Quantcast
Channel: Foi Fun!
Viewing all 133 articles
Browse latest View live

Di Bawah Kerajaan Dangdut Koplo, Iman Kita Adalah Bergoyang

$
0
0

Bagaimana dangdut koplo lahir, dan sekarang menjadi primadona baru.

Pandaan, Pasuruan, 31 Oktober 2017, 19.00

Lapangan Kuti sudah ramai selepas Magrib. Ada pasar malam. Dari bagian tengah terdengar raungan motor dari atraksi Tong Setan. Sodiq berjalan dengan diiringi tatapan kagum banyak orang. Lelaki berambut gimbal ini kemudian duduk di bangku penjual mi ayam. Ia memesan satu porsi.

Tapi Sodiq tak bisa makan dengan tenang. Tiap beberapa menit, selalu ada saja yang mengajaknya foto. Lelaki, perempuan, remaja, bapak atau ibu, juga bapak dan ibu yang membawa bayi. Sodiq melayani foto dengan senang hati. Pose andalannya adalah meletakkan jempol di depan dada. Selepas foto, ia melanjutkan makan sembari memeriksa gawai. Tak lama. Sebab ada lagi yang mengajak foto. Nihil keluhan dari Sodiq.

“Ya ginilah risiko jadi orang ganteng,” kelakarnya.

Malam itu OM Monata akan tampil. Sodiq adalah motor utama orkes dangdut asal Sidoarjo ini. Selain bermain gitar, Sodiq juga jadi biduan. Lebih dari itu, Sodiq adalah ikon. Namanya lekat dengan Monata.

Sejak 1989, pria kelahiran Pasuruan ini mengamen di kafe-kafe di sekitar tempat wisata Tretes, dekat dari rumahnya. Ia sering jadi gitaris untuk beberapa orkes dangdut. Hingga pada pertengahan 1990-an, ia diajak Gatot Hariyanto, seorang wirausahawan asal Sidoarjo, untuk membuat orkes dangdut.

“Dulu namanya Penanggungan. Aku ledek, nama kok Penanggungan. Akhirnya aku ganti Monata,” ujar pria dengan tahi lalat di pipi kanan ini.

Nama Monata adalah akronim. “Moh ditoto. Mokong,” tambah Sodiq. Artinya, susah ditata. Bengal.

Meski ini band dangdut, tapi pernah pada satu masa kelakuan mereka tak jauh dari perilaku bintang rock. Seks, drug, dangdut koplo. Beberapa kali mereka manggung dengan mabuk. Tapi Sodiq menyesal saat melihat rekaman video itu.

“Kami main jelek, tempo jelek. Kacau. Akhirnya saya ngobrol dengan personel lain, gimana kalau kita coba main enggak mabuk. Ternyata bagus. Sejak itu enggak pernah lagi tampil mabuk.”

Ada beberapa momen yang membuat Sodiq kemudian perlahan menjauhi alkohol. Pertama, beberapa kawannya meninggal karena gaya hidup ugal-ugalan itu. Ia juga terkena dampak langsungnya.

“Ini,” katanya menunjuk segaris besar sayatan di perut, “bekas operasi usus buntu. Kebanyakan minum alkohol, jarang makan.”

Sekarang Sodiq jauh dari dunia ingar bingar itu. Kalau minum alkohol, katanya, badan terasa nggreges. Sodiq kini lebih mirip sebagai bapak di Monata. Setelahnya, Nono (gitaris) dan Hanafi (tamborin) yang termasuk senior di Monata. Selain itu, usia Sodiq yang menjelang 50 lebih tua ketimbang banyak personel lain.

Pengusaha Gatot Hariyanto juga memberinya kepercayaan untuk mengatur orkes. Beberapa pesanan manggung kadang melalui Sodiq. Pria penggemar Ebiet G. Ade ini juga tak segan memarahi personel band yang tidak disiplin.

“Disiplin itu kunci,” ujarnya.

Sodiq tak sesumbar belaka. Jadwal manggung di Lapangan Kuti adalah pukul 8 malam. Satu jam sebelumnya, ia sudah ada di tempat. Selama berkarier lebih dari 20 tahun, ia boleh bangga: tak sekalipun ia pernah terlambat. Padahal sejak 2000-an, jadwal manggung Monata padat. Pernah mereka harus manggung 47 kali dalam satu bulan.

“Pokoknya harus siap tidak pulang ke rumah.”

07.00

Sepagi itu Sodiq sudah memandang layar komputer di studio pribadi di rumahnya. Studio Sodiq sederhana. Satu ruang operator berukuran 2×3 meter persegi, dan satu bilik rekam berukuran sama. Di ruang operator, ada satu komputer dengan layar besar serta satu set sound. Di atas layar komputer, ada satu lukisan Sodiq bertelanjang dada dan mendekap seekor ayam jago.

Agenda Sodiq pagi itu adalah merekam lagu-lagu duetnya dengan Rere Amora, salah satu biduanita Monata. Ada 10 lagu yang akan digarap mereka.

Suara Sodiq sedang bindeng. Ia kena pilek. Istrinya membuatkan segelas besar jahe hangat. Sodiq meminumnya pelan-pelan. Ia sesekali berdehem, berharap penyakit di tenggorokan dan hidungnya minggat.

Setelah merasa suaranya agak mendingan, Sodiq masuk ke bilik rekaman. Salah satu lagu yang direkam adalah “Cintaku Padamu”. Sama seperti judulnya, kisahnya tak jauh-jauh dari cinta, yang disebut Sodiq, “tanpa batas dan waktu akan abadi selalu.” Lagu lain adalah “Gerimis Melanda Hati”. Lagu ini punya langgam asmara terpisah jarak.

“Jarak memisahkan kita, ku takut kau tak setia. Curiga menguras jiwa. Walaupun aku percaya, jodoh tak akan ke mana.”

Operator mengatur tata suara rekaman. Ia memberi tanda kapan Sodiq harus berhenti, dan kalau-kalau liriknya salah. Sodiq tampak konsentrasi penuh. Ia berusaha bernyanyi dengan baik, walau agak sengau.

“Masih kedengar bindengnya, ya?”

Operator memutar hasil rekaman. Sodiq tertawa kecil. Tak apa, katanya, nanti direkam lagi. Hasil rekaman awal ini akan dikirim ke produser.

Jika tak ada jadwal manggung—dan hal seperti ini jarang banget—Sodiq biasa mengurusi rekaman. Sama seperti jadwal manggung, jadwal rekamannya padat. Bisa jadi ia adalah pekerja paling keras dan disiplin dalam dunia dangdut Indonesia saat ini.

Sodiq dikenal sebagai penulis lagu mumpuni. Ritme kerjanya cepat. Ia menulis lagu berdasarkan momen, mirip-mirip para jurnalis yang menggarap isu terkini. Saat terjadi tragedi lumpur Lapindo, ia menulis “Porong Ajor”, alias Porong hancur. Lagu ini membuat nama Sodiq makin dikenal, jadwal manggung makin padat, honor pun naik drastis.

“Biasanya dibayar seratus ribu sekali manggung, gara-gara lagu itu bisa dapat honor satu sampai satu setengah juta,” ujarnya.

Sebagai penulis lagu dengan ritme cepat, wajar kalau Sodiq kehilangan hitungan berapa jumlah lagu buatannya. Ia menyebut jumlahnya sak arat-arat, alias banyak sekali hingga tak tahu lagi jumlah pastinya. Ia sering menjual lagu itu ke penyanyi yang butuh lagu. Harganya beragam. Rata-rata Rp5 juta per lagu. Kadang ada pula penyanyi yang datang ke Sodiq, memintanya untuk mau duet.

Tapi Sodiq tak lantas menerima semua tawaran duet. Ia mengaku selalu ngomong blak-blakan. Pahit. Kalau penyanyi itu suaranya tak apik, Sodiq akan berbicara jujur. Cara mengujinya gampang: bawa ke studio. Di sana, Sodiq akan mendengar biduanita itu bernyanyi. “Buat ngecek dia tahu notasi apa tidak.”

Namun Sodiq mengakui, duet adalah salah satu caranya untuk meremajakan pasar. Ia sadar, ceruk biduan di dunia dangdut amatlah sempit, apalagi ia sudah berumur nyaris setengah abad.

Selain duet, ia berusaha tetap mengikuti gaya berbusana anak muda. Ia kerap memadupadankan celana jins, kaus gelap, dan blazer. Rambutnya yang gimbal menjadi salah satu daya tarik dan karakter unik yang membedakannya dari biduan dangdut lain.

“Ya dari dulu banyak orang yang nyuruh saya potong rambut. Tapi saya enggak mau. Ini karakter saya dari dulu, tidak semudah itu mengubahnya.”

19.30

Periksa tata suara dimulai. Keyboard dipencet. Bas dibetot. Sodiq mengetes mikrofon. Sebuah lagu dimainkan sepotong-sepotong. Sodiq bernyanyi. Ia kemudian memberi kode kepada penata suara.

“Tes. Satu dua.”

Blocking, woy.”

“Suara keyboard kurang kedengeran.”

Ratusan penonton sudah menyemut di depan panggung. Para biduanita menunggu di bawah, menanti check sound rampung. Ada lima biduanita yang akan tampil malam itu. Salah satunya adalah Niken Aprilia.

Niken dikenal sebagai penyanyi Monata yang sering menyanyikan lagu rock. Repertoar yang kerap ia bawakan mulai dari “Neraka Jahanam”, “Bang Bang Tut”, “The Final Countdown”, hingga lagu rock klasik Indonesia, “Kerangka Langit”. Dalam suatu kesempatan manggung di Lamongan, Niken menyebut lagu “Angkara” dari band Power Metal sebagai “lagu wajib kalau manggung di sini.”

Niken didapuk sebagai penyanyi pertama malam itu. Ia tampil anggun dengan gaun terusan berwarna hitam. Ia tak membawakan lagu rock sebagai pembuka, melainkan “Konco Mesra”. Ini lagu ciptaan Husin Albana, menjadi salah satu lagu dangdut koplo paling populer, apalagi sejak dinyanyikan oleh Nella Kharisma. Seperti biasa, setiap konser Monata selalu dibuka oleh MC Bram Sakti. Setelah pria berkumis lebat itu menyapa, ia langsung memanggil Niken maju ke depan.

“Selamat malam, Pandaan!”

Tak butuh waktu lama, penonton langsung menggila. Beberapa penonton di baris depan, langsung naik ke bahu kawannya. Di sisi kanan panggung, beberapa remaja yang memakai topeng Guy Fawkes mengepalkan tangan ke udara dan menggoyangnya 360 derajat. Sepertinya nyaris tak ada penonton yang tak berjoget, meski itu hanya anggukan kepala. Melihat ini, rasanya aman menyebutkan bahwa penonton dangdut koplo adalah penonton konser paling antusias.

Pada lagu ketiga, keributan terjadi di bagian tengah penonton. Gelut. Polisi sigap. Membelah penonton, beberapa pengisruh semburat. Niken geleng-geleng kepala. “Ini baru lagu ketiga, lho,” celetuknya dari atas panggung. Setelah itu, konser relatif aman.

Dari balik drum dan kendang, Juri menyaksikan semuanya dengan ketenangan macam pertama. Dengan rambut dikuncir kuda dan mata sipit, ia cocok dijuluki Steven Seagal van Probolinggo. Sebagai drummer merangkap kendanger, Juri-lah yang menjadi pengontrol ritme. Kalau sedang dalam bagian “normal”, ia akan memukul drum. Tapi kalau akan memasuki koplo, dengan gesit ia akan meletakkan stik dan tangannya beralih ke kendang.

Tak tung, tak tung, tak tung tung!

Click to view slideshow.

Kendang adalah pembeda koplo dengan langgam dangdut lain. Slamet, pemain kendang OM New Pallapa, menyebut birama koplo adalah 4/4, berbeda dari lagu dangdut yang biasanya 3/4. Karena birama yang lebih rapat itu, dan saat kendang dimainkan serta ritme lagu berubah, ada luapan perasaan yang sukar dijelaskan. Tangan seperti bergerak sendiri, dan kaki tiba-tiba bergoyang tanpa bisa dilawan. Joget otomatis.

“Lagu apa saja bisa dibikin koplo. Kalau udah dikoplo, pasti yang denger jadi joget,” kata pria yang akrab dipanggil Cak Met ini.

Baik Juri, Cak Met, maupun Sodiq, sama-sama tak bisa menjawab siapa pencipta koplo sesungguhnya, atau kapan pastinya dangdut koplo muncul. Tapi mereka menyetujui satu hal: dangdut koplo lahir di lokalisasi Jarak, Surabaya.

Saat itu pertengahan menuju akhir era 1990-an. Ngetren penggunaan pil koplo, yang membuat pemakainya merasa bersemangat. Irama koplo yang rancak seakan membuat pendengarnya menenggak pil koplo. Bersemangat dan penuh energi. Di lokalisasi Jarak, tempat malam terasa panjang dan riuh, musik yang diputar harus bisa membuat pengunjung merasa bersemangat—dan tentu saja bergairah. Koplo lahir dari suasana rakyat seperti itu.

Agar suasana makin meriah, maka diselipkan juga senggakan. Sorakan ini sebenarnya muncul dari kesenian karawitan. Ada berbagai macam senggakan. Wiwik Sagita, biduanita popular dari OM Sagita, dikenal punya senggakan khas “Asolole”. Ada pula senggakan seperti “hok ya, hok ya”, atau “hak e, hak e”, dan tentu saja “buka sitik, jos!”

Peneliti dangdut asal Amerika Serikat, Andrew Weintraub, menyebut koplo berakar pada tarian ronggeng di pedesaan Jawa. Koplo menjadi kaya karena tak sakadar menyerap pengaruh Melayu atau India seperti dangdut. Melainkan juga musik metal, house, dan seni rakyat lain seperti jaranan, jaipong, atau ludruk.

Koplo perlahan populer berkat mode penyebaran yang unik, yakni melalui rekaman video hajatan yang kemudian diperbanyak dalam format VCD. Persebarannya masif. Dari Jawa Timur hingga ke Jakarta. Dari sana, muncul ikon baru, biduanita asal Pasuruan, Inul Daratista. Terlepas dari gaya goyang ngebor yang berkarakter itu, Weintraub mencatat musik yang dibawakan Inul berbeda dari dangdut yang pernah ia dengar.

Weintraub menyebut musik Inul punya dasar rock yang kencang, gitar yang menjerit, tempo cepat, dengan seksi-seksi lagu yang berubah-ubah dengan cepat. Perubahan tempo dan seksi lagu yang berubah cepat itu yang dikenal sebagai koplo.

Kehadiran koplo dari pinggiran Jawa Timur ini bisa mengguncang kerajaan dangdut yang selama ini dipegang oleh sang raja Rhoma Irama. Saat Inul muncul pada awal 2000-an, Rhoma langsung menunjukkan ketidaksukaanya. Weintraub menyebut bahwa Inul dianggap sebagai pendatang gelap di “kalangan komunitas dangdut yang tertutup dan picik di Jakarta, tidak seperti sosok kalem, santun, dan glamor yang ditampilkan oleh biduan-biduan era 1990-an (misalnya Cici Paramida, Ikke Nurjanah, Itje Tresnawati). Inul menampilkan citra perempuan kuat, tegas, dan seksual.”

Inul kemudian diboikot. Diserang. Goyangannya dianggap membangkitkan syahwat lelaki. Michael H.B. Raditya dalam “Dangdut Koplo: Memahami Perkembangan hingga Pelarangan“, menyebut boikot, serangan-serangan, serta tuntutan agar dangdut koplo bisa mengedukasi, sebagai hal yang ambigu.

Dangdut koplo memang membawa nilai yang berbeda dari dangdut ala Rhoma. Raditya menyebut bahwa beberapa lagu dangdut koplo menawarkan keterbukaan dan keadaan yang dialami oleh masyarakat di Jawa Timur. Hal itu yang mungkin tidak dirasakan oleh para borjuis dangdut di ibu kota. Lagu-lagu seperti “Wedi Karo Bojomu”, “Oplosan”, “Ditinggal Rabi”, hingga “Bojo Galak” adalah perwujudan paling paripurna dari slogan seni menjiplak kehidupan.

Kehadiran internet juga membawa perubahan besar. Ikwan Setiawan, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember, menyebut bahwa internet berperan krusial membuat masyarakat memahami keberagamaan budaya yang lentur. Dalam hal ini: dangdut koplo.

“Jadi musik yang dulu dianggap hanya konsumsi pinggiran, sekarang didengar oleh para masyarakat digital. Ini hebatnya internet. Bisa menjadikan sesuatu yang dulu dianggap tidak menarik, menjadi tren baru,” ujar pendiri Matatimoer Institute ini.

Maka, sekarang kita bisa menyaksikan video klip “Jaran Goyang” yang dibawakan oleh Nella Kharisma ditonton lebih dari 90 juta kali di Youtube. Atau bagaimana lagu “Sayang” yang dinyanyikan Via Vallen bisa ditonton lebih dari 98 juta kali. Internet juga menjadikan pemain kendang, yang biasanya dianggap kalah penting dibanding vokalis atau pemain seruling, sebagai selebritas baru. Cak Met, salah satunya.

Beberapa penggemar membuat laman di Facebook bernama Fans Ky Ageng Cak Met New Pallapa. Anggotanya sudah melebihi 15 ribu orang, dan terus bertambah setiap harinya. Pemain kendang juga bisa jadi amat populer karena bangunan struktur dangdut koplo yang menjadikan mereka sebagai panglima. Membuat para pemain kendang menjelma sebagai bintang panggung baru.

“Padahal aku ya agak kagok kalau dianggap artis. Aku biasa wae. Ya berteman saja, enggak usah fans-fans segala,” kata Cak Met.

22.00

Lima orang biduanita berkumpul di atas panggung. Ini tandanya konser bakal segera berakhir. Keyboard dimainkan. Lagu populer dari Armada, “Asalkan Kau Bahagia” dimainkan. Dan di tengah-tengah lagu, Juri meletakkan stik drumnya, menabuh kendang.

Tak tung! Tak tung!

Tempo jadi enak buat joget. Apalagi dikompori oleh senggakan. Di pinggir kiri panggung, joget penuh seluruh berarti senggolan. Darah muda, mungkin juga alkohol, membuat kepala panas. Pukulan dilayangkan. Tentu saja berbalas. Ricuh. Kali ini paling ramai ketimbang tiga kali keributan malam itu. Polisi gemas. Mereka menyerbu bagian kiri. Penonton kocar-kacir. Tapi yang berkelahi biarlah berkelahi. Di bagian depan panggung, tak ada yang peduli. Mereka tetap berjoget. Dunia milik mereka yang berjoget, yang lain hanya numpang berkelahi.

Jagat penonton dangdut koplo memang menarik. Ada yang datang untuk berkelahi, seakan dengan adu jotos semua masalah bisa minggat. Jenis lain adalah penonton dengan moto: apa pun masalahnya, joget solusinya. Malam itu, dua jenis penonton dalam jagat koplo menemukan pelampiasannya masing-masing.

Hak e! Hak e!

The post Di Bawah Kerajaan Dangdut Koplo, Iman Kita Adalah Bergoyang appeared first on Foi Fun!.


Sejarah Dangdut Koplo: Dari Harmonium Hingga Melayu

$
0
0

Sejarah kelahiran dangdut koplo tak bisa dipisahkan dari akarnya, yakni orkes harmonium hingga orkes Melayu. Dangdut koplo juga lahir karena pengaruh jaipongan dan jaranan.

Bagi Rhoma Irama, kesedapan tak cuma perkara makanan. Tapi juga musik. Ia menuliskan tentang kesedapan musik di Taman Ria dalam “Terajana”, lagu klasiknya yang dirilis pada 1973.

