang ke Jakarta, kami mencari kontrakan. Karena memang keinginan kami begitu kuat, jalannya jadi mudah belaka. Rumah kontrakan pertama yang kami lihat, langsung bikin Rani jatuh cinta.

Rumah ini terletak di daerah Sengkan, di sebuah perkampungan kecil dan guyub di timur Pasar Kolombo, di Jalan Kaliurang KM 7. Itu kawasan saya sempat menumpang di kantor KBEA sekira enam bulan sebelum pindah ke Jakarta. Di sana juga ada soto Pak Syamsul, kegemaran banyak lidah Jawa Timur yang kurang cocok dengan soto gagrak Jawa Tengah. Sekitar dua kilometer dari sana, ada kawan-kawan baik yang berkegiatan di Rumah Kretek Indonesia.

Rani suka karena rumahnya adem. Kisi-kisi langitnya mungkin sekitar lima meter, di pinggir sungai kecil, dengan bambu yang tumbuh menaungi dan sedikit menghalangi sinar langsung matahari. Adem. Kalau malam, terdengar suara gemericik air

Kami bilang akan memberi kabar nanti, tapi di dalam hati kami sudah yakin rumah ini yang akan kami pilih.

Setelah dapat THR, Rani langsung kirim uang muka ke Pak Krisbandono, pemilik rumah. Dan dua minggu setelah lebaran, setelah memilah barang mana yang akan dibawa dan mana yang ditinggal, setelah pamitan dan bikin banyak orang tak percaya, akhirnya kami benar-benar pindah ke Jogja.

Setahun.

Tentu bisa molor lagi, seperti kuliah saya dulu. Apalagi Rani sudah betah banget dan kirim isyarat: ogah balik ke Jakarta.

Duh.

The post Pindah ke Jogja appeared first on Foi Fun!.

Viewing all 133 articles
Browse latest View live