Iramanya Melayu, duhai sedap sekali
Sulingnya suling bambu
gendangnya kulit lembu
dangdut suara gendang
seru bukan kepalang
Terajana
Terajana Ini
lagunya, lagu India

Melalui “Terajana”, kita bisa melihat anatomi sekaligus biografi dangdut. Secara anatomi, dua alat musik yang penting adalah seruling dan kendang. Sedangkan secara biografis, musik ini punya akar, atau setidaknya terpengaruh, kebudayaan Melayu dan India. Soal rujukan biografis, Rhoma menyinggungnya lebih tajam dalam lagu “Viva Dangdut”.

“Ini musik Melayu. Berasal dari Deli. Lalu kena pengaruh dari Barat dan Hindi,” begitu Rhoma bernyanyi.

Dalam Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia (2012), Andrew Weintraub menulis bahwa Rhoma melakukan penjejakan sejarah pada kisah kebudayaan Melayu Deli—dulu masuk dalam wilayah Sumatera Timur, kini bagian dari Sumatera Utara—di mana Orkes Melayu muncul sejak zaman sebelum penjajahan hingga periode 1950-an dan 1970-an.

Irama Melayu memang jadi inti dari musik dangdut, betapapun kemudian Rhoma meraciknya dengan unsur musik rock. Bagian dari mengoplos musik rock ini tampak jelas pada awal karier Rhoma: menenteng gitar Fender putih yang mengesankannya terpengaruh Ritchie Blackmore dari Deep Purple hingga peralihan ke Steinberger hitam andalannya.

Akar sejarah dangdut bisa ditarik jauh lebih ke belakang. Mengutip The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia 1891-1903 (2006), Weintraub mengatakan bahwa leluhur Melayu musik dangdut adalah orkes keliling dari Malaya (Malaysia) yang berlabuh ke Pulau Jawa pada 1890-an. Orkes ini memainkan banyak jenis musik: Melayu, Tionghoa, India, Timur Tengah, juga Eropa.

Selepas di Jawa, para orkes keliling ini lantas pergi ke Sumatera. Di sana, rombongan teater dan orkes musik ini mencari peluang bisnis. Sumatera pada era 1930-an adalah pasar musik yang bergairah. Weintraub menyebut Sumatera bersama Malaya dan Permukiman Selat adalah pasar tunggal untuk rilisan musik beberapa label rekaman Melayu kala itu. Ditambah alasan geografis, penyanyi di Sumatera lebih sering tampil di Malaya dan Singapura ketimbang di Jakarta. Hal ini membuat akulturasi budaya di kawasan-kawasan itu terjadi secara alamiah.

Pada 1930-an, radio berpengaruh besar terhadap popularitas tiga jenis musik yang jadi pondasi awal dangdut: orkes harmonium, orkes gambus, dan orkes Melayu.

Orkes harmonium (OH) disebut-sebut oleh musisi Husein Bawafie sebagai “asal-usul dangdut”. Harmonium adalah nama alat musik sejenis organ asal Eropa yang masuk melalui India dan menyebar ke banyak negara. Peralatan musik OH biasanya terdiri dari harmonium, biola, terompet, gendang, rebana, dan sesekali tamborin. Weintraub mengatakan bahwa OH biasanya memainkan lagu-lagu dengan irama Hindustan, dan lagu-lagu campuran musik Melayu, Arab, India, dan Eropa. Namun, pada era 1940-an, nama OH mulai meredup. Beberapa OH memilih berganti istilah orkes Melayu.

Pondasi dangdut kedua datang dari orkes gambus. Musik yang dimainkannya adalah musik ala Timur Tengah, mengandalkan alat musik gambus serta kendang-kendang bermembran ganda nan kecil, biasa disebut marwas atau marawis. Alat musik gambus dan marwas diperkirakan berasal dari Hadramaut (Yaman). Sebagai penyemarak, ditambahkan pula harmonium, biola, suling, rebana, tamborin, dan bas betot.

Salah satu musisi paling masyhur dari orkes gambus adalah Syech Albar, ayahanda Ahmad Albar. Menurut sejarawan Fandy Hutari, Albar sempat belajar alat musik gambus kepada Sayid Thah bin Alwi Albar di Yaman pada 1926. Albar pertama kali mendapat kontrak rekaman dengan label His Master’s Voice pada 1931. Weintraub mencatat, musik yang dihasilkan Albar berasal dari banyak pengaruh, dan tampak pada karyanya. Mulai Melayu, Arab, hingga Rumba ala Kuba.

Orkes Melayu (OM) adalah kepingan pelengkap dua pondasi awal. Dari pelbagai catatan radio, OM mulai muncul di Indonesia pada 1930-an. Salah satu yang punya nama mentereng adalah Orkest Melajoe Sinar Medan yang dipimpin oleh Abdul Halim. Meski namanya Sinar Medan, orkes ini berasal dari Jakarta.

Dalam kajian Weintraub, orkes ini memakai instrumen Eropa tetapi tetap mempertahankan unsur musikal Melayu. Antara lain pantun dan frasa semisal ‘aduhai sayang’. Weintraub mencatat, lagu Melayu seperti “Sayang Manis” dan “Sinar Malacca” diiringi oleh vokalis dengan suara melengking, dan senggakan untuk menyemangati penyanyi.

Setelah Indonesia merdeka, OM mulai memasukkan sentuhan baru dalam musik mereka: membuat melodi baru berdasarkan melodi film India. Ini disebut-sebut sebagai pintu kelahiran dangdut. Lima tahun setelah Indonesia merdeka, pertukaran budaya semakin kencang. Arab, Melayu, India, Amerika Latin, juga Eropa—yang memperkaya musikalitas orkes Melayu.

 

KOMUNITAS Arab berperan penting dalam perkembangan dangdut di Indonesia. Selain Syech Albar, ada banyak nama warga keturunan Arab yang menjadi tokoh penting dalam jagat musik dangdut. Nama-nama itu, antara lain, Husein Bawafie yang memimpin orkes Chandralela, Said Effendi (Irama Agung), Umar Alatas (Chandraleka), juga Husein Aidid (Kenangan).

Komunitas warga keturunan Arab ini membentuk jaringan yang saling bertukar ilmu. Mereka bermain musik bersama, diskusi, dan ini yang kemudian tanpa disadari punya pengaruh penting dalam dangdut: mengaji. Rupa-rupanya, pelajaran seni baca Alquran (tilawah) adalah faktor utama yang membuat para penyanyi orkes Melayu jadi penyanyi dangdut yang lihai, dengan cengkok aduhai. Weintraub menyebutkan nama-nama seperti Ellya Khadam, Munif Bahasuan, A. Rafiq, Mansyur S., Elvy Sukaesih, dan Rita Sugiarto.

“Yang mereka pinjam dari seni baca Alquran bukan cengkok vokal spesifik, melainkan teknik-teknik vokal penetapan frasa lagu, diksi, pernafasan, dan pelafalan,” tulis Weintraub.

Penggunaan cengkok yang berpijak pada seni baca Alquran ini yang seiring waktu menghasilkan perbedaan antara musik Melayu dan genre musik populer lain saat itu. Maka, tak sukar bagi mereka untuk menyanyikan lagu Arab sekalipun.

 

ERA 1970-an, musik-musik Melayu dan India sudah bertransformasi menjadi dangdut. Musik ini kemudian dianggap sebagai musik rakyat, terutama karena basis mayoritas penggemarnya adalah rakyat kelas bawah. Weintraub menyitir beberapa penyebutan media Indonesia terhadap para penggemar dangdut: rakyat kecil, rakyat jelata, rakyat jembel, golongan bawah, kaum marginal, pinggiran, dan kelas menengah bawah.

Dangdut jadi populer di kalangan rakyat karena liriknya dekat dengan keseharian sebagian besar masyarakat Indonesia. Selain itu, Weintraub menyatakan, musik pop dan rock Indonesia tidak punya akar historis atau ciri musik, “yang mengaitkannya dengan derita rakyat.” Dangdut tidak demikian. Ia punya akar kuat, dan banyak menceritakan kehidupan rakyat biasa. Maka, ia berkembang di lingkungan urban yang “terpinggirkan secara sosial dan ekonomi.”

Hal ini yang melahirkan pertentangan klasik, antara kaum borjuis dan kaum proletar. Dangdut dianggap mewakili selera rakyat kelas bawah, dianggap tidak keren, sekaligus kampungan. Pertikaian ini dilambangkan oleh kisruh antara musisi rock Benny Subardja dari Giant Step, yang menyebut dangdut sebagai “musik tai anjing”.

Istilah dangdut itu sendiri baru lahir pada awal 1970-an. Nama dangdut merupakan onomatope (kata yang berasal dari bunyi) kendang: dang-dut. Beberapa pemusik tidak menyukai istilah yang dianggap melecehkan ini. Dalam Majalah Tempo edisi 5 Mei 1979, Said Effendi, pemimpin OM Sinar Agung, mengatakan istilah dangdut “muncul karena perasaan sinis dari mereka yang anti musik Melayu.”

Weintraub menulis bahwa istilah dangdut diciptakan oleh majalah musik Aktuil. Namun, dalam wawancaranya dengan Meggy Z, Mansyur S. dan Dadang S., istilah dangdut jadi populer berkat jasa Bung Mangkudilaga, penyiar radio yang kerap mempromosikan dangdut di Radio Agustina, Tanjung Priok, Jakarta, pada 1973-1974.

Mangkudilaga mengasuh acara bernama “Sop Dangdut”. Nama ini menarik sebab mencerminkan jiwa dangdut itu sendiri: percampuran. Sop dibuat dari pelbagai jenis sayur, sama halnya dangdut yang terbentuk dari pelbagai pengaruh musikal. Dengan jumlah penggemar yang teus membesar, banyak radio yang kemudian tertarik menyiarkan dangdut.

Faktor lain yang membuat dangdut makin populer adalah larisnya rekaman-rekaman Ellya Khadam. Salah satu indikator mulai populernya dangdut, terang Weintraub, adalah banyak musisi pop Indonesia (yang dianggap mewakili kaum sugih dan gedongan) mau membuat lagu berirama Melayu. Pada 1975, menurut Weintraub, dangdut sudah menguasai 75 persen pasar industri rekaman.

Dunia dangdut semakin membesar saat muncul sang ksatria bergitar dari Tasikmalaya, Jawa Barat, bernama panggung Rhoma Irama. Sebagai musisi dangdut, Rhoma istimewa karena punya akar musikalitas yang berbeda ketimbang penyanyi dangdut lain. Meski Rhoma kecil suka berdendang musik India, ia tumbuh dengan mendengarkan musik rock.

Saat ia muncul dengan pengaruh musik rock yang kental, banyak orang menudingnya tidak orisinal, termasuk wartawan Remy Sylado dari Aktuil. Moh. Shofan dalam Rhoma Irama: Politik Dakwah Dalam Nada (2014), menyebut bahwa Remy mengatakan Rhoma tak layak menyandang gelar raja dangdut karena ia tak orisinal.

Tapi ketidakorisinalitas Rhoma yang kemudian membawanya terus melejit. Ia berhasil membawa nilai-nilai dangdut, yakni percampuran banyak pengaruh musik dan hasil dari akulturasi budaya. Rhoma menyuntikkan pengaruh rock dan pop dalam dangdut.

“Rhoma melakukan banyak persilangan. Sebuah crossover yang memperkaya anasir musik dangdut itu sendiri. Rhoma melakukan perubahan besar-besaran pada semua aspek dengan melakukan elektronisasi. Unsur gitar dan drum yang menjadi ciri musik rock, begitu kental mewarnai musik dangdut ini,” tulis Shofan.

Rhoma kemudian jadi nama yang dominan dalam dunia dangdut, dan menyandang julukan si Raja Dangdut. Sayangnya, terlalu lama menjadi raja membuat Rhoma lupa soal nilai akulturasi yang sempat ia bawa dulu. Ketika Inul Daratista muncul membawa musik koplo sebagai gagrak baru dangdut, Rhoma meradang. Dangdut koplo terpengaruh oleh budaya Jaipong dan Jaranan, dan cepat populer.

Segala pakem dan patron yang dibangun si Raja Dangdut selama puluhan tahun perlahan terkikis karena gagrak dangdut yang datang dari pinggiran Jawa Timur, tempat asing dan teramat jauh dari Deli Serdang. Padahal koplo adalah hasil dari akulturasi budaya, meleburkan pengaruh satu dengan yang lain; sama seperti proses lahirnya dangdut.

Fachry Ali dalam “Musik Melayu atau Dangdut Sebagai Counter-Culture” menulis bahwa Rhoma adalah seorang “ideolog” ketimbang seorang penyanyi. Dan sang raja sadar betul bahwa musik dangdut adalah “tahapan terdekat dari transformasi genre lagu-lagu keagamaan.” Boleh dibilang, sudah sejak akhir 1970-an, Rhoma meletakkan agama berdampingan dengan politik dan dangdut. Karenanya, awal kemunculan koplo yang dianggap seronok, dianggapnya merusak trivium yang ia bangun.

Tapi bahkan seorang Raja Dangdut pun tidak bisa membendung selera yang terus berubah. Sekitar 15 tahun sejak pertikaiannya dengan Inul, dangdut koplo tidaklah mati. Malah makin berkembang, mengalami transformasi yang mencengangkan. Dari gaya bernyanyi yang berbeda jauh dibanding era Ellya Khadam atau Ikke Nurjanah, gaya busana yang jauh dari kata seronok, hingga cara pemasaran yang lebih mengandalkan internet.

Belakangan, kita pun mengenal biduanita-biduanita baru dari rahim dangdung koplo, yang popularitasnya dan jadwal kegiatannya tak kalah dari orang paling penting di negeri ini. Nama-nama ini termasuk Via Vallen dan Nella Kharisma.

Dari kawin silang kerajaan dangdut ini, dari lagu “Terajana” hingga “Anoman Obong”, dari “Viva Dangdut” hingga “Jarang Goyang”, kita tak pernah tahu arah (akulturasi) musik dangdut bakal ke mana. Tetapi, satu hal yang pasti, semua ini membuat kita makin luwes berjoget, dan penyanyinya bertambah sugih. []

The post Sejarah Dangdut Koplo: Dari Harmonium Hingga Melayu appeared first on Foi Fun!.

Cak Met dan Kendang yang Menjadi Jantung Koplo

$
0
0

Robert Johnson, gitaris yang dari tangannya musik blues lahir, dipercaya membuat perjanjian dengan iblis. Isi perjanjian itu: Johnson mendapat kemampuan membuat musik yang belum pernah dihasilkan gitaris manapun dan membuat suara yang tak pernah didengar sebelumnya. Sebagai balasannya, iblis meminta jiwa Johnson kelak.

Johnson dan Iblis berjabat tangan di sebuah perempatan: US 61 dan 49 di Clarksdale, Mississippi. Perempatan itu sekarang dikenal Devil’s Crossroads, alias persimpangan iblis. Dalam pelbagai ilustrasi, digambarkan Johnson dan Iblis berdiri di tengah perempatan. Sepi. Tak tampak makhluk lain. Hanya padang rumput, semak, dan gonggongan anjing dari kejauhan.

Saya mengalami perasaan ganjil seperti yang mungkin dirasakan oleh Johnson. Di sebuah perempatan di Gresik bagian selatan, nyaris tak ada kehidupan manusia siang itu. Rasanya aneh, mengingat daerah ini berdempetan dengan Surabaya. Hanya 30 kilometer dari Terminal Bungurasih.

Jalan aspal panjang ini membelah prairi di kanan kiri jalan. Tak ada tiang lampu. Kalau malam datang, sudah pasti kawasan ini gelap gulita. Saya memeriksa Google Maps, yang terlihat dungu kali ini dengan melabelinya “Unknown road”—jalan yang tak diketahui.

Setelah melewati jalan ini sekitar 2 kilometer, saya akhirnya bertemu dengan satu tanda kehidupan: sebuah warung dengan dipan bambu dan dua meja panjang yang terletak di perempatan. Saya berhenti dan menanyakan arah.

“Rumah Cak Met? Oh itu di Sumput. Kamu terus saja, nanti mentok…”

Suaranya seperti hilang tertelan angin. Saya hanya sempat menangkap kata “mentok, kiri, mentok lagi, terus kanan”. Selebihnya, kapasitas otak saya tak berhasil menangkap arahannya. Tapi satu hal yang harus digarisbawahi: semua orang di sekitar Desa Sumput kenal Cak Met. Meski saya harus bertanya ke empat orang lagi, semua menunjuk arah yang benar.

Rumah Cak Met, tunjuk seorang perempuan tua, masuk ke gang. Pas di seberang masjid. “Rumah paling bagus,” katanya. “Nanti ikutin aja suara musik.”

Sekitar 10 meter dari bibir gang, tampak rumah yang dimaksud. Berpagar warna perak, lantai keramik, dan tembok cokelat. Dari belakang, terdengar lamat-lamat suara musik dangdut koplo. Suara musik datang dari enam subwoofer yang ditumpuk jadi empat tingkat. Di sana, bak seorang raja, Cak Met duduk santai sembari mengisap rokok.

Cak Met adalah sang raja dangdut koplo—meski mungkin bukan satu-satunya. Raja ini memegang kendang. Dan dalam dangdut koplo, kendang memerankan fungsi total sekaligus pembeda dari dangdut biasanya, elemen krusial dari gagrak tandingan dari gelombang dangdut yang telah membanjiri telinga pendengar rakyat Indonesia.

Pembeda paling mendasar dangdut koplo dari dangdut sepupunya—atau kita sebut saja dangdutnya Rhoma Irama—adalah pola ketukan; birama. Untuk bertanya tentang kendang koplo, mungkin nama Slamet Rudi Hartono adalah yang paling tepat dijadikan rujukan.

Cak Met, panggilan akrabnya, sudah bermain kendang sejak belia. Saat kelas 5 SD, ia sudah naik panggung. Beranjak remaja, ia ngamen keliling kampung dengan menggunakan gerobak. Dari kampung ke kampung, kemampuannya terasah. Sebagai pemain kendang yang pernah bermain di orkes dangdut biasa maupun kendang koplo, ia mengisahkan letak perbedaan kendang koplo.

“Kalau di dangdut biasa itu 3/4. Sedangkan di dangdut itu 4/4,” kata Cak Met. Dengan birama 4/4, permainan kendang koplo jadi lebih rapat, dan terkadang lebih cepat.

Andrew Weintraub melakukan pendedahan komprehensif terhadap pola pukulan kendang koplo ini dalam makalah “The Sound and Spectacle of Dangdut Koplo: Genre and Counter-Genre in East Java” (2013). Ia menyebut pola ritmik yang disebut koplo ini adalah “fitur musikal terpenting dalam dangdut koplo. Pola ritmiknya dimainkan melalui kendang.”

Mengutip Lono Simatupang dalam disertasi “The Development of Dangdut and Its Meanings: A Study of Popular Music in Indonesia”, Weintraub menjelaskan bahwa ada pola kendang standar dalam musik dangdut, yakni chalte. Dalam pola itu, ada lima jenis suara yang kemudian membentuk chalte:

Tiga jenis suara, yakni “dang”, “du-ut”, dan “dut” dihasilkan oleh kendang besar yang diletakkan di sisi kiri pemain kendang. Lalu “tak” dan “tung” dihasilkan oleh kendang kecil di sebelah kanan.

Dang adalah nada rendah yang dihasilkan dari pangkal telapak tangan kiri yang diletakkan perlahan pada ujung kendang, dan memukul bagian tengah kendang dengan telunjuk atau jari tengah. Kemudian bunyi du-ut dihasilkan dari pangkal telapak tangan yang diletakkan pelan di bagian tengah, dengan lebih dulu memukul ujung kendang dengan jari tengah atau telunjuk, serta pemain bisa memajukan atau memundurkan tangan. Untuk menghasilkan bunyi dut, pemain kendang akan menghantam ujung atas kendang dengan jari tengah atau telunjuk.

Sedangkan di bagian kanan, suara tak dihasilkan dari memukul tengah kendang dengan telunjuk, mengarah ke bagian pinggir. Kalau nada tung, dimainkan dengan cara yang sama dengan tak, tapi suaranya berbeda karena kendang yang berbeda pula.

“Pola kendang koplo adalah menggandakan semua unsur itu. Ia mengandung dua kali suara ‘dut’ dibanding pola standar chalte. Biasanya tempo koplo dimainkan lebih cepat ketimbang tempo standar chalte,” tulis Weintraub.

Jawa Timur yang dianggap sebagai tempat kelahiran koplo juga dianggap tempat asal pola kendang koplo. Namun, Weintraub juga menyebut beberapa pemain kendang di Jawa Barat punya teori: ritme kendang koplo berasal dari kendang Jaipong.

Dalam liputan lapangannya, Weintraub bertemu dengan beberapa musisi di Surabaya dan Banyuwangi yang setuju dengan teori itu. Jaipongan diperkirakan muncul di Jawa Timur melalui format kaset pada era 1980-an. Tapi sang Profesor Dangdut ini memberi catatan bahwa pola kendang Jaipongan juga memasukkan ritme dangdut.

“Karena itu koplo bisa jadi berasal dari interpretasi ulang pola ritme dangdut, yang kemudian diterjemahkan melalui jaipongan. Pendekatan kreatif ini menunjukkan adanya proses silang budaya di antara kelompok etnis, alih-alih saling usaha mendominasi,” jelas Weintraub.

Dengan tempo yang lebih cepat dan rapat, musik yang dihasilkan koplo jelas lebih membuat bersemangat—baik bagi penyanyi ataupun pendengar. Hasilnya tentu jelas: joget bersama.

“Kendang koplo itu bikin orang yang awalnya enggak mau joget, jadi bikin pingen joget,” ujar Sodiq dari Orkes Melayu Monata.

Karena posisi vital kendang dalam orkes dangdut koplo, wajar kalau para pemain kendang kerap jadi ikon. Weintraub menyebutkan nama Cak Met dan Waryo (OM Armega) sebagai dua pemain kendang yang memopulerkan ketukan koplo. Cak Met punya basis banyaik penggemar dan menembus batas daerah. Para penggemar itu malah membuat julukan luhur bagi Cak Met: Ky Ageng. Di Facebook, laman penggemarnya berisi sekitar 15 ribu anggota.

Di YouTube, coba ketik kata kunci Cak Met. Hasil yang muncul sekitar 16 ribu entri. Banyak yang ditonton hingga jutaan kali. Semisal “Cak Met Semakin Menjadi-jadi” yang ditonton 2 juta kali, “Cak Met Melakukan Adegan Berbahaya” (2,2 juta kali), atau “Crew Ramayana Terhipnotis Kendang Cak Met New Pallapa” (2 juta kali).

Nama lain yang juga punya basis penggemar besar adalah Cak Juri, drummer merangkap pemain kendang OM Monata. Sama seperti Cak Met, Cak Juri yang berasal dari Probolinggo ini sudah bermain kendang sejak 1990-an, tetapi bergabung dengan OM Monata pada 2001.

 

DARI singgasana yang diduduki Cak Juri, tampak jelas ratusan penonton berkerumun di depan dan kanan panggung. Niken Aprilia sudah bersiap. Cak Juri memukulkan stik; aba-aba untuk mulai. Ia melirik pada pemain keyboard di sayap kanan panggung. Tuts dipencet.

Yen tak sawang sorote mripatmu
Jane ku ngerti ono ati sliramu
Nanging onone mung sewates konco
Podo ra wanine ngungkapke tresno

Penonton langsung berjoget. Lagu berjalan dengan suasana yang biasa, hingga di tengah lagu, Cak Juri dengan gesit meletakkan stik drumnya. Tangannya langsung bergerak ke kendang di kanan kiri.

Tak tung, tak tung!

Penonton tambah menjadi-jadi. Ada yang menaiki bahu kawannya. Ada seorang penonton dengan topeng Guy Fawkes menari dengan heboh, seakan-akan itu hari terakhirnya sebelum meledakkan Gedung Parlemen. Tapi momen puncaknya bukan itu. Di beberapa momen, saat Niken diam sejenak untuk merambah ke lirik berikutnya, para personel Monata kompak berteriak.

“Hak e! Hak e!”

Penonton seperti tahu kapan sorakan itu muncul. Ada yang goyang patah-patah, ada yang menggerakkan pergelangan tangan seperti menarik tuas gas motor. Ada yang memajukan selangkangan dengan gaya patah-patah. Sorakan itu, kata salah satu dari mereka, seperti puncak dalam sebuah lagu koplo. Bedanya, ia terjadi berkali-kali.

Sorakan dalam dangdut koplo ini disebut sebagai senggakan. Michael H.B. Raditya dalam makalah “Esensi Senggakan Pada Dangdut Koplo Sebagai Identitas Musikal“, menyebut bahwa senggakan punya fungsi kuat dalam tiap lagu yang dimaikan oleh Orkes Melayu.

“Senggakan-senggakan ini dalam permainannya, memberikan patahan-patahan serta ciri khas tersendiri yang membedakan antara dangdut dan dangdut koplo dalam musikalitasnya,” tulis Raditya.

Sebenarnya senggakan bukanlah sesuatu yang baru dalam kesenian. Unsur ini terdapat dalam seni karawitan. Muriah Budiarti dalam “Komposisi Musik Senggak Olah Alok” (2009) mengatakan bahwa senggakan berasal dari kata dasar senggak. Artinya, kurang lebih, suara yang membarengi bunyi gamelan dan sinden. Menurut dosen di Institut Seni Indonesia Surakarta ini, senggakan di dalam karawitan berfungsi memberikan kesan ramai.

“Dengan demikian, senggakan dapat diartikan vokal bersama atau tunggal dengan menggunakan cakepan parikan, dan atau serangkaian kata-kata (terkadang tanpa makna) yang berfungsi untuk mendukung terwujudnya suasana ramai.”

Maka, wajar belaka jika senggakan dalam dangdut koplo zonder makna. Misalkan terma asolole, yang dipopulerkan oleh Wiwik Sagita (ada pula yang menyebut istilah ini diciptakan oleh koleganya, Eny Sagita) dari OM Sagita, Nganjuk. Weintraub menyebut asolole kemungkinan adalah pengucapan Indonesia untuk kata asshole. Namun, terbuka kemungkinan bahwa asolole adalah singkatan dari asosiante lonte lebay, atau asli lo lebay, hingga Assalamualaikum dan selamat sore.

Senggakan lain yang populer, mulai dari, “hak e! hak e!”, “hok ya! hok ya!”, “jah! jah, jah!”, juga “o a e! o a e!”. Semua adalah sorakan yang membuat suasana di atas panggung jadi lebih hidup. Meski banyak senggakan yang tak berpola dan zonder makna, ada pula senggakan yang punya kesan seksual. Yang paling populer adalah: buka sitik joss.

Pola senggakan ini mulai populer demam bunyi nasional saat dangdut koplo mulai dibawa ke televisi. Salah satu yang kentara adalah acara “Yuk Kita Sahur”. Menurut catatan Irfan R. Drajat dalam “Membawa ‘Asolole’ ke Layar Kaca” (2016), pelawak Caesar berjoget dengan diiringi lagu Rhoma Irama berjudul “Kata Pujangga” yang sudah dikoplo.

“Meski band pengiringnya bukan orkes koplo, tetapi mereka coba menirukan formula khas dangdut koplo, lengkap dengan senggakan yang khas, seperti ‘buka sitik joss’, ‘icik-icik ehem ehem’, ‘geli dikit nyoh’, dan lain-lain.”

Senggakan menjadi bagian penting dan tidak terpisahkan dalam koplo. Pemain kendang, lagi-lagi menjadi kunci penting dalam menentukan kapan senggakan disorakkan. Ada semacam perbedaan ritme dan jenis pukulan yang menjadi penanda kapan senggakan dimulai.

Setiap orkes koplo punya variasi berbeda dalam jenis pukulan dan ritme untuk menandai kapan senggakan dimulai. Di OM Monata, misalnya, jika ada bunyi ‘tak’ yang dipukul dengan intensif dan berulang, itulah aba-aba untuk mengajak senggakan.

“Pokoknya kalau nadanya begitu, semua pada paham,” kata Cak Juri.

Sama seperti kata-kata senggakan yang tanpa pola, tak ada waktu baku kapan senggakan dimulai. Bisa sejak awal lagu, bisa di tengah, bisa menjelang reff, atau malah ketika solo gitar. Pada akhirnya, senggakan punya fungsi penting. Michael Raditya menyebut senggakan adalah patahan-patahan dan efek dalam lagu. Ledakan itu—juga disebut klimaks oleh banyak orang—memberikan dampak lagu lebih energetik.

“Pembentukan senggakan pada dangdut koplo menjadikan senggakan sebagai karakteristik musikal dangdut koplo yang terkuat, bahkan menjadi identitas musikal tersendiri.”

Raditya benar. Malam itu di Pandaan, Pasuruan, penonton selalu bersemangat ketika mendengar senggakan. Mereka berteriak lantang sembari berjoget dengan cara masing-masing. Seakan mengalami klimaks, berkali-kali.

“Hak e! Hak e!”

 

SELAIN kendang koplo yang tumbuh di kawasan Sidoarjo, Gresik, dan sekitarnya, ada pula gagrak koplo lain yang tumbuh di kawasan Nganjuk, Madiun, Ponorogo, hingga Sragen. Gagrak ini disebut sebagai jandhut, alias jaranan dangdut.

Secara pola dan ritme ketukan, kendangan jandhut tak berbeda dari koplo. Hanya saja ada tambahan kendang sabet dan kendang bem, instrumen kendang dalam kesenian jaranan. Dari gagrak ini, muncul nama Mas Malik dari OM Lagista, Nganjuk.

Di luar nama-nama besar itu, ada ratusan pemain kendang koplo lain. Mutik Nida, misalkan. Ia berbeda dari tipikal pemain kendang dalam orkes dangdut koplo. Perempuan berkerudung ini dijuluki Ratu Kendang oleh beberapa penggemar berkat pukulannya yang trengginas. Namun, perempuan kelahiran 1994 ini memilih untuk tidak bergabung dengan orkes. Ia juga lebih lentur dalam penampilan, kadang ikut orkes dangdut koplo, kadang ikut grup kasidah.

Mutik mengawali kariernya sebagai penabuh kendang dengan lebih dulu belajar kendang Jaipong. Kemudian tertarik belajar kendang dangdut dan kendang koplo. Menurutnya, ada tantangan sendiri karena belajar kendang yang berbeda-beda aliran dan menjadikannya padu.

Ia menyebut pada koplo, ada kendang-kendang seperti kempul yang bisa untuk isian kendang Jaipong. Sejak beberapa tahun terakhir, Mutik belajar pada Papi—panggilan yang ia berikan untuk Cak Met.

“Sejak kenal Papi, main kendangnya jadi serasa punya nyawa,” ujar perempuan asli Semarang ini.

Nama lain adalah Evi Epep, pemain kendang New Kendedes, OM dari Kediri yang seluruh personelnya adalah perempuan. Epep, panggilan akrabnya, juga menjadi salah satu idola baru anak muda, terutama berkat beberapa video tutorial cara memainkan kendang. Meski baru diluncurkan 6 bulan lalu, akun Epep Kendang di YouTube (per 27 November 2017) sudah diikuti oleh 10.157 ribu pelanggan.

Dengan peran penting mereka dalam sebuah orkes dangdut koplo, berapa honor pemain kendang sekali manggung? Semua tergantung skala OM dan juga popularitas pemain kendangnya.

Imam Wahyudi, pemain kendang di beberapa OM di Jember, mengatakan honornya tergantung jam terbang, juga jarak tempuh. Di Jember, honor pemain kendang yang masih hijau berkisar Rp100 ribu per manggung. Imam yang sudah menakik jam terbang sejak 2005 ini biasanya mendapatkan honor Rp200 ribu hingga Rp250 ribu sekali manggung. Jumlah itu bisa bertambah jadi Rp350 ribu hingga Rp700 ribu jika manggung di luar kota. Honor terbesar Imam didapatkan ketika bermain di Lampung, yakni Rp2,5 juta.

Lain lagi dengan OM besar seperti Monata. Menurut Sodiq, honor Cak Juri sebagai pemain kendang utama adalah Rp2,5 juta sekali manggung. Ini angka yang wajar, sebab Cak Juri punya pengalaman belasan tahun. Namanya pun sudah banyak dikenal penggemar Monata. Untuk pemain kendang yang menggantikan Cak Juri kalau berhalangan tampil, honornya adalah Rp1,5 juta. Sedangkan Cak Met maupun Mutik Nida, enggan mengungkapkan honornya.

“Enggak enak kalau nyebutin angka,” ujar Mutik.

Seiring makin populernya dangdut koplo di Indonesia, tawaran manggung pun terus mengalir. Dalam sebulan, Monata bisa manggung 20 hingga 30 kali. Selepas lebaran 2017, mereka malah manggung 47 kali dalam sebulan. Sedangkan Mutik, jika sedang ramai undangan, dalam sebulan bisa tampil 40 hingga 50 kali.

Ini artinya seorang pemain kendang populer, bisa dengan mudah mengumpulkan honor hingga Rp75 juta dalam sebulan. Popularitas dan pendapatan yang besar kemudian jadi daya tarik bagi mereka yang ingin menekuni profesi sebagai pemain kendang dangdut koplo. Tentu jalannya panjang, perlu jam terbang banyak untuk mencapai honor besar. []

The post Cak Met dan Kendang yang Menjadi Jantung Koplo appeared first on Foi Fun!.

Wawancara Cak Met: Bunyi Kendang Bisa Ditiru, Rasa Tidak

$
0
0

Kemunculan dangdut koplo turut membawa pemain kendang ke lampu sorot. Di atas panggung dangdut koplo, pemain kendang adalah pusat dari segalanya. Ia menentukan ritme, mengatur kapan mesin joget digeber.

Dari sekian banyak pemain kendang, Slamet Rudi Hartono alias Cak Met, yang bergabung dengan New Pallapa sejak 1998, menjadi banyak jujugan pemain kendang lain. Penggemarnya membuat julukan luhur bagi Cak Met: Ky Ageng. Di Facebook, laman penggemarnya berisi sekitar 15 ribu anggota.

Gaya bermainnya yang santai (seringkali menaruh kaki di atas kendang, atau main sambil merokok), juga kegemarannya melakukan improvisasi pukulan serta eksplorasi kendang, membuat namanya disebut-sebut sebagai salah satu pelopor kendang koplo. Namun Cak Met menampik anggapan itu. Ia menilai tak akan bisa menyebut siapa penemu dangdut koplo, karena itu akan berujung saling klaim.

“Yang penting main saja, dan bikin orang senang,” ujarnya.

Saya bertamu ke rumahnya, di Gresik, Jawa Timur, untuk berbincang tentang masa kecilnya, perkenalannya dengan dangdut, bagaimana caranya menentukan set kendang, hingga bagaimana ia menyukai lagu-lagu Rhoma Irama.

Sejak kapan Cak Met belajar main kendang?

Aku belajar main kendang dari kecil. Kelas 5 SD sudah naik panggung. Umur 10 tahun sudah ngamen ke mana-mana. Keliling kampung-kampung. Bawa gerobak, isinya aki dan ampli. Pengamennya cowok-cowok semua. Enggak mikir apa-apa. Sampai sekolah enggak selesai, putus SMP kelas 1. Ya di kampung itulah. Nongkrong. Ada kendang, aku main. Ayahku pemain kendang Jawa, di wayang dan ludruk. Ibuku sinden.

Sebagai orang yang bermain koplo sejak awal kemunculannya, bisa dijelaskan seperti apa perbedaan kendang dangdut koplo dan dangdut biasa? Apakah ada perbedaan?

Beda. Beda jauh. Tapi mungkin bedanya masalah bunyi. Ketukannya sih sama. Yang membedakan adalah suara. Kalau dangdut ini banyak tabla. Cara mukulnya juga khas tabla. Selain itu banyak yang sekolah tabla juga. Kalau koplo, mau sekolah di mana? Wong enggak ada sekolahnya.

Ada pengaruh kendang Jawa itu di dangdutan koplo? Kalau di daerah Sidoarjo dan sekitarnya, apakah ada pengaruh dari Jaipong atau kendang Jawa?

Kalau aku, pengaruh dicampur aja. Udah enggak mikir pengaruh dari mana. Yang penting enak didengar. Apakah pas atau enggak. Kalau dipukul enak, ya udah. Sikat saja.

Menurut Cak Met, siapa sih yang menciptakan, atau yang pertama kali main kendang koplo?

Koplo ya muncul di Jarak. Kalau ngomong siapa pencipta, malah bakal jelek. Karena semua bakal mengklaim. Nanti si A bilang dia yang bikin, terus di B bilang dia yang bikin. Wah, ruwet. Sama-sama enggak tahu.

Jadi saya tidak bisa nyebut siapa yang pertama. Jadi kalau aku mikirnya gimana mainku bisa bikin orang joget. Dulu sih (musik koplo itu) dimainkan di kafe, ya mabuk-mabuk gitu. Pada mabuk semua mainnya. Kalau koplo itu memang enak buat joget.

Kalau koplo itu ada eco-nya, perasaan enak. Kalau dangdut, kalau sedih ya nangis. Kalau koplo, lagu sedih ya tetap joget. Sudah enggak mikir itu lagu sedih apa enggak. Tidak aneh-aneh.

Bagaimana seorang Cak Met menjelaskan teknik permainan kendangnya?

Kalau menurut aku pribadi, akan beda belajar kursus dengan otodidak. Kalau belajar dari kursus, ada kuncinya, ada pakemnya. Kalau aku, enggak mikir ke sana. Kalau aku tepuk enak, ya wis itu yang ditepuk. Enggak mikir kunci atau pakem. Paling ya kalau siang panas, kendangnya dilonggarkan. Kalau malam, dikencengin. Enggak pakai main tune ini atau itu. Semua sesenang hati.

Kalau anak lain kadang tanya, ‘Cak ini tak-nya main di kunci A atau B atau C?’ Aku enggak bisa jawab. Karena yang main ya hati. Tapi ya sebenarnya ada tekniknya. Tabla juga, ada cara mukulnya segala. Tapi kalau aku pribadi, enggak punya.

Di wilayah Surabaya ini ada buanyak yang bisa main kendang. Anak-anak kecil juga sudah jago main kendang, jago main tabla. Anak-anak kecil itu banyak yang pengin belajar. Kadang anakku bawa kendang, belajar main kendang sama temen-temennya.

Di sini berarti anak-anak kecil langsung belajar kendang koplo?

Iya koplo, pasti koplo. Soalnya sudah terpengaruh, ngedengerin koplo tiap hari. Akhirnya ya main bebas, seenak sendirinya aja. Koplo itu enggak ada pakemnya. Koplo itu yang penting satu: bisa bikin orang joget dan seneng. Tapi tetep enggak semudah yang dibayangkan.

Orkes koplo pertama ini siapa, sih? Katanya Palapa, Monata?

Enggak bisa mengamati gitu. Kalau di sini cara mengamatinya, musik koplo itu di Jarak. Di kafe-kafe. Semua main koplo. Tapi ya buat di sana saja. Kalau saya, coba niru dan mengembangkan. Kalau orang menerima, kan, artinya bagus. Dulu ya banyak yang enggak nerima. Saya sih cuma bagian pemasaran saja, enggak aneh-aneh (tertawa). Lewat VCD bajakan. Kalau enggak ada VCD bajakan itu, ya mungkin terkenal di area lokal saja.

Ramainya VCD bajakan itu sekitar 2000, ya?

Sebelum itu malah. Tapi ramainya ya 2002, 2003. Enggak keruan itu. Banyak label bikin VCD bajakan. Terserah, saking banyaknya.

Tapi waktu itu di Surabaya, Sidoarjo, Gresik, ada enggak sih label resmi yang bikin video koplo, misal di Banyuwangi ada Samudera Records?

Di sekitaran sini ya ada Perdana Records dan CHGB Record. Lainnya pasti mikir. Ini mereka resmi. Izin. Legalitasnya jelas. VCD bajakan itu ada untung ruginya sih. Untungnya, ya lagunya cepat terkenal. Tapi orang jiwa seni ini sebenarnya enggak mikir untung rugi. Rezeki itu punya jalannya sendiri, kadang enggak langsung.

Peredaran koplo itu awal-awal susah?

Iya. Abah Reso (menunjuk Reso yang duduk di sebelahnya, pemimpin OM Armega yang termasuk generasi OM awal di Jawa Timur) ini bikin CD koplo, awal-awal ya ditelepon, ditanya musik apaan ini. Kami disepelekan. Dianggap merusak musik (dangdut). Tapi aku mikirnya ya main sajalah. Kalau sore, santai main kendang sambil nongkrong.

Sekarang, setelah koplo populer, orang-orang itu bikin julukan macam-macam. Bikin julukan Ky Ageng, misalnya. Kadang bikin takut (di hati, takut sombong). Padahal aku ya enggak pengin aneh-aneh. Biasa ajalah harusnya. Aku sebenarnya penginnya biasa saja. Cuma ya terkadang orang-orang kayak gitu.

Aku ya berteman dengan banyak orang yang suka dangdut koplo. Aku bilang ke mereka, enggak usah nganggep aku sebagai artis atau apa. Aku malu. Mending biasa saja, jadi teman.

Di kendang itu ada rivalitas enggak sih, seperti dibanding-bandingkan?

Kalau pemain kendang dibanding-bandingin itu wajar. Aku enggak pernah mikir sih. Yang bandingin penonton. Karakter pemain kendang kan beda-beda. Tapi fokusku ya cuma siji: main.

Di YouTube, misalnya. Ada yang menulis judul, Cak Met versus siapa. Seolah-olah musuhan. Ngadu. Padahal ya pemain kendangnya santai wae, aku ya ngopi sama Cak Juri, ketawa-ketawa saja. Kalau Cak Juri berhalangan main untuk Monata, ya aku yang gantiin. Kadang ditelepon, Cak Juri lagi sakit dan aku diminta menggantikan. Ya aku main. Jadi kalau ada kayak gitu, mengadu, ya enggak usah dibaca. Kalau kepancing, ya pasti ribut. Enggak usah diurusi kayak gitu.

Kebanyakan pemain kendang yang terkenal ini otodidak?

Soalnya musik koplo enggak ada sekolahnya. Harus dengerin permainan orang lain.

Bagaimana proses memasukkan senggakan dalam lagu? Apakah ada semacam tanda atau momentum?

Itu terserah yang main kendang. Di tengah, bisa. Langsung dikoplo ya sikat wae. Kalau di New Pallapa ya enggak ada janjian. Semua langsung paham. Kadang di tengah, kadang di-koplo. Kadang kalau aku senang lagunya, dari awal langsung tak koplo. Paham semua.

Koplo ini ketukannya enggak selalu cepat?

Ya bisa juga. Gimana ya nyebutnya. Bingung aku. Kadang ikut tempo. Kadang ya dicepetin. Misal kecepatan 80, aku jadikan 160. Aku pernah rekaman lagu 3/4. Temponya lambat. Ya gimana ya, enggak enak buat joget.

Pemain kendang ini kunci ritme di koplo?

Iya, dangdut juga. Pokoknya kendang. Semua ngikutin apa kata pemain kendang, ketukannya ada di kendang. Semua yang megang kendali itu kendang. Makanya, di OM, kalau yang pegang kendali itu bukan kendang, pasti enggak jadi (amburadul).

Yang paling susah itu jangan bermain dengan mengandalkan ego masing-masing. Saling memasrahkan diri saja. Kalau mengunggulkan kemampuan sendiri-sendiri, ya enggak jadi. Kuncinya: saling menutupi kesalahan teman-teman. Memang susah, sih. Wong kadang band yang sudah besar saja masih bisa ribut perkara ego. Terus bubar. Aku juga banyak ganti musisi.

Biasanya di orkes koplo ini ada cadangan pemain kendang?

Ada. Kalau di New Pallapa, pemain cadangane adikku sendiri. Segala sesuatu, dari pendengaran, ya enggak munafik, pasti ada perbedaan. Tapi ya jangan sampailah. Aku pernah sakit seminggu, malam mau berangkat langsung kerasa sakit.

Itu kalau mendadak gimana latihannya?

Sudah biasa itu, sudah profesional. Sudah hafal, lagu ini seperti apa. Kalau sekarang, kalau ada lagu baru, belajar sendiri-sendiri di rumah. Baru latihan. Tetap harus latihan.

Dulu enggak gitu, lebih bebas. Kalau dulu dengar musik sendiri-sendiri, terus langsung dimainkan di panggung. Kalau sekarang enggak berani. Karena tiap lagu punya coraknya masing-masing. Lagu sama, kadang musiknya beda. Tapi ya ada lagu yang tetap ecouenak. Kayak lagu-lagunya Rhoma Irama. Lagunya Rhoma itu gampang diinget, dibikin apa pun tetap enak. Kalau main lagu Rhoma, pasti enak dikoploin. Rasanya adem di hati.

Semua lagu itu bisa dijadikan koplo?

Semua lagu bisa. Asalkan tahu selanya. Ketukannya. Ada lagu yang tidak bisa dikoplo, misal 3/4, dibikin koplo. Beda, sih, ngganjal. Tapi kami harus pintar-pintar. Disiasati, misalkan melodi dipanjangin sedikit. Misalkan lagu “Menunggu” yang harusnya tidak bisa dikoplo, karena ketukan 3/4. Tapi akhirnya dikulik, dicari caranya. Ketukannya harus pas 4/4.

Kalau koplo itu pasti ketukannya 4/4?

Pasti. Sebenarnya koplo itu, kalau berani, 3/4 pun bisa juga. Cuma pukulannya akan jadi monoton. Variasinya enggak akan bisa banyak. Kalau banyak ya buyar. Aku sering mengubah lagu. Lagu kalem, aku speed. Modalku ya keberanian aja. Ya walaupun mungkin ada beberapa yang enggak terima musiknya diobrak-abrik gitu.

Pernah diprotes karena dianggap mengobrak-abrik lagu?

Pernah dulu. Awal-awal ya sering. Beberapa musisi (dangdut konvensional) juga pernah datang, istilahnya menertibkan. Juga minta royalti.

Tapi sekarang di YouTube, istilahnya menang. VCD dan kaset bajakan sudah enggak ada. Tapi ada YouTube. Sudah kadung meledak. Uangnya itu banyak. Kalau aku mau ngurusin (royalti), ya bisa kaya. Tapi aku enggak pernah ngurusin itu. Kadang-kadang ada yang ngirim pulsa. Aku enggak aneh-aneh. Kadang-kadang juga ada yang ngasih uang. Sebulan ngasih Rp2 juta, Rp3 juta. Kadang aku bingung, aku enggak kerja apa-apa tiba-tiba dikasih uang.

Kalau bikin lagu, Cak Met langsung pakai kendang?

Tetap pakai gitar sih. Saya bisa sedikit-sedikit main gitar, atau keyboard. Karena pengin ngerti gimana cara mainnya. Kadang waktu main, temenku bilang ini suaranya agak fals. Itu yang benar, saling mengingatkan. Aku juga selalu bilang ke temen-temen, kalau aku salah fill atau fals, tolong dibilangindiingetkan. Sama-sama belajar.

Karena seenak-enaknya (permainan) manusia, pasti sesekali ada enggak enaknya. Enggak ada pemain yang sempurna. Jadi kadang kalau di panggung terus aku salah, ya ketawa-ketawa aja. Kalau dipikir sambil emosi, bikin pusing. Kadang, kan, lupa lagunya, jadinya ikut aja mainnya. Bondo nekat.

Sejak dangdut koplo makin populer di kalangan anak muda, apa pengaruh ke jadwal manggung jadi makin banyak?

Jadwal manggung itu bukan dari penyanyi. Tapi ya kadang ada gini, orang booking OM Sera, ada syarat harus ada Via Vallen, misalkan. Tapi pertanyaanku: si pengundang ini mau nanggap orkes atau penyanyi? Kalau mau nanggap orkes, ya ikut saja siapa penyanyi mereka. Kalau kamu nanggap penyanyi, ya silakan undang dia, lalu cari orkesnya.

Tapi memang patokan orkes ini penyanyi. Ada ikon. Misalkan Monata, ikonnya itu Sodiq. Kadang kalau ikonnya berhalangan hadir, honornya pasti turun. Kalau enggak ada ikon, ada pengundang yang enggak mau, membatalkan. Ada yang pernah membatalkan tiga kali, biar ikon ini jadwalnya pas.

Bayaran per manggung meningkat?

Diamati saja seluruh OM di Indonesia. Misalkan ya Sera, New Pallapa, Monata, Lagista. Masalah, mohon maaf, honor ya? Tergantung dari OM dan orangnya masing-masing. Tergantung individu. Jadi relatif.

Sistem bayarannya bagaimana, apakah honornya dibagi rata?

Ya beda. Tergantung pengalaman juga. Pasti ada beda dan selisihnya. Tapi enggak enak kalau nyebutin angka.

Tapi Cak Met boleh ya misalkan disewa OM lain? Ada kontrak enggak ?

Bebas. Justru kalau kontrak itu malah enggak enak. Aku dulu pernah dikontrak, tapi ya kurang enak. Asalkan enggak bentrok jadwal, bebas ikut OM mana saja.

Benar enggak sih ada semacam pembagian tak terlihat, misalkan: di kawasan Nganjuk, Madiun, sampai Sragen, itu wilayahnya Lagista atau Sagita. Kalau di kawasan Mojokerto, Sidoarjo, Gresik, tapal kuda, itu wilayahnya Monata, New Pallapa, Sera.

Itu ada benarnya. Seperti wilayah Kertosono, Nganjuk, Madiun, Ponorogo, Ngawi, bahkan Solo, Sragen, Boyolali, secara musik itu, kan, ada jaranannya. Seperti Lagista. Kalau New Pallapa enggak bisa nembus. Masalah wilayah. Jadi kalau manggung, susah. Ya mungkin juga soal harga. Bisa juga perbedaan musikal. Orang, kan, punya selera masing-masing.

Kenapa koplo itu kok tumbuh di Jawa Timur?

(Terdiam beberapa lama, berpikir) Aku sendiri enggak tahu jawabannya. Lahirnya memang di Jawa Timur. Itu pun tidak bisa didefinisikan. Gimana ya. Bingung. Merambat, sih. Pelan-pelan. Dari Jawa Timur, lalu sampai Jawa Tengah, kemudian ke Jakarta.

Jadi masih belum ada jawabannya. Kan ada yang bilang karena orang Jawa Timur ekspresif.

Kalau soal itu, kayaknya enggak juga. Tapi bisa juga ditanyakan kenapa kok banyak yang merujuk ke OM koplo Jawa Timur? Misalkan dulu, OM Moneta (bukan Monata) dari Surabaya yang tampil di TPI. Kenapa enggak ngundang OM dari Jakarta saja? Mungkin soal skill permainan. Bukan buat rekaman ya, skill di panggung. Kan, itu berbeda. Misalkan ada yang jago main di studio, main di panggung jelek. Kalau Moneta ini di panggung oke, di studio juga oke.

Settingan kendang Cak Met bagaimana?

Ada yang 7 kendang, ada yang 9. Isinya 8 tak, 1 dem. Aku kadang cuma sekadar pengin nyoba. Pakai 3 pun enak-enak saja. Kadang aku eksplorasi. Kadang aku sendiri getun, ngapain kok nambah-nambahi. Kadang dikasih tabla, aku pasang. Aku dapat lagi, aku pasang lagi. Mikrofonnya sendiri-sendiri, tukang sound-nya bingung (tertawa).

Tapi Cak Met paling nyaman main berapa kendang?

Main berapa aja, enggak ada cerita enggak nyaman. Sama saja, sih. Meski main dua ya bisa saja. Tapi kalau ada tambahan, kan ada seni barunya. Kendangku dari mana-mana, ada kendang dari Banyuwangi, Pati, Cirebon, Bandung. Ada semua. Jadi seninya koplo itu merangkum semua kendang. Jaipongan ada. Banyuwangian ada. Tapi ya kembali lagi selera saja. Kalau aku, aku campur aduk saja. Asal kedengarannya enak.

Aslinya pelajaran kendang itu, dipelajarin siapa saja bisa. Yang enggak bisa ditiru itu: rasanya. Eco-nya.

Bisa enggak sih kendang koplo diajarkan di sekolah-sekolah?

Mungkin saja, kalau gurunya berani, ya bisa. Kalau aku pribadi, enggak berani. Beberapa orang minta tolong aku buat ngajari. Aku enggak berani, aku bukan guru. Caraku ngajari ini bukan aku nyuruh murid untuk main seperti ini seperti itu. Tidak. Aku tidak bisa ngajari. Jadi aku suruh dia lihat saja. Meniru bunyi suara, atau cara memukul.

Jadi intinya adalah rasa. Itu paling sulit. Suatu pekerjaan apa pun kalau enggak main rasa, ya enggak akan jadi. Harus ada rasanya dulu. Kalau sudah ada rasa, nanti jadi. Banyak orang yang punya skillhebat, tapi kalau enggak pakai rasa, ya kering. Istilahnya, enggak ada rasa. enggak eco.

The post Wawancara Cak Met: Bunyi Kendang Bisa Ditiru, Rasa Tidak appeared first on Foi Fun!.

Menanti Incubus

$
0
0

Pada usia 14 tahun, Brandon Boyd tahu: ia tak jago-jago amat berselancar untuk bisa jadi seorang peselancar profesional. Di sela cita-citanya jadi tukang gambar—setelah tahu mustahil untuk jadi Indiana Jones—ia bertemu dengan Mike Einziger. Mereka berdua sepakat untuk membentuk band.

Karena mereka tak bermaksud bikin duet, dua pelajar di SMA Calabasas ini mencari rekan lain. Bertemulah mereka dengan murid lain, Alex Katunich dan Jose Pasillas. Mereka sering main di pesta-pesta amatir anak SMA. Dibayar bir sudah lebih dari cukup. Di salah satu panggung tahun 1991, tampak musik mereka adalah epigon dari Red Hot Chili Peppers, dan Brandon dengan rambut panjang pirangnya nyaris tak bisa dibedakan dari Anthony Kiedis.

“Incubus itu nama yang terdengar lucu. Kami masih usia 15 tahun saat itu. Di panggung itu, kami harus cari nama untuk main di sana. Mike yang dapat nama Incubus. Kalau pilihanku sebenarnya Spiral Staircase, karena waktu itu aku senang banget kultur hippies,” ujar Boyd dalam sebuah wawancara.

Setelah sering bermain di ruas jalan suci Sunset Strip, Los Angeles, nama Incubus mulai berkibar dan menarik perhatian label. Saat para personel libur sekolah, mereka mulai merekam lagu. Salah satu lagu awal mereka adalah “New Skin”, yang menunjukkan jalan awal mereka sebagai band nu metal, lengkap dengan gesekan turntable dari DJ Lyfe. Bukan kebetulan kalau yang menemukan Incubus adalah Paul Pontius, A&R Immortal Records, yang sebelumnya turut mengontrak Korn ke label turunan Sony itu.

Tahun 1995 menjadi tetenger bahwa Incubus bisa menjadi band profesional. Mereka menandatangani kontrak 7 tahun dengan Immortal, dan merilis album debut berjudul aneh: Fungus Amongus.

Keisengan para personel Incubus tampak dari nama samaran yang dipakai sebagai nama personel. Happy Knappy adalah Brandon, Fabio adalah Mike, dan sebagainya. Album debut ini, sayangnya bernasib sama seperti judulnya: buruk. Beberapa kritikus menyebut Incubus sebagai versi RHCP dan Rage Against the Machine yang kelelahan.

Nama Incubus sempat tenggelam saat mereka memutuskan vakum selama dua tahun. Di pertapaan itu, mereka menulis materi untuk album ketiga, Make Yourself (1999). Secara materi, mereka menajamkan irama pop ketimbang nu metal atau funk seperti di awal karier. Lagu “Drive” menjadi andalan. Berawal dari intro gitar akustik yang langsung membetot perhatian, lalu disambut dengan scratch dari personel baru, Chris Kilmore.

Album ini sukses, baik secara komersial maupun kritik. Berkat tambahan lagu jagoan seperti “Pardon Me” dan “Stellar”, album ini berhasil terjual dua juta kopi di Amerika Serikat. Mereka melakukan tur keliling dunia, bahkan bermain di festival metal Ozzfest. Tur dan konser itu membuat mereka kelelahan.

Pada 2001, mereka kembali beristirahat dan memilih untuk tetirah di Malibu, California. Pantai menjadi rumah kedua mereka. Para personel Incubus memang tumbuh besar di California dan biasa menghabiskan waktu dengan berselancar. Meski tak menjalani karier sebagai peselancar profesional, Brandon masih setia melakukan olahraga itu hingga sekarang. Malibu punya garis pantai yang panjang, mencapai 34 kilometer. Tak salah kalau Incubus tetirah dan membuat materi album berikut di sana.

Morning View menjadi judul album keempat mereka yang dirilis pada Oktober 2001. Gambar sampulnya menampilkan bukit dan pantai, dengan sisa halimun yang ditempa sinar matahari. Bisa jadi ini album Incubus yang digarap dengan cara paling menyenangkan.

Album ini yang kemudian disebut oleh penulis Brandon Deroche sebagai, “gambaran suasana California.” Musik Incubus, tulis Deroche, seperti perwujudan kehidupan menyenangkan ala California: matahari bersinar sepanjang tahun, pantai, berselancar. Lagu seperti “Are You In” memancarkan pesona seperti itu.

“Itu kekuatan utama musik, dan itu adalah keajaiban Incubus,” ujar Deroche.

Sejak Make Yourself, Incubus jelas bisa melepaskan diri dari citra band nu-metal atau rap metal yang kelelahan. Mereka membuat jalan sendiri. Meski itu tak selalu berjalan mulus. Beberapa perubahan musikal, semisal lagu yang lebih terasa “pop” menghasilkan omelan para penggemar lawas. Yang kerap tak disadari para penggemar konservatif itu, Incubus adalah bagaimana seharusnya band bermetamorfosis.

Ketika masih muda dan merintis karier, kau akan menerima pemakluman saat bersikap iseng. Seperti memakai nama samaran atau memberikan judul album yang buruk dan tak layak untuk diingat. Usia bertambah dan ditempa oleh pengalaman, kedewasaan perlahan muncul. Bosan dengan segala yang menghentak, pendekatan yang dipakai lebih ala California: kalem, santai, sesekali bersemangat.

Seperti saat mereka merilis A Crow Left of the Murder… (2004) ada lagu “Megalomaniac” yang kencang, seolah membentak dan mengacungkan jari tengah pada para pemimpin bebal dan narsisis. Siapa yang menyangka bahwa lagu itu adalah nubuat tentang pemimpin yang Amerika Serikat punya, 13 tahun mendatang. Tapi di album yang sama, ada “Talk Shows on Mute” yang enak didengar sembari naik sepeda jengki menuju pantai.

Incubus terus menjalani petualangan musikal yang berubah-ubah. Para personelnya juga mendapat kebebasan untuk melakukan apa yang mereka suka. Band ini memperlakukan dirinya sendiri dengan gaya santai, lagi-lagi ala California. Mike menjadi mahasiswa di jurusan Teori Musik, Universitas Harvard. Sedangkan Brandon menjadi pelukis dan sudah menerbitkan tiga buku hingga sekarang. Jose tetap menjadi desainer dengan semangat bersenang-senang.

Di antara kehidupan yang tampak menyenangkan itu, Incubus terus membuat musik. Lagu penting seperti “Love Hurts”, “Oil and Water”, “Dig”, “Anna Molly”, juga “Promises, Promises”, menandakan bahwa band ini tak mau berhenti berselancar.

Album terbaru mereka, 8, dirilis pada April 2017. Bukan album yang benar-benar bagus. Tapi tak buruk juga untuk band yang mungkin sudah bingung mau membuat apa lagi. “No Fun” ataupun “Nimble Bastard” mengingatkan pada era Incubus masih memutar knop volume di angka 10. Tapi lagu lain di album ini tak meninggalkan impresi yang benar-benar dalam.

“[…] di album ini, sulit rasanya mencari hal yang membuat Incubus menjadi band cult. Album ini datar dan hambar, sama seperti judulnya,” tulis Dan Weiss dari Consequence of Sound.

Peduli amat. Incubus masih tetap band yang menyenangkan untuk didengar. Jika ingin merenung dan sesekali bernyanyi bersama, menengok ulang katalog lagu mereka adalah pilihan utama. Kalau untuk menghibur diri bahwa Incubus masih bertenaga dan suara Brandon Boyd nyaris tak berubah, 8 bolehlah jadi pilihan.

Incubus dulu cukup sering menjadi selingan, tempat saya mencari kesegaran kalau bosan dengan hair metal. Itu berlangsung hingga sekarang. Bahkan tahun lalu, dari data Spotify, Incubus masuk dalam 5 besar musisi yang paling sering saya dengarkan.

Saya sendiri tahun band ini dari radio. Medio 2004 hingga 2007, lagu-lagu macam “Megalomaniac”, “Talk Shows on Mute”, dan tentu saja “Love Hurts” sering berseliweran di Kiss FM, Prosalina, atau Soka Radio. Kadang, kalau ada sesi classic rock, lagu-lagu macam “Drive” dan “Miss You” turut diputar. Saya kurang suka lagu mereka yang berisik, tak melodius, dan banyak teriak-teriak macam bocah tantrum. Tapi saya suka lagu yang ada unsur sedikit jazz dan funk, semisal “Summer Romance (Anti-Gravity Love Song)”.

Sewaktu Incubus pertama kali datang ke Jakarta tahun 2008, saya tak bisa nonton. Maklum, masih mahasiswa miskin. Kali kedua mereka datang tahun 2011, sialnya, saya masih tetap jadi mahasiswa miskin. Kampret memang. Februari 2018 mereka akan konser, dan saya sudah bisalah nabung buat nonton mereka. Semoga kali ini kesampaian.

Pada akhirnya, Incubus berhasil melewati masa 1990 yang kelam dan bagai roller coaster—tiarapnya hair metal, kelahiran grunge, serta kematian ikon bernama Kurt Cobain. Oh ya, Brandon Boyd itu kayaknya bisa jadi contoh bagaimana menua secara bermartabat. Masih gagah, rambut masih gondrong, badan sehat, suara tetap prima.

Secara musik, mereka satu dari sedikit band dari eranya yang masih terus membuat album secara serius hingga sekarang.  Kudos, Incubus!

The post Menanti Incubus appeared first on Foi Fun!.

Ketakutan dan Kecemasan Danilla Riyadi

$
0
0

Depok sedang diberkahi hujan malam itu. Pukul 6 sore, Stasiun Depok Baru menunjukkan wajah sehari-harinya. Orang yang pulang kerja berlalu lalang dengan muka lelah. Mereka bergegas dengan cepat. Tangan saya meraih ponsel, membuka aplikasi streaming lagu. Memilih “Entah Ingin ke Mana” dari Danilla.

Mendadak, semua gerak cepat orang-orang yang ingin segera lekas sampai rumah menjadi pelan. Seperti di film-film drama yang banyak memasukkan adegan slow motion. Hal ini seperti memberi jeda untuk memikirkan banyak hal dalam hidup, yang kerap mustahil muncul di pikiran ketika sedang bekerja atau terburu-buru.

Saya melompat naik kereta, menuju arah Jakarta Kota. Rencananya turun di Cikini, lalu berjalan kaki sebentar ke Gedung CCM yang hanya sepelemparan tombak dari stasiun. Secara acak, lagu memutar “Ini dan Itu”, lalu “Laguland”, hingga “Ikatan Waktu Lampau.” Efeknya masih sama. Papan stasiun terasa berkelebat dengan lambat. Pasar Minggu. Duren Kalibata. Tebet. Manggarai. Cikini. Gondangdia.

Juancuk! 

Saya mendecak kesal. Kebablasan. Kemudian mengutuk diri sendiri karena menghilangkan kesempatan untuk berjalan kaki. Di Jakarta, berjalan kaki sembari melamun adalah kemewahan. Kalau sedang bernasib baik, paling hanya suara klakson yang menyuruhmu untuk minggir. Kalau nasibmu buruk, seorang pengendara motor bisa saja membanting helm di depanmu sembari meneriakkan kontol hanya karena kamu berjalan di trotoar dan enggan memberikan jalan bagi motor.

Lagu Danilla dalam Lintasan Waktu adalah teman berjalan kaki yang baik. Andai saja saya tak bablas melewati stasiun tujuan.

Tapi peduli amat. Saya toh sedang menuju Gedung CCM untuk menonton konser Simak Lintasan Waktu. Ini semacam konser dengar bareng album terbaru penyanyi bernama lengkap Danilla Riyadi. Sebenarnya, pada Agustus 2017, album kedua Danilla ini sudah dilepas via Spotify.

Pertama kali mendengarnya pada pertengahan September lalu, ada impresi berbeda yang ditinggalkan oleh Lintasan Waktu. Semacam ada perasaan nelangsa lamat-lamat. Di album pertamanya, Telisik (2014), masih ada keriangan dan romantisme polos ala anak muda di sana-sini. Jurang lebar ini membuktikan betapa besar perubahan yang bisa terjadi dalam diri seorang penyanyi dalam waktu 3 tahun.

Danilla naik panggung selewat pukul 8 malam. Ia tampil sederhana dengan kaus turtleneck lengan panjang berwarna kuning yang dipadukan dengan jeans biru gelap. Senyumnya mengembang, tapi matanya tak bisa berbohong: ia grogi. Di depan panggung, ada ibu dan kakaknya yang turut hadir.

Lagu “Lintasan Waktu” dimainkan pertama. Di album, lagu ini ada di urutan terakhir, lagu ke 10. Suara alto Danilla menggema di seluruh ruangan. Seorang guru vokal suatu ketika pernah menyebutkan bahwa, “Kalau kamu punya suara alto, akan ada banyak kehangatan, ada banyak gaung.” Suara Danilla menampilkan itu semua: rendah, hangat, sekaligus memberikan kesan gema yang bisa menghantui.

Danilla banyak bercerita malam itu. Mungkin usaha untuk mengusir kegugupan. Ini sekaligus memberikan banyak perspektif tentang bagaimana ia membuat lagu-lagunya.

“Album ini dibuat waktu sedang masa susah. Kalau album pertama itu galau remaja, ini album galau dewasa,” katanya.

Dari cerita-ceritanya, setidaknya ada dua hal yang menjadi bahan bakar utama bagi Danilla untuk membuat lagu. Pertama, ketakutan. Ini bukan sejenis ketakutan terhadap hantu atau fobia terhadap laba-laba, melainkan ketakutan yang bercampur dengan kecemasan. Dengan kata lain: angst.

Angst, oleh filsuf Søren Kierkegaard, digambarkan sebagai hasil dari kebebasan memilih yang dipunyai oleh manusia. Kebebasan itu menghasilkan dua perasaan. Pertama jelas rasa senang karena kita bisa bebas memilih. Namun, kebebasan ini pula yang melahirkan angst: kecemasan karena kita tidak tahu apa saja kemungkinan tak terbatas yang lahir karena pilihan kita.

Omong-omong, dua paragraf di atas dan beberapa di bawah nanti, adalah remah ingatan dari tema skripsi saya soal eksistensialisme dulu, hehe. Kalau luput, mohon dimaklumi. Intermezzo saja.

Lanjut.

Kecemasan dan ketakutan ini yang kemudian seolah membayangi Danilla. Dalam “Meramu”, katakanlah. Danilla merasakan kecemasan yang lahir karena kebebasan memilih. Ia merasakan betul bahwa sebagai manusia biasa, ia selalu punya kemauan dan keinginan.

“Tapi kemudian saya berpikir, apakah kemauan itu akan merugikan orang lain?” tanyanya.

Tapi tak semua ketakutan Danilla berwatak eksistensial seperti itu. Tak perlu rumit seperti apa yang diartikulasikan oleh Kierkegaard atau Jean Paul Sartre. Kecemasan Danilla adalah kecemasan biasa, yang bisa langsung terasa mengena dengan pengalaman penyimak lagunya.

Ia misalkan, takut akan menua dan sakit-sakitan. Siapa yang tidak? Ketakutan itu dituliskannya pada “Lintasan Waktu”. Danilla beruntung, ia punya partner ideal dalam membuat lagu: Lafa Pratomo. Bantuannya besar sekali dalam menerjemahkan perasaan Danilla ke lirik dan musik yang terasa klop.

Ketakutan yang sama juga muncul di “Usang”. Danilla menyebut lagu ini lahir karena ketakutan akan rasa sekarat. Ia membayangkan manusia dalam kondisi sekarat. Bagi yang melihat, “mungkin akan terlihat sebentar. Tapi yang merasakannya mungkin seperti ribuan tahun, ya.”

Hal kedua yang kemudian menjadi benang merah lagu Danilla adalah: rasa sakit. Suatu hari, ia bermimpi: lelaki yang paling dicintainya melakukan adegan panas dengan perempuan yang paling ia benci. Setelah bangun, sangat besar kemungkinan jantungnya seperti diremas sarung tangan berduri.

Danilla kemudian menulis “Dari Sebuah Mimpi Buruk.” Di sana, ia bukan lagi seorang perempuan yang merasakan kecemasan hari tua atau perasaan sekarat. Ia bersulih rupa menjadi perempuan yang patah hati dan merasakan sakit tak terpermanai. Untuk sebuah lagu sakit hati, ia sama sekali tak buruk. Sayatan biola membuat suasana makin terasa menusuk. Tapi apalah arti air mata bagi sebuah kemarahan. Setelah ia kering, yang tersisa hanya murka, bukan? Maka ia mengutuk, alih-alih masih terisak.

“Bila terungkap mereka memadu syahdu, terkutuk! Kelak kan membekas, mendendam hingga akhirku runtuh. Runtuh. Runtuh.”

Malam itu Danilla memainkan 10 lagu dari album Lintasan Waktu. Sesekali diselingi pertanyaan dari kawan-kawannya. Suasana sendu dari musik terasa berimbang dengan cerita-cerita Danilla yang seringkali lucu, bahkan ajaib. Misal tentang pulau khayalannya.

Sebagai penyanyi, ia sadar betul ada perbedaan besar antara album pertama dan kedua. Para penggemar Danilla di album pertama punya kemungkinan tidak menyukai album keduanya yang mengusung corak berbeda. Baik tema maupun kegelapan pandangannya. Tapi bukankah musisi yang baik adalah ia yang selalu berubah, seiring pola pikir yang turut bergerak pula? Untuk itu, Danilla layak diberi acungan jempol karena berani mentas dari kolam kenyamanan di album pertama.

Usai konser selesai, saya memutuskan jalan kaki ke Stasiun Cikini. Kereta menuju Depok lebih ramai, lengkap dengan orang-orang dengan wajah letih usai dipukuli kerasnya kehidupan di Jakarta. Ponsel masih memutar Lintasan Waktu. Efeknya tetap sama. Kereta dan orang-orang di dalamnya seperti bergerak amat lambat.

Saya berharap kali ini tak kebablasan lagi.

The post Ketakutan dan Kecemasan Danilla Riyadi appeared first on Foi Fun!.

Dibilangi Kok Gak Percaya: Bon Jovi Bakal Masuk Hall of Fame

$
0
0

Waktu ada pengumuman siapa saja yang dicalonkan masuk Rock N Roll Hall of Fame, mas Philips Vermonte kasih pertanyaan sekaligus ajakan untuk “berjudi”. Siapa yang bakal masuk ke sana? Sebagai penggemar hair metal dan band rock 1980-an, pilihan saya tentu absolut: Bon Jovi. Mas Philips cuma terkekeh, menganggap pilihan saya hanya wujud dari cinta yang bebal dan keras kepala.

Ia tentu menyangsikan Bon Jovi. Sebab Radiohead dan Rage Against the Machine yang menurutnya lebih punya sumbangsih terhadap peradaban musik, juga dinominasikan. Dua nama itu memang saingan kelas berat.

Tapi saya optimis Bon Jovi masuk. Pertama, selain perkara cinta yang sudah membatu, Bon Jovi itu tipikal band yang disukai kritikus maupun penggemar. Terutama di album-album awal, dan mungkin berhenti di album Crush (2000). Bon Jovi sukses menghasilkan album-album yang baik secara artistik, dan sukses secara komersial. Ketiga, Bon Jovi membuktikan bahwa namanya masih tetap bergaung lintas generasi.

Coba suruh penggemar musik rock 80-an dengar lagu Radiohead –terutama di album–album pasca Kid A— sebagian besar pasti akan bengong dan mikir: ini apaan sih? Sebaliknya, banyak anak muda kelahiran 90-an sekalipun, pasti masih tahu “It’s My Life”, dan akan susah menahan godaan nyanyi bersama di “Always”.

Selain itu, Bon Jovi juga tipikal band yang kerap dipinggirkan. Contoh paling akurat: rasanya mengherankan bukan, bahwa “Livin’ on a Prayer” nyaris tak pernah masuk dalam daftar lagu terbaik tentang kelas pekerja. Padahal, kurang kelas pekerja apa lagu itu?

Dalam lagu yang termaktub di album Slippery When Wet (1986) itu, Bon Jovi mengisahkan hidup sepasang buruh bernama Tommy dan Gina. Tommy bekerja di pelabuhan, dan suatu hari kena PHK. Gina bekerja di restoran untuk membiayai hidup mereka berdua. Hidup tak pernah mudah, tapi mereka saling menguatkan. Saat Gina menangis di tengah malam dan bermimpi bisa pergi dari kota terkutuk itu, Tommy selalu berbisik.

“Baby, it’s okay, someday.”

Kisah hidup Tommy dan Gina adalah kisah hidup banyak manusia di kelas pekerja. Hidup yang keras. Pemecatan datang tanpa mengetuk pintu. Kerja terlampau keras dengan bayaran yang tak seberapa. Yang bisa dilakukan adalah menanam asa, sembari berharap bahwa hidup akan membaik suatu saat nanti.

Tentu saja “Livin’ On a Prayer” susah sekali masuk dalam anthem para buruh. Bisa jadi karena ia tak mengajak orang mengepalkan tangan ke udara dan menyerukan revolusi, seperti yang dilakukan oleh Rage Against the Machine, misalkan. Tak ada ajakan untuk mengambil alih moda produksi dan menggilas kapitalisme.

Atau bisa juga karena lagu ini dianggap terlalu “cemen” dan sama sekali tak sangar. Kontra revolusi. Ngak ngik ngok. Yang paling masuk akal: ini lagu dari Bon Jovi, band rock besar yang lahir di era 1980-an, masa yang kerap disebut sebagai dekade paling dekaden dan hedon dalam sejarah musik. Sama sekali jauh dari bayangan band yang bisa mengubah nasib suatu kaum.

Namun lagu-lagu besar dan bersejarah tidak pernah dibuat di atas kepalsuan. Lagu “Livin’ On a Prayer” merupakan cerminan hidup Jon Bon Jovi, pendiri band ini. Jon, lahir dari ayah ibu imigran, berusaha hidup dari musik sejak usia belasan. Selagi bermain musik dari klub ke klub, ia menjadi tukang pel studio milik saudaranya, Tony Bongiovi.

Pada 1982, Jon merekam lagu pertama, “Runaway”. Ini adalah salah satu penanda awal moncernya penyanyi kelahiran New Jersey ini. Walau sempat mendapat banyak penolakan, lagu ini perlahan menyelusup ke tangga lagu radio. Menjadi salah satu lagu favorit para pendengar di New Jersey. Maka label-label yang dulu menolak Jon, berebutan meminta tanda tangan kontrak.

Saat itu Jon tak punya band tetap. Lagu itu direkam bersama para musisi di studio. Maka Jon mulai mencari personel untuk bandnya sendiri. David Bryan, keyboardis, adalah orang pertama yang ia kontak. Jon sudah mengenal Bryan sejak usianya 16 tahun. Bryan kemudian mengenalkan pemain bass Alec John Such dan drummer Tico Torres. Untuk gitaris, Jon mengajak Dave Sabo, tetangganya sendiri. Kelak Sabo membentuk Skid Row yang juga jadi band besar. Setelah Sabo tak lagi jadi anggota, Jon mengajak Richie Sambora.

Album self titled pertama Bon Jovi dirilis pada 1984. Meski ada “Runaway”, album ini dianggap tak berhasil secara penjualan. Tapi Bon Jovi masih dapat kesempatan kedua. Setahun kemudian, 7800° Fahrenheit dirilis. Lagi-lagi, album ini dianggap tak berhasil, dan mendapat kritik keras dari banyak majalah musik.

Jon mengingat dengan jelas perjuangan membuat dua album yang boleh dibilang prematur itu. Dalam Bon Jovi: When We Were Beautiful (2010), Jon menyebut “kami masih bayi di album pertama, dan album kedua dirilis sembilan bulan kemudian.”

Bryan mengenang dengan lebih nelangsa: “Pertama kali bus tur kami datang, aku masih tinggal dengan orang tuaku. Richie dan Jon juga masih tinggal bareng orang tua mereka.”

Album ketiga jadi pembuktian. Kalau masih gagal, karier mereka tamat. Bryan silakan kembali jadi mahasiswa di Rutgers atau melanjutkan studi di Juilliard. Richie boleh jadi pemain gitar cabutan. Dan Jon masih akan disambut oleh saudaranya, untuk kembali jadi tukang pel.

Tapi kita sama-sama tahu, mereka berhasil melewati garis tipis antara hidup dan mati itu. Album Slippery When Wet tidak hanya sukses, melainkan sukses besar. Ada banyak lagu yang dengan segera menjadi klasik. Mulai dari “You Give Love a Bad Name”, “Wanted Dead or Alive”, “Raise Your Hands”, balada “Never Say Goodbye”, dan tentu saja “Livin’ on a Prayer” yang seharusnya sejak saat itu dipacak sebagai lagu kebangsaan sepasang kekasih dari kelas buruh —dan sayangnya tak banyak yang melakukannya.

Tur segera digelar, dimulai pada 9 Juni 1986 di Ipswich, Inggris. Berakhir pada 30 Oktober 1987. Lepas dari tur, mereka langsung tancap gas membuat album berikutnya. New Jersey dirilis pada 1988. Album ini kembali sukses, melejitkan tembang semisal “Lay Your Hands on Me”, “Bad Medicine”, “Living in Sin”, dan “I’ll Be There For You” yang hingga kini masih sering dimasukkan dalam kelompok lagu rock balada sepanjang masa.

Tapi kerja keras bagai mesin itu menyiksa mereka. Bryan ingat betul betapa lelahnya ia setelah penggarapan New Jersey dan tur yang mengikutinya. Dalam kurun 1984 hingga 1990, ia hanya berada di rumah selama 6 bulan.

“Bayangkan, enam bulan dalam enam tahun!”

“Ya apa boleh buat. Kami tak punya tempat tujuan lain. Lagian apa yang lebih baik ketimbang tur? Apalagi kamu masih muda, ingin melihat dunia, dibayar pula,” timpal Jon.

Tapi tak semuanya menganggap seperti itu. Di akhir tur, banyak personel merasa terlalu capai. Tico Torres salah satunya. Ia menyebut tur Bon Jovi sudah nyaris tak masuk akal. Sampai pada titik mereka bingung ada di mana, dan apa alasan mereka melakukan tur.

“Band ini jelas bekerja terlalu keras,” katanya.

Richie Sambora juga merasakan hal yang sama. Suatu malam, kenangnya, mereka didatangi oleh tim manajemen yang menawarkan tur tambahan, 70 pertunjukan. Mereka menolak. Dan Sambora merasa itu adalah keputusan yang amat penting.

“Kami sangat berantakan saat itu. Baik secara emosional maupun fisik. Hidup kami berubah amat drastis, dan semua orang merasakan kesakitan yang sama,” ujarnya.

Kelelahan macam itu yang jadi salah satu alasan Alec John Such memutuskan keluar dari band —beberapa sumber menyebutnya dipecat. Penyebabnya adalah perbedaan pandangan: Such ingin rehat, sedangkan Jon adalah pekerja keras dan tak pernah mau melambat. Penggantinya adalah Hugh McDonald, yang merupakan pemain bass saat Jon merekam “Runaway” untuk pertama kalinya.

Keluarnya personel merupakan hal langka di Bon Jovi. Band ini memang punya ikatan yang bisa dibilang solid. Setelah Such keluar, langkah itu baru diikuti oleh Sambora yang keluar pada 2013, 30 tahun setelah ia bergabung dengan Bon Jovi. Lagi-lagi, ada perbedaan persepsi di sini. Beberapa orang bilang, Sambora keluar karena pertikaian dengan Jon. Sedangkan Jon, dalam satu wawancara, berkata bahwa perilaku Sambora yang menjadi alkoholik dan melewatkan 80-an jadwal panggung, membuatnya tak tahan lagi dan harus memecatnya.

“Ia mungkin ingin berhenti sejenak main musik, tapi itu tak berarti kami semua juga harus ikut berhenti,” kata Jon.

Kesolidan dan kerja keras Bon Jovi memang terbayar. Sepanjang kariernya, mereka merilis 13 album studio. Beberapa album membuktikan bahwa kesuksesan mereka melintasi generasi dan usia.

Album Crush misalkan. Dirilis pada 2000, lagu-lagu seperti “It’s My Life” berhasil menggaet penggemar berusia muda. Band ini juga seperti tak alergi dalam perubahan genre musik, bisa ditengok di Lost Highway (2007) yang bercorak country.

Dengan capaian-capaian penting Bon Jovi, tak heran kalau band ini dianggap layak masuk ke dalam Rock and Roll Hall of Fame. Memang ada beberapa orang yang menganggap Bon Jovi tak cukup berpengaruh untuk masuk dalam kelompok bergengsi itu. Salah satunya datang dari Jann Wenner, pendiri majalah Rolling Stone. Pria yang juga menjadi anggota direksi Rock and Roll Hall of Fame itu menganggap bahwa Bon Jovi tidak penting-penting amat bagi dunia musik.

“Aku tak menganggap band itu penting. Apa sih jasa Bon Jovi bagi dunia musik? Nihil.”

Tapi jutaan fans Bon Jovi tak bisa diabaikan. Band ini kembali dinominasikan ke dalam Rock and Roll Hall of Fame. Mereka pertama kali dinominasikan pada 2011, tapi tak lolos. Barulah pada 2017, nama mereka lolos. Menyisihkan nama-nama seperti Rage Against the Machine dan Radiohead, dua nama andalan mas Philips. Hihihi.

Dengan dukungan voting lebih dari 1 juta orang dan sistem ketat —semisal penilaian lebih dari seribu orang “pakar musik”— Bon Jovi berhasil jadi ketua kelas Rock and Roll Hall of Fame angkatan 2018 bersama The Cars, Dire Straits, The Moody Blues, Nina Simone, dan Sister Rosetta Tharpe (kategori Early Influence).

“Bon Jovi redefined the rock anthem by dominating arenas and captivating audiences with hooks that continue to define the decade,” begitu keterangan museum yang terletak di Cleveland ini.

Mereka akan dilantik pada 14 April 2018. Jon berencana mengajak dua anggota penting yang tak bisa dilepaskan dari kebesaran band ini: Such dan juga Sambora.

Pada akhirnya Bon Jovi adalah wujud dari kerja keras. Musik yang mereka hasilkan, tur yang mereka jalani, adalah anak kandung semangat mereka. Mereka tak mengenal keberuntungan, termasuk dilantiknya mereka ke dalam Rock and Roll Hall of Fame. Sama seperti yang pernah mereka lantangkan di “Always”.

“Well there ain’t no luck in these loaded dices.” []

The post Dibilangi Kok Gak Percaya: Bon Jovi Bakal Masuk Hall of Fame appeared first on Foi Fun!.

Sejarah Cerutu: dari Havana Hingga Jember

$
0
0

Bagi Fidel Castro, lelaki terkeren sedunia tak lain tak bukan adalah Ángel Castro y Argiz, bapaknya sendiri. Castro senior adalah imigran dari Galicia, kawasan Barat Laut Spanyol, yang kemudian jadi juragan perkebunan tebu sukses di Kuba. Ia merayakan upacara kedewasaan Castro dengan cara unik: memberinya sebatang cerutu dan wine saat sang putra berusia 15 tahun.

“Ayahku merokok cerutu dan minum anggur Spanyol. Ia yang mengajarkanku tentang dua hal itu,” ujar Castro dalam wawancara bersama Cigar Aficionado.

Castro ingat betul hari itu: sebatang puro pertamanya. Puro adalah sebutan untuk cerutu yang seluruh bagiannya dibuat di satu negara. Dengan kata lain, puro—dari diksi Spanyol pure—yang diisap Fidel hari itu adalah cerutu Havana murni. Kelak, dalam buku biografi berjudul My Life, sang pemimpin Kuba mengakui pengalaman pertamanya mengisap cerutu itu laiknya perjaka yang bingung bagaimana cara bercinta.

“Untungnya aku tidak mengisap asapnya. Tapi tetap sih, kamu akan menyerap sedikit nikotin, meski tak mengisapnya sama sekali.”

Castro adalah salah satu tokoh dunia yang amat menggemari cerutu. Selain dirinya, tokoh lain yang paling sering mengisap cerutu adalah sahabatnya sendiri, kompanyon sekoci revolusi: Erneto “Che” Guevara. Sedikit berbeda dari Castro—yang memang penggemar berat cerutu sejak usia 15 tahun—Guevara sedikit lebih permisif. Apa pun bentuknya, asal terbuat dari tembakau, ia mau mengisapnya.

Dalam artikel berjudul “Che’s Habanos“, penulis Jesus Arboleya dan Roberto Campos mengisahkan hubungan mesra antara Guevara dan tembakau. Dalam catatannya, Guevara menyarankan beberapa barang yang harus dibawa oleh para pejuang gerilya.

Barang itu, antara lain, tempat tidur gantung buat istirahat, kover plastik untuk tempat berteduh sementara, selimut guna melindungi diri dari udara dingin pegunungan, garam buat mengawetkan makanan, minyak pelumas untuk senjata, botol berisi air segar, obat-obatan dan tembakau.

“Karena merokok kala senggang ialah sobat sejati bagi tentara yang kesepian,” tulis Che.

Castro lahir di Kuba, tanah yang sering dinobatkan sebagai penghasil cerutu terbaik di dunia. Setiap kotak cerutu yang bertuliskan Hecho en Cuba (terbuat di Kuba) dihargai mahal. Tentu sebagai negara yang mengontrol nyaris semua aspek ekonomi rakyat, perdagangan cerutu juga dikontrol pemerintah.

Empresa Cubana del Tabaco, alias Cubatabaco, adalah perusahaan negara yang mengontrol perdagangan semua produk tembakau Kuba. Pada 1994 dibentuk sayap perusahaan, Habanos, yang bertugas mendistribusikan cerutu Kuba ke dunia internasional.

Ada banyak merek cerutu Kuba yang dikenal dunia. Partagas, misalkan. Para cigar aficionado menyebut cerutu ini berkarakter berat: sedikit tendangan rasa peppery bercampur rasa tembakau yang kuat. Ada juga merek Punch, yang sudah ada sejak 1840: lebih ringan, sedikit jejak rasa manis. Kalau suka rasa floral dan nutty serta ada semerbak rasa dan aroma herbal, coba merek Romeo Y Julieta.

Kalau kamu bukan pemula dan suka cerutu yang menendang, harus coba Bolivar yang berat. Yang paling laris adalah Montecristo, dengan rasa tajam bercampur buah-buahan yang manis dan mengandung ruapan rasa kopi dan cokelat yang samar.

Namun, yang paling terbaik—cream of the top—adalah Cohiba. Rumornya, ini cerutu yang dilinting khusus untuk selera Fidel Castro. Para gringo boleh saja membenci dan tidak setuju atas apa pun yang dilakukan Pak Brewok ini. Tapi kamu harus setuju satu hal: seleranya untuk cerutu amat tinggi.

Awalnya cerutu ini dibuat untuk hadiah diplomasi. Tembakau Corojo dan Criollo terbaik diperam dalam waktu lama. Tak heran kalau rasanya berat karena nikotin makin matang. Harganya termasuk paling mahal. Satu batang bisa dipatok Rp980 ribu.

Meski Kuba sudah lama dikenal sebagai negara penghasil cerutu terbaik di dunia, asal muasal cerutu sendiri belum jelas benar. Salah satu sumber primer yang kerap jadi rujukan adalah penemuan guci di Guatemala—diperkirakan berasal dari abad 10. Di guci itu tampak lukisan seorang dari suku Maya yang minum gulungan daun tembakau diikat benang. Istilah suku Maya untuk menyebut kegiatan itu adalah sikar, yang kemudian dianggap sebagai akar kata cigar alias cerutu.

Masuknya tembakau ke Eropa tak lepas dari penjelajahan, penjarahan, dan penjajahan yang dilakukan oleh Christopher Columbus. Awak kapal yang dikomandani oleh Columbus kali pertama melihat daun tembakau di kepulauan Hispaniola—kini wilayah negara Haiti dan Dominika. Ketika Columbus datang ke Kuba, mereka melihat para Taino—warga asli kepulauan Karibiamengisap gulungan daun tembakau.

Apa yang diisap oleh para Taino itu bisa dianggap bentuk purwarupa rokok dan cerutu sekarang: gulungan daun tembakau yang dibungkus daun lain semisal palem. Meski berakar dari tanaman yang sama, dua produk ini memiliki jalan dan nasib berbeda.

Secara industri, rokok jadi jauh lebih besar ketimbang saudaranya. Nilai industri rokok pada 2015 mencapai 698 miliar dolar, dengan 5 miliar batang terjual pada 1 miliar perokok. Sedangkan cerutu memilih jalan lebih sepi, lebih kecil pangsa pasarnya. Penikmat cerutu diperkirakan hanya 100 juta orang, sepersepuluh jumlah para perokok. Nilainya pun lebih kecil. Tapi cerutu menempati ceruk kecil yang berisi banyak kemewahan.

Cerutu lekat dengan citra elegan. Terutama setelah cerutu banyak dinikmati oleh para pesohor Hollywood.

 

DALAM buku Cigar Cool (1999), Amerika Serikat disebut menjadi pintu masuk tersebarnya cerutu ke seluruh dunia. Gelombang pertama kedatangan cerutu ke negara Paman Sam itu terjadi pada abad 18. Salah satu gelombang terbesar ini terjadi ketika salah satu pebisnis cerutu bernama Vicente Martinez Ybor pada 1869 memindahkan operasi cerutunya dari Havana, Kuba, ke Key West, Florida. Lalu pada 1885 kembali pindah ke Tampa, Florida.

Martinez Ybor kemudian membangun kota mandiri bernama Ybor City. Menjelang pergantian abad, sudah ada 200 pabrik cerutu di Tampa dan sekitarnya, dengan jumlah pekerja lebih dari 5.000 orang. Hampir semua adalah orang Kuba.

Cerutu kemudian jadi lebih populer di Amerika Serikat sejak dinikmati oleh banyak pesohor. Dari atlet seperti Babe Ruth, aktor seperti Jack Nicholson, mafia Al Capone, hingga Presiden Bill Clinton dan John F. Kennedy.

Kennedy menyukai cerutu Kuba Petite Upmann. Bagaimana Kennedy memuaskan hasratnya pada cerutu sekaligus menegaskan sikap politik, bisa menjadi contoh lihai atau licik seorang politisi kelas wahid bertindaktergantung dari kaca mata Anda.

Pada 6 Februari 1962, Kennedy memerintahkan Pierre Salinger, yang menjabat sekretaris pers Gedung Putih saat itu, untuk membeli 1.200 batang cerutu Petite Upmann. Waktunya hanya 24 jam. Setelah mendapat 1.200 batang cerutu favoritnya pada pagi hari, Kennedy menandatangani embargo perdagangan terhadap Kuba.

Akibat dari embargo itu, warga Amerika Serikat dilarang membeli cerutu Kuba. Sedangkan pabrikan cerutu di AS tidak diperbolehkan mengimpor tembakau Kuba. Para pencinta cerutu Kuba kalang kabut. Pabrik cerutu di Kuba kekurangan pembeli. Tapi Kennedy bisa dengan santai mengisap cerutu yang sudah ia amankan.

Ditambah dengan nasionalisasi aset oleh pemerintah baru Kuba yang dipimpin oleh Castro, banyak pabrikan cerutu di sana pindah ke lokasi baru, terutama Dominika. Beberapa pabrik yang diambil alih oleh negara antara lain Hoyo de Monterrey, Upmann, juga Partagas.

Dua kejadian besar ini membawa perubahan besar dalam dunia cerutu. Pabrikan cerutu yang dulu di Kuba pindah negara tapi tetap memakai nama lama. Mereka juga tetap memakai bibit tembakau yang sama; juga teknik penanaman tembakau yang sama. Di Kuba, Cubatabacoperusahaan cerutu milik negarajuga meneruskan produksi cerutu dengan nama lama.

Perubahan lain yang muncul adalah susahnya mencari cerutu Kuba sejak embargo. Para pemalsu cerutu mudah saja membuat tiruan yang nyaris tak terdeteksi, kecuali oleh para ahli dan penikmat cerutu. Sasarannya kebanyakan adalah turis, atau mereka yang sekadar ingin coba-coba.

Steve Saka pada 2002 memperkirakan sekitar 95 persen produk berlabel cerutu Kuba yang dijual di Amerika Serikat adalah palsu. Namun, sejak era internet, mengimpor cerutu Kuba ke AS jadi lebih mudah. Apalagi jika produknya tanpa diberi label.

Pada 2015, Amerika Serikat mencabut embargo perdagangan terhadap Kuba. Untuk kali pertama sejak 1962, setiap orang yang masuk AS bisa membawa alkohol atau produk tembakau dari Kuba dengan nilai maksimal 100 dolar per orang. Kebijakan ini diperkirakan bakal kembali meningkatkan lagi nilai penjualan cerutu Kuba.

“Kami perkirakan bisa mengekspor cerutu senilai 250 juta atau bahkan lebih,” kata Jorge Luis Fernandez Maique dari Habanos.

Sampai sekarang, cerutu masih menyimpan citra elegan yang kuat. Cerutu dianggap lebih berkelas ketimbang rokok. Barang siapa yang bisa mengisap cerutu, ia dianggap sebagai orang sukses. Citra seperti itu tak hanya bisa ditemui di negara Barat. Bahkan di Jember, Jawa Timur, cerutu pun punya citra yang sama.

Abdul Kahar Muzakir, seorang ahli tembakau di Jember, punya kesenangan mengisap cerutu dari tembakau Havana yang ditanamnya sendiri. Ia ingin punya pabrik cerutu, tapi kebingungan mencari nama. Suatu pagi, saat asyik menikmati cerutu, ada beberapa anak kecil yang lewat di depannya. Mereka tampak kagum dengan cerutu, yang tampilan dan ukurannya amat berbeda dari rokok biasa.

Wah, mak engak bos,” kata mereka dalam bahasa Madura. Artinya: Wah kok seperti bos (merokok cerutu).

Maka momen Eureka muncul dalam kepala Kahar. Ia akhirnya menyematkan nama Boss Image Nusantara sebagai nama pabriknya. Pabrik ini jadi salah satu pemain baru dalam industri cerutu di Indonesia. Produk andalannya Robusto, yang dibuat dari daun tembakau Havana pilihan.

“Lahannya rahasia. Cuma sedikit orang yang tahu,” kata Kahar, tersenyum.

 

SUATU hari pada 1993, Abdul Kahar Muzakir datang ke Vietnam. Pria yang bekerja sebagai konsultan perusahaan tembakau asal Swiss, Burger Soehne Ag Burg, ini diundang untuk melihat kelayakan pendirian anak perusahaan. Di kota Ho Chi Minh ada lahan tembakau yang jadi bagian dari riset tembakau Kuba.

Sebagai ahli tembakau, Kahar amat paham bahwa tembakau Kuba adalah emas hijau. Dari sana, cerutu-cerutu terbaik dunia dibuat. Pensiunan PT Perkebunan Nusantara XXVII ini ingin sekali menanam tembakau Kuba di tempat tinggalnya di Jember. Ingin minta, jelas tak akan diberi. Maka Kahar memilih untuk sedikit nekat.

“Saya izin pergi kencing,” kata Kahar, kini 81 tahun, mengisahkan ulang kepada saya, akhir Juni lalu. Kami berbincang di Taman Botani milik Kahar di Sukorambi, sekitar 20 menit dari pusat Kota Jember. Suasananya adem. Ada pohon-pohon besar, beragam wahana untuk rekreasi, dan kolam renang.

Kahar masih mengingat peristiwa penting dalam hidupnya itu. Seorang petugas di lahan tembakau kemudian membolehkan Kahar kencing di sembarang tempat. Pria kelahiran Banyuwangi ini memilih tempat agak tersembunyi. Dengan gesit, ia memasukkan lima butir bibit tembakau ke dalam kapsul.

“Waktu itu saya sebenarnya takut banget. Kalau ketahuan enggak bakal bisa pulang. Tapi ya gimana. Keinginan punya bibit tembakau Kuba mengalahkan rasa takut itu,” ujar Kahar sembari menikmati Cigar Master, cerutu racikannya sendiri dari daun tembakau Kuba yang disebutnya sebagai ‘Sepanyol’ alias separuh nyolong.

Kahar membawa bibit tembakau Kuba itu ke Indonesia dan mencoba menanamnya di Jember dengan dibantu oleh seorang peneliti bernama Soeripno. Percobaan ini rada sulit sebab iklim Jember berbeda dari Kuba. Mereka harus menunggu 19 tahun agar tembakau Kuba bisa tumbuh dengan baik di Jember.

Tembakau hasil ratusan kali percobaan tanam ini adalah generasi yang sudah beradaptasi dengan iklim dan cuaca dan tanah di Jember. Dengan hati mantap, Kahar mencoba tanam tembakau Kuba di lahan seluas dua hektare. Ia pernah menyilangkan tembakau Kuba dengan tembakau cerutu Besuki dan jenis lain. Tapi ternyata hasilnya kurang sedap. Jadilah yang ditanam adalah murni daun tembakau Kuba.

“Produk daun bawah kami sebut Half Corona. Kalau daun kaki kami sebut Corona. Yang atas disebut Robusto,” ujarnya.

Kehadiran tembakau Kuba di Jember kemudian membawa banyak perubahan di dunia cerutu Indonesia.

 

DI INDONESIA, ada dua jenis tembakau berdasarkan masa tanam yang umum dikenal. Pertama adalah Voor-ogst yang dikenal sebagai tembakau musim kemarau. Kedua adalah Na-oogst alias tembakau musim penghujan. Tembakau pertama dipakai untuk bahan baku rokok, tembakau kedua sebagai bahan baku cerutu.

Dalam liputan yang ditulis oleh Puthut EA dan Nezar Patria, tembakau Na-oogst Indonesia adalah yang terbesar di pasar dunia—sekitar 34 persen. Dari 34 persen itu, sekitar 25 persen disumbang oleh tembakau Na-oogst Jember. Pada 2014, Jember menghasilkan 8.560 ton tembakau Na-oogst. Selain di Jember, tembakau Na-oogst juga bisa ditemui dalam jumlah kecil di Klaten (Jawa Tengah) dan Deli Serdang (Sumatera Utara).

Namun, sejak 2012, Kahar melalui perusahaan tembakau Tarutama Nusantara menanam tembakau Kuba di lahan seluas 2 hektare. Karena berhasil, luasan lahan pun diperbesar. Tahun ini mereka menanam tembakau Kuba di lahan seluas 2,5 ha. Di luasan itu, jumlah panen biasanya sekitar 4 ton tembakau kering.

Daun tembakau untuk cerutu pada umumnya memiliki tiga bagian: daun bawah, daun tengah, dan daun atas. Ketiga bagian itu memiliki karakteristik berbeda dengan cita rasa yang berbeda pula.

Dunia internasional mengenal bagian daun bawah dengan sebutan volado. Karakteristik rasanya ringan. Karena itu biasanya dipakai untuk pengikat dan pemberi daya bakar. Daun tembakau bagian tengah dikenal dengan sebutan seco. Fungsinya memberi rasa dan aroma. Sedangkan daun bagian atas adalah daun tertua, terpapar matahari dan angin paling lama sehingga jadi bagian daun paling matang. Penggemar cerutu menyebutnya ligero. Fungsinya adalah rasa alias lauk. Ia bagian paling berat yang biasanya dipakai untuk pembungkus cerutu.

Cerutu punya tiga bagian. Pertama adalah filler alias isi. Lalu ada binder alias pengikat. Ketiga adalah wrapper alias pembungkus. Setiap bagian cerutu berasal dari posisi daun yang berbeda. Bagian wrapper didapuk sebagai bagian terpenting dari sebuah cerutu.

“Sama seperti wine, cerutu akan semakin enak bila semakin lama disimpan,” ujar Kahar.

Ini pula yang membedakan antara rokok dan cerutu. Rokok, jika sudah berusia lama, rasanya semakin ambyar. Cerutu kebalikannya. Carlos Fuente Jr, salah satu pembuat cerutu legendaris, mengatakan bahwa semakin tua sebatang cerutu, rasanya akan semakin lembut dan kaya.

“Kalau kamu mengisap cerutu langsung dari meja pembuatan, rasa yang lembut dan kaya itu jelas tak akan bisa kau dapatkan,” ujarnya.

 

PADA 2012, Kahar Muzakir berkeinginan membuat pabrik cerutu. Setelah mendapat nama, Boss Image Nusantara (BIN), dimulailah produksi cerutu. Pabrik ini terletak di Jubung, sekitar 10 kilometer ke arah utara dari pusat Kota Jember. Saya mendatangi pabrik ini selama dua kali, empat hari selepas mengobrol dengan Kahar, pada akhir Juni lalu. Ada sekitar 15 pegawai di meja masing-masing yang tengah mengemas cerutu di pabrik tersebut.

Pembagian kerja dibuat nyaris sama seperti pembagian cerutu. Pertama di departemen Filling. Di sini para pekerja memilih daun tembakau berdasarkan warna serta membuang tulang daun. Dari sana, tembakau isian dibawa ke departemen Binder. Daun yang sudah tanpa tulang ini akan digulung dan dimasukkan ke kotak pressing, yang memiliki rongga berbentuk pipa. Gulungan tembakau ini kemudian dilem dengan lem tapioka.

“Jadi alami, tak ada bahan pengawet apa pun,” ujar kepala produksi Slamet Wijaya.

Setelah digulung dan diletakkan di kotak pressing, kotak-kotak itu ditumpuk dan ditekan dengan menggunakan mesin hidraulik, atau dongkrak botol, berkapasitas 10 dan 15 ton. Setelah cerutu padat, para pekerja membawanya ke bagian akhir pembuatan, yakni Wrapping. Di sana, isian yang sudah diikat dan ditekan kemudian dibungkus oleh daun tembakau berwarna cokelat.

Setelah mulai berbentuk, cerutu dijejer dan dimasukkan ke kotak pengering. Kotak ini dari luar tak jauh beda dari lemari biasa. Ada rak-rak. Di sana, cerutu yang masih basah dan mengandung sedikit sisa air dikeringkan. Proses pengeringan memakan waktu antara 3 hingga 7 hari.

Pabrik Boss Image Nusantara tak hanya memakai tembakau Havana. Ada pula dari Sumatera, Connecticut, dan tentu Na-oogst Besuki. Dari tembakau-tembakau itu, BIN memiliki 29 produk. Ada yang produk standar, ada pula yang berkualitas premium. Harganya beragam. Untuk yang premium seperti Robusto, harganya Rp450 ribu. Jika sudah dijual oleh pihak kedua, harganya bisa meningkat jadi Rp1 juta per kotak isi 10 batang.

BIN menggarap cerutu berdasarkan permintaan. Kalau permintaan tinggi, produksi dipercepat dengan cara menambah tenaga kerja harian. Pernah satu ketika mereka memproduksi 10.000 batang cerutu dalam sehari. Para pelanggannya di kota besar macam dari Surabaya hingga Jakarta. Mereka juga banyak mengekspor. Tujuan utama adalah Malaysia. Selain juga ke Jepang, Jerman, dan Turki. Saat ini mereka tengah menjajaki ekspor ke Slovakia dan Siprus.

“Tahun 2016, nilai penjualan kami di atas 1 miliar rupiah,” ujar Imam Wahyudi, manajer umum BIN.

Cerutu Havana bikinan BIN ini disebut memiliki 90 persen rasa cerutu Kuba. Ada faktor-faktor yang belum bisa disamai, misalkan soal tanah dan kandungan unsur hara. Tanah Kuba pasti berbeda dari tanah di Jember.

“Saat ini konsumen kami bilang bahwa cerutu kami rasanya gurih. Belum mantap seperti cerutu Kuba,” kata Imam.

Untuk itu mereka sedang mengulik bagaimana rasa cerutu Kuba-Jember bisa punya rasa yang sama kuat dengan cerutu Kuba. Menurut Imam, yang mengakui cerutu Cohiba dari Kuba adalah yang terbaik di dunia, salah satu cara memperkuat rasa adalah mencoba-coba racikan berdasarkan posisi daun. Sekarang produk contoh terbaru mereka sedang dikirim ke beberapa negara untuk uji coba rasa.

Imam berkata pasar cerutu lokal masih belum besar. “Bayangkan kalau harga sebatang cerutu Rp60 ribu, yang mau beli, kan, terbatas. Padahal cerutu Kuba harga per batangnya bisa ratusan ribu,” kata pria kelahiran Biting, Jember, ini.

Tapi perlahan-lahan produk cerutu lokal sudah mulai punya pasar sendiri, terutama di kota besar. Selagi BIN melayani ekspor cerutu, mereka sedang memperbesar jangkauan pasar lokal.

Pasar lokal dianggap lebih bisa memberi kenyamanan. Pesanan pasar sudah pasti. Semisal, mereka menjalin rekanan dengan, katakanlah, hotel, permintaannya pasti. Persentase pasar BIN berubah-ubah. Tahun lalu, sekitar 60 persen produk mereka diekspor. Tahun ini, sekitar 90 persen permintaan datang dari pasar lokal.

“Jadi sekarang dikebut di pasar lokal. Karena masyarakat susah berpindah ke cerutu, digempur segmennya saja, yaitu menengah atas,” tambah Imam.

The post Sejarah Cerutu: dari Havana Hingga Jember appeared first on Foi Fun!.


Akhirnya: CB!

$
0
0

Mungkin sudah 14 tahun berlalu. Tapi saya selalu ingat CB Gelatik dengan tangki warna putih-biru itu. Ia menghadirkan aura klasik, maskulin, dan flamboyan dalam satu waktu. Ketika mesin dihidupkan, brrrrr, terdengar seperti gelatik menggeram ingin kawin –ini imajinasi saya saja sih, mana ada gelatik menggeram.

Mereka yang sering nongkrong di Warung Kopi Toyib, Jember, periode 2004-2007, pasti tahu CB gelatik yang saya maksud. Pemiliknya sering nongkrong siang hingga sore di Toyib. Saya yang SMA waktu itu, langsung jatuh cinta dengan CB keren itu pada pandangan pertama.

Saya sebenarnya nyaris tak punya ketertarikan pada sepeda motor. Waktu SMA, kakak saya membawa motor Tiger. Ayah menawari saya motor yang sama, tapi saya tolak.

Mungkin salah satu titik perubahan terjadi saat saya membaca The Motorcycle Diaries di bangku SMA. Dalam bayangan, rasanya gagah dan menyenangkan naik motor hingga jauh, sama seperti Ernesto Guevara dan Alberto Granado. Melanglang sampai batas yang kamu bisa. Dengan motor tua yang mengalami batuk-batuk dan encok, tapi berupaya bertahan sampai napas terakhir. Buku itu, dan motor CB gelatik yang saya temui di Toyib, membuat saya punya dua cita-cita: beli motor CB yang sama, dan mengendarainya hingga jauh.

Tapi apa daya, sebagai anak SMA dengan dompet tipis, rasanya kok mustahil saya bisa beli motor tua. Dulu ayah mau mewariskan vespa lawasnya, tapi motor itu sudah hilang digondol penipu kampret –saya masih dendam dengan orang itu, mungkin sampai saya mati nanti.

Saya tetap memendam impian bertualang jauh dengan motor. Kesampaian tahun 2009. Saya dan Ayos naik motor Grand Astrea 96, dari Jember hingga Flores. Grand Astrea memang bukan Norton 500 milik Alberto Granado di Motorcyle Diaries. Tapi perasaan diterpa angin dan debu jalanan rasanya mirip-mirip lah. Lalu saya sempat juga naik motor sendirian, dari Jember sampai Lombok.

Meski keinginan naik motor hingga jauh itu sudah lumayan terpuaskan, tapi cita-cita beli motor CB gelatik belum kesampaian. Di 2011, saya sempat menuliskan ini, sebagai bentuk “kredit” saya terhadap mimpi lama. Keinginan punya CB kemudian terlupa dengan sendirinya, walau tiap lihat motor sejenis, ia muncul lagi.

Sejak kerja di Jakarta tahun 2014, saya berusaha menabung. Tapi jangankan bisa beli motornya, buat beli bannya saja saya ndak mampu.

Harapannya adalah honor dari kerja sampingan. Tahun 2016, saya sempat memegang honor yang lumayan besar, cukup untuk beli motor CB. Tapi apa daya, waktu itu kami butuh uang untuk membangun dapur rumah. Dengan berat hati, tapi ikhlas kok, saya merelakan uang itu untuk membangun dapur.

Menikah dan membangun rumah itu prinsipnya sama kok: kerelaan untuk mengalah dan memutuskan mana yang lebih prioritas. Hehe.

Lalu lama lagi saya tak bisa menabung. Hingga akhirnya akhir Desember 2017 kemarin saya dapat pekerjaan sampingan. Honornya lumayan lah. Saya lalu bilang Rani: kali ini izinkan saya egois sedikit, pengen beli motor atuh.

Rani cuma geleng-geleng kepala. Dia mengizinkan saja, karena memang saya nyaris tak punya hobi apa-apa dan beli apa-apa. Walau ia sempat mengingatkan: kita kan mau bikin kitchen set. Hadeeeh. Tapi karena saya lihai merayu, ia luluh jua. Kebetulan ia baru dapat bonus, jadi ada dana yang bisa dicadangkan buat bikin kitchen set.

Awalnya saya sempat ingin beli motor yang ditawarkan seorang kawan. Harganya murah meriah karena ada beberapa masalah di mesin. Setelah hitung-hitungan, rasanya dana buat beli motor plus restorasi masih dalam lingkup bujet saya. Sayang, ketika uangnya sudah ada, motornya sudah laku.

Saya agak patah arang, sih. Menganggap mungkin belum jodoh buat beli motor impian.

Eh ndak berapa lama kemudian, ada orang posting motor CB gelatik dijual di salah satu forum jual beli CB yang saya ikuti. Posisinya kebetulan di Depok, tak jauh dari rumah. Harganya masuk akal, malah jauh lebih murah dari motor yang sempat masuk dalam radar pembelian. Saya langsung menghubunginya.

“Saya butuh uang buat pulang kampung, Mas. Kalau ndak, ya ndak bakal saya jual,” katanya.

Tanggal 18 Februari 2018 akhirnya saya bertemu dengan si penjual motor. Motor ini dasarnya adalah GL 100 tahun 1995. Sudah dibuat model gelatik. Tangkinya warna putih, dengan selarik warna merah –tak jauh beda dengan gelatik putih biru yang dulu saya idamkan,  yang sekarang sudah dapat sebutan sebagai motor Dilan. Lampu sein hidup. Klakson mati. Spion hanya satu, yang kiri. Di tutup aki, ada stiker yang warnanya pudar. Motor ini, walau bukanlah CB asli, tetap menampakkan keanggunan di tengah ruwetnya kabel dan penampilan yang tak terawat.

Saya minta Kresna menemani. Si penjual menyuruh saya mencoba motornya. Saya coba jalan beberapa ratus meter. Oke juga. Ia kemudian mencocokkan nomor rangka dan mesin, mantap. Ia bilang ini mesin Tiger, saya manggut-manggut saja. Lha gimana, saya tidak paham mesin motor. Haha. Jadi ya cukup berbekal pikiran baik dan rasa percaya, akhirnya uang di amplop cokelat itu berpindah tangan.

Waktu pertama kali mengendarainya sendiri: wuiiiih, saya seperti Jon Bon Jovi di video klip “Miracle”. Wajah kena angin malam yang sejuk. Senyum saya lebar mengembang. Lalu… drrrt. Motornya mati, dan saya sedikit terdorong ke depan. Saya salah menginjak gigi.

Saya memang tidak pernah menyetir motor kopling dengan serius. Dulu Budi pernah mengajari saya, cuma saya sudah lupa caranya. Kresna yang mengikuti saya dari belakang hanya cengengesan. Mungkin pikirnya, “Cah pekok, gak bisa motor kopling sok-sokan beli motor kopling.”

Dengan penuh perjuangan, saya toh akhirnya sampai juga. Menyetir motor rasanya tak pernah selelah ini.

Sampai rumah, saya WA si Fahmi. Dia lama pegang motor Megapro, sebelum akhirnya motor itu digondol maling. Bersama nyaris semua teman akrab saya, Fahmi adalah orang yang sering meledek saya perkara motor. Apalagi dulu saya pernah tidak ganti oli motor selama beberapa bulan, dan tak tahu kalau oli motor matic bisa kering.

Waktu saya ceritakan kalau saya mau beli motor CB, kawan-kawan saya ini meledek. Cari penyakit, kata mereka. Saya cuma bisa misuh-misuh. Saya kemudian cerita pengen turing pakai CB ini.

“Ah elah, oli gak pernah ganti aja sok-sokan mau turing.”

“Hadeh, letak busi dan karburator aja gak tau kok mau sok-sokan turing.”

Jancok tenan.

Tapi toh akhirnya Fahmi memberi kursus singkat mengendarai motor kopling. Bagaimana memasukkan gigi, kapan harus menekan kopling, dan bagaimana menurunkan gigi dan menetralkannya. Sumpah, saya sebelumnya buta soal ini. Saya juga sempat khusyuk nonton video tutorial cara mengendarai motor kopling di Youtube.

Setelah dua hari beli motor, akhirnya saya berani mengendarai CB ini ke kantor. Wuiiih, rasanya senang dan lega begitu sampai kantor. Norak ya? Babahno.

Beberapa hari kemudian, kebetulan saya dapat rejeki tambahan lagi. Saya pakai untuk merestorasi motor. Ganti tangki, ganti jok, ngecat mesin, hingga urut kabel. Biar motor enak dipandang dan nyaman dikendarai. Hasilnya lumayan lah, walau masih butuh tambahan perbaikan sana-sini.

                                                                               Gak buruk kan?

Saya memilih untuk pelan-pelan saja. Soalnya, kata kawan saya, motor ini gak bakal ada habisnya buat dikulik. Uang seberapa aja gak bakal cukup kalau nurutin motor. Jadi mending pakai gigi satu saja dulu.

Oh ya, biar sama seperti Ernesto dan Alberto, saya juga ingin menamai motor saya. Awalnya ingin saya kasih nama El Capitano. Sok-sokan niru El Poderosa. Lalu kepikiran nama Munaroh, sosok idola saya dari serial Si Doel Anak Sekolahan. Tapi ndak jadi ah. Saya akhirnya pakai nama Che untuk motor merah putih ini. Kalian tahu lah dari siapa nama itu diambil.

Rencana ke depan, saya ingin mengurus STNK dan pajak motor yang sudah pulas terlalu lama. Setelahnya, di 2019, saya ingin melaksanakan mimpi lain saya bareng Budi: mudik ke Jember naik motor. Kalau itu sudah terwujud, mari bermimpi lagi untuk Sulawesi!

The post Akhirnya: CB! appeared first on Foi Fun!.

Ketemu David Beckham!

$
0
0

Di Tanjung Sport, kami bertiga –Ayah, Mamak, saya– bersepakat membeli kaus Manchester United warna merah itu. Itu suatu malam di tahun 1996. Saya terpikat dengan David Beckham.

Kaus Manchester United warna merah itu lekat sekali di ingatan. Dengan sponsor utama Sharp yang melintang di tengah kaus, di atasnya ada lambang MU, emblem Umbro di bagian kiri, dan ini yang paling membuat saya melongo: tulisan Theatre of Dreams di bagian bawah kaus.

Panggung impian. Old Trafford, kandang Manchester United, adalah arena tempat kamu menorehkan mimpi. Tak selalu tercapai, memang. Karena permainan tak akan selalu diisi oleh kemenangan. Mimpi kerap berguguran. Tapi tetap saja, para penghuni Old Trafford, mereka yang mendaku sebagai anggota komunal Setan Merah, tak pernah sungkan memacak mimpi tertinggi –termasuk dua tahun kemudian, saat mereka meraih treble.

Itu adalah kaus bola pertama dalam hidup. Tanjung Sport kini sudah tak ada. Tak lama kemudian, ayah berturut-turut membelikan baju bola, tetap Manchester United. Baik dari musim 1998-2000 dengan logo Umbro di bagian lengan; juga jersey Sharp Digital dengan garis-garis yang dipakai di tahun 1999, dan jersey Vodafone. Seingat saya, tak ada lagi kaus bola yang saya punya setelah itu. Tidak juga Persebaya, tim favorit ayah.

Beckham menjadi pemain favorit saya. Cara bermainnya yang taktis, umpannya yang nyaris selalu menemui tujuan, hingga tendangan bebasnya yang bisa melengkung. Di lingkungan perumahan kami, saya dan anak-anak sebaya punya tim favorit masing-masing. Saya dan Pandu sama-sama suka MU. David suka Arsenal, sekaligus musuh bebuyutan saya kalau taruhan bola. Fajar suka Liverpool dan Juventus.

Karena suka Beckham, setiap ada uang, nyaris selalu saya habiskan untuk membeli pernak-pernik pemain bernomor punggung 10 dan 7 di MU ini. Entah itu poster, tabloid, atau majalah. Saya ingat suatu lebaran, saya keliling kota Lumajang naik becak bersama sepupu saya, Hendrik, untuk membeli edisi khusus David Beckham yang diterbitkan oleh Soccer. Bahkan, saya pernah jadi konsumen setia Brylcreem –ada yang ingat merek minyak rambut ini?– karena Beckham yang jadi bintang iklannya.

Saat Beckham pindah ke Real Madrid, kecintaan saya terhadap sepak bola mulai luntur. Saya hanya mengikuti Madrid bermain sesekali, diselingi oleh pertandingan MU. Ketika akhirnya Becks pensiun, maka bisa dibilang kecintaan saya terhadap sepak bola sudah dikubur –walau tak dalam-dalam amat. Saya sih masih rutin mengikuti kabar MU, dan sesekali menonton MU kalau melawan tim besar. Tapi kecintaan saya pada bola sudah tak lagi sama seperti dulu.

Tapi tetap, Beckham selalu ada di hati. Mungkin ia satu-satunya pemain bola yang saya idolakan sedemikian rupa.

Maka saat ada surel undangan konferensi pers yang menghadirkan Beckham, saya jelas mengajukan diri untuk datang. Saya deg-degan. Idola sejak dua dekade lebih akan datang dan saya berkesempatan berhadapan dengannya.

Saya sudah bersiap. Membeli jersey MU tahun 1996-1998, sama seperti kaus bola pertama saya itu. Lengkap dengan slogan Theatre of Dreams yang tak pernah gagal menggetarkan itu. Dari rumah, saya berangkat pukul 7.30, meski acara dimulai jam 10 pagi. Di tas, selain jersey, ada buku biografi Beckham, My Side, siap untuk ditandatangani.

Saya sampai lokasi pukul 9. Menukar ID, lalu banyak minum air putih. Waktu makin dekat, saya makin deg-degan. Ketika pintu ruangan konferensi pers dibuka, saya tak membuang kesempatan. Saya langsung duduk di bangku paling depan.

Di sebelah saya, duduk Wendra, senior saya di Tegalboto yang jadi fotografer di The Jakarta Post. Ia lalu bertanya apa saya dapat kesempatan wawancara eksklusif. Saya menggeleng. Ia menunjukkan surel: Kompas dan The Jakarta Post mendapat kesempatan wawancara khusus.

“Aku nitip jersey sama buku buat ditandatangani ya?” kataku.

Wendra menyambut dengan tangan terbuka.

Saat yang ditunggu tiba. Beckham, lelaki yang membuat banyak anak memasang sepatu bola, datang dengan amat memukau. Rambutnya rapi, dipotong presisi seperti rumus matematika. Cambangnya dibiarkan tumbuh, tapi tak menguarkan kesan kotor, malah menambah aura maskulin dan dewasa. Setelan jas krem gelap yang ia pakai, berpadu apik dengan kemeja putih dan dasi biru. Badannya tegap, seperti tiang bendera.

Saya melongo.

Ckrek! Ckrek! Ckrek! Shutter kamera bunyi beriringan dengan flash yang mengkilat. Saya ikut merekam saat Beckham memasuki ruangan. Mata saya jelas berbinar waktu itu. Saya berteriak memanggilnya, “Sir David Beckham!” Ia menoleh, dan tersenyum.

Saya bisa meninggal dengan tenang.

Setelah itu saya sama sekali tak bisa berkonsentrasi mendengarkan pemaparan Direktur AIA. Saya terus-terusan memandang Becks, macam orang kasmaran. Tapi ada satu kalimat yang terus terngiang, tentang bagaimana Beckham sebagai figur populer membagi waktu untuk publik, dan untuk dirinya serta keluarganya.

“Buatku, keluarga itu segalanya. Istri dan anak-anakku. Tapi mereka tahu kalau ayah harus kerja untuk cari uang,” kata Beckham.

Kalau baca My Side, memang tampak betul kalau Beckham adalah figur yang sayang keluarga. Di pembukaannya, mengisahkan tentang kepindahannya ke Real Madrid, porsi terbesar adalah tentang keluarganya. Bagaimana mereka mencari rumah. Atau bagaimana anaknya bosan dengan seremoni. Keluarga, bagi Beckham, di atas segalanya.

Tak ada pertanyaan bagi wartawan siang itu. Beckham langsung ngacir. Untung saya sempat menitipkan jersey dan buku ke Wendra. Saya lalu bertukar pesan dengan Wendra.

“Kamu di mana mas? Kira-kira bisa nyelundupin aku gak?”

“Hahaha, gak bisa kayaknya cuk. Aku di lantai 11, kamu ke sini aja.”

Saya naik ke lantai 11. Tapi memang pengamanan ketat. Yang boleh masuk hanya orang-orang dengan tanda pengenal khusus. Jadilah saya menunggu Wendra di dekat lift.

Rupanya Wendra dan koleganya hanya diberi waktu sekitar 5 menit untuk wawancara. Ia mengangsurkan buku dan jersey. Mata saya berbinar. Ada tanda tangan Beckham yang ditorehkan dengan spidol warna silver yang saya beli beberapa menit sebelum acara dimulai!

“Tapi di jerseynya kurang terang, harusnya spidol warna hitam aja,” ujar Wendra.

Saya sudah tak peduli lagi. Yang penting ada tanda tangannya. Girang sekali. Saking girangnya, saya mengirim pesan ke Mamak kalau anaknya ini bertemu Beckham.

“Haha. Beckham kan idolamu sejak SD ya, Le. Sampai buku tulismu banyak digambari Beckham,” kata Mamak, pasti ikut senang.

Rencananya, jersey ini akan saya pigura. Begitu pula sampul buku My Side. Bisa jadi cerita ke anak cucu kelak, bahwa dulu ada pesepakbola yang begitu digemari oleh banyak orang. Bahkan ketika ia sudah lama pensiun sekalipun.

The post Ketemu David Beckham! appeared first on Foi Fun!.

Rusdi Mathari, Wartawan Keras Kepala Itu Telah Pergi

$
0
0

Belasan orang mengusung keranda di bahu kanan dan kiri. Gema la illah a illallah bergema di sepanjang jalan Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Sampai di pekuburan, matahari terasa seperti setombak di atas kepala. Panasnya bikin mata terpejam. Orang-orang memasang muka sendu. Banyak yang menangis. Ada yang saling berpelukan, seolah saling menguatkan. Jenazah datang. Dikuburkan. Nisan dipasang: Rusdi Mathari, lahir Situbondo 12 Oktober 1967, meninggal Jakarta 2 Maret 2018.

Orang menaburkan bunga. Ada yang mengaji. Ada yang kembali menangis. Perlahan, ingatan saya kembali ke empat tahun silam.

 

RUSDI Mathari tidak seperti pemimpin media yang pernah saya kenal. Saya bertemu dengannya di siang bulan Februari 2014 yang panas. Ia memakai celana jeans berwarna biru, dengan kemeja berlengan panjang yang digulung hingga siku. Yang mencolok, rambutnya gondrong hingga bahu. Senyumnya lebar siang itu.

“Apa kabare Puthut?”

Yang ia tanyakan adalah Puthut EA, kawan sekaligus atasan saya di kantor Yogyakarta sebelum saya bertemu dengan Rusdi untuk wawancara kerja. Puthut pula yang memberi tahu saya bahwa Cak Rusdi—sapaan semua orang pada lelaki berdarah Madura ini—bahwa kantornya, Geo Times, sedang membuka lowongan. Dua pemimpinnya adalah jurnalis senior. Selain Rusdi yang akan menggawangi berita online, Farid Gaban menjadi Pemimpin Redaksi majalah cetak.

Saya melamar, dan tak butuh waktu lama bagi Cak Rusdi untuk membalasnya. “Nuran yang baik, terimakasih ya. Insya Allah aku teruskan ke bagian SDM. Mudah-mudahan sesuai harapanmu. Suwun.”

Maka di Februari 2014 itu saya bertemu dengan Cak Rusdi untuk kali pertama di kantor Geo Times yang terletak di bilangan Menteng, Jakarta Pusat. Setelah ngobrol soal Puthut, Yogyakarta, dan penulisan, sampailah kami pada obrolan personal. Ini yang membuat saya makin yakin bahwa pria kelahiran Situbondo memang bukan pemimpin media biasa.

Kami bicara soal seks, musik rock—ia penggemar God Bless dan band-band rock 80-an seperti Motley Crue dan Guns N Roses—serta pengalaman masa muda. Cak Rusdi selalu menceritakan pengalaman mudanya dengan bahagia. Siapapun yang menjalani masa mudanya seperti Cak Rusdi, rasa-rasanya pantas untuk berbahagia dan menuturkannya dengan semangat.

Rusdi lahir di Situbondo, Jawa Timur pada 12 Oktober 1967. Ia tumbuh di keluarga yang penuh warna. Dalam tulisan berjudul “Moyang”, ia mengisahkan bahwa banyak saudara ibunya sempat menolak bapaknya. Alasannya streotipikal: orang Madura konon menakutkan, kasar, dan suka berkelahi.

“Namun Mbah Kakung dan Mbah Putri menerima lamaran Bapak. Mbah Kakung menikahkan Ibu dengan Bapak beberapa bulan sebelum peristiwa berdarah 1965,” tulisnya.

Dari pihak Bapak, Rusdi mewarisi darah Madura dan Cina. Nenek Rusdi dari pihak Bapak adalah keturunan Cina yang menetap di Pulau Kangean, pulau kecil yang berada di atas Bali. Mereka, tutur Rusdi, adalah Bangsa Bajo yang berumah di laut.

Bapak Cak Rusdi adalah wartawan Sinar Harapan sekaligus guru Bahasa Inggris yang mengajar beberapa anak orang kaya di Situbondo, kebanyakan adalah anak para pedagang keturunan Cina. Rusdi bersahabat dengan mereka semua. Ribut-ribut perkara ras, menurut Rusdi, adalah hal bodoh belaka.

“Banyak orang berpikir kalau Cina itu brengsek, sombong, eksklusif. Itu anggapan ngawur. Di kampungku, Ran, orang Cina ya sama saja kayak kita semua. Mereka ngomong bahasa Madura, ada yang jual rawon. Sahabatku satu gengku juga ada yang Cina,” kata Cak Rusdi pada saya.

Kehidupan pekat kisah menarik memang selalu lekat dengan Rusdi. Setelah melewati masa SMA dengan pacaran, berkelahi, bergabung dengan geng, juga breakdance; Rusdi pergi ke Malang untuk kuliah. Sebelumnya, ia sempat diterima di Institut Pertanian Bogor lewat jalur tanpa tes karena nilai raport SMA yang bagus.

Itu adalah rahasia yang ia simpan rapat-rapat. Nyaris tak ada orang dekatnya yang tahu bahwa Cak Rusdi, dengan segala citra bandel dan rock ‘n roll-nya, pernah diterima masuk kampus tanpa tes. Hingga suatu hari ia keceplosan bercerita di depan saya dan Puthut. Kami berdua tertawa hingga sakit perut, terus-terusan meledek Cak Rusdi hingga mukanya memerah. Padahal tak ada yang salah dari diterima masuk tanpa tes. Namun mungkin, baginya, masuk kapus tanpa tes amat tidak rock n roll.

Ia tak mengambil pilihan itu. Ia memilih pergi ke Malang.

Di Malang, Rusdi yang mengambil jurusan Teknik Sipil menjadi mahasiswa yang biasa-biasa saja. Ia menjalani kehidupan dengan lempeng belaka. Kalau ada uang, beli minuman keras. Kalau ada konser, nonton. Juga dekat dengan kawan perempuan. Namun demikian, ia tetap menyempatkan diri untuk membaca dan menulis.

“Aku enggak kayak mereka, Ran,” katanya sambil menunjuk beberapa kolega di Geo Times. “Mereka itu aktivis kampus, debat, diskusi berat, mengumandangkan revolusi. Aku cuma mabuk, gelut, pacaran, nonton konser. Aku mahasiswa biasa-biasa saja.”

Rusdi tak sempat menyelesaikan kuliahnya. Ini adalah momen yang menjadi titik balik dalam hidupnya. Suatu hari, ia dan beberapa orang kawan yang baru saja minum-minum, pulang ke kosan. Rusdi yang merasa kepalanya seperti digantung batu berukuran besar, memutuskan untuk langsung tidur. Yang tak diketahuinya, beberapa orang kawannya membawa seorang perempuan.

Beberapa penduduk kemudian menggerebek mereka. Rusdi yang sedang tidur turut kena ciduk. Ia bingung, tentu saja. Mereka dibawa ke kantor polisi. Seorang wartawan kemudian menulis kejadian itu dengan bombastis, bahwa sejumlah mahasiswa perantauan pesta seks, alkohol, dan narkoba. Rusdi marah besar, sebab itu kabar bohong. Ia mencari wartawan itu dan menantangnya berkelahi. Mereka berkelahi, dan Rusdi berhasil menghantam wartawan itu hingga tersuruk ke selokan.

“Wong lanang iku kadang perlu gelut, Ran. Harga diri itu harus dibela,” katanya.

Rusdi lalu minggat dari kampus dan merantau ke Jakarta. Ia memutuskan jadi wartawan yang memegang teguh prinsip. Ia pantang menulis berita bohong dan terburu-buru, seperti wartawan yang ia gebuk.

Setelah empat tahun bekerja di Suara Pembaruan, Rusdi kemudian menjadi redaktur di InfoBank. Di majalah tersebut, Rusdi pernah menerima amplop berisi segepok uang. Ia ngamuk dan melemparkan uang itu ke muka sang pemberi amplop.

Ia kemudian bergabung dengan Pusat Data dan Analisa Tempo pada 2001. Di sana ia bertemu dengan seorang pria yang ia anggap sebagai orangtua sekaligus gurunya, Bambang Bujono.

Kariernya berlanjut saat menjadi redaktur majalah Trust, redaktur pelaksana Koran Jakarta, dan kemudian turut mendirikan Berita Satu. Ketika Berita Satu dibeli Lippo, Rusdi mendapatkan dana segar. Ia memutuskan untuk membeli rumah di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan.

“Ini sebenarnya telat banget. Dulu aku terlalu sering bersenang-senang dan lupa menabung, apalagi membeli rumah. Makanya uang dari Berita Satu kemudian aku belikan rumah,” ujar Rusdi, sembari mengingatkan agar saya dan wartawan-wartawan muda tak abai mengatur keuangan dengan baik.

Sebagai seorang wartawan, Rusdi bisa dibilang old school. Ia pernah mengatakan itu sendiri pada saya. Old school dalam artian, ia tak pernah terburu-buru menulis sesuatu. Ia kerap memeram ide tulisan, bahan tulisan, dan baru benar-benar ditulis ketika itu matang betul. Ia sering bercanda bahwa wartawan tua seperti dirinya, akan tersisih di zaman media online yang mengutamakan kecepatan. Tapi ia lebih dari mampu menulis apik dengan cepat. Untuk itu, ia punya medium lain: status Facebook dan blog yang ia beri nama Rusdi Goblog.

Blog itu menarik karena tagline-nya adalah: karena jurnalistik bukan monopoli wartawan. Sama seperti ekonomi yang terlalu penting untuk diserahkan kepada begawan ekonom, jurnalisme juga terlalu penting jika hanya boleh dimonopoli oleh wartawan. Rusdi melawan itu semua.

Sebagai wartawan, ia tak cuma membicarakan hal besar. Tentu, ia menulis banyak laporan investigasi apik. Mulai dari perkara ekspansi sawit, hingga konflik bermotif agama. Tapi Cak Rusdi selalu suka dengan tema-tema kecil yang kerap luput dari pengamatan orang banyak.

Ia sering menugaskan saya untuk ke stasiun kereta. Untuk apa? Coba kamu tanya para copet di sana, bagaimana mereka melanjutkan pekerjaan kalau mau masuk stasiun harus bayar. Begitu katanya suatu ketika. Atau, katanya, coba kamu wawancara para tukang loak di pasar yang jualannya entah apa, dan entah apa ada yang beli atau enggak.

Sebagai anak buahnya, saya beberapa kali kena semprot. Suatu ketika, saya silap menulis kalimat yang ia anggap tak enak dibaca. Dengan mata mendelik, ia menembakkan kata-kata, “Gimana mau jadi wartawan kalau menulis kalimat saja tak becus!” Sungguh, biji zakar saya mengkerut hari itu. Kombinasi mata melotot, rambut gondrong, dan suara yang keras, bisa merontokkan mental siapapun yang berhadapan dengan Rusdi.

Tapi sesungguhnya, Rusdi adalah orang yang lembut. Tanya saja pada orang-orang terdekatnya. Ia sayang betul pada Voja, anak semata wayangnya. Ketika membaca berita tawuran, ia selalu khawatir anaknya terseret kebodohan yang sama. Ia bergidik membayangkan Voja mengikuti gaya hidupnya semasa muda.

“Semoga saja enggak. Aku percaya Voja itu anak baik,” ujarnya.

Pada istrinya, Fauziah, cinta Rusdi bak palung. Tak selalu penuh bunga dan wangi-wangian tentu saja. Sebab kisah cinta yang selalu bahagia tanpa onak hanya ada di novel-novel remaja.

Dalam sebuah kesempatan, Cak Rusdi, dengan dagu berdarah karena baru saja menabrak pembatas jalan pada pukul 3 dini hari, menggenggam tangan saya, sementara istri saya berusaha mencari taksi untuk membawanya, meracau: aku bersalah betul pada istriku, Ran, aku banyak salah, aku ingin membahagiakannya, Ran.

Orangtua zaman dulu selalu bilang, siapa yang ada di pikiranmu ketika nyawamu seperti tengah dicabut, ialah yang paling kamu sayang dan pikirkan. Saya hanya bisa menggenggam tangan Cak Rusdi dan berbisik, “Mbak Ade paham itu, Cak. Ia tak apa. Ia kuat. Ia sayang kamu.” Cak Rusdi mengangguk dan semakin erat menggenggam tangan saya.

Sebelas tahun setelah ia menikah, pada 2011, Rusdi menulis bait cinta yang bukan hanya menggetarkan, tapi juga menguatkan. Bagi istrinya, atau bagi siapapun yang menjalani pernikahan.

Aku memang tidak pernah menggandeng tanganmu
Seperti yang selalu kamu minta
Tapi kamu kini tahu
Kita telah selalu melewatinya bersama
Sambil menari dan berputar seolah di sorga
Dan tentu saja, itu lebih penting dari bergandengan tangan

Melalui status-statusnya di Facebook, banyak orang tahu bahwa Rusdi terkena kanker sejak 2016. Doa terus mengalir padanya. Beberapa orang anak muda, mereka yang mengagumi Rusdi, bergantian menjaganya di rumah sakit. Sejumlah kawan baiknya mengadakan penggalangan dana. Istrinya, selalu tersenyum seperti biasa. Kuat. Tegar. Sifat yang membuat Rusdi jatuh cinta padanya, 18 tahun silam.

Di ruang tengah rumahnya, sekira tiga bulan lalu, saya dan Cak Rusdi mengobrolkan banyak hal. Bukan soal jurnalistik, kali ini—meski ia tak pernah lelah mewejangi saya—soal integritas dan bagaimana tulisan enak dibaca. Kami banyak mengobrol soal kuliner. Ia berkisah tentang kaldu kambing kacang hijau ala Madura yang sering disuguhkan pada sahabat-sahabat yang berkunjung ke rumahnya.

“Aku pengen kapan-kapan mangan mangut pe karo awakmu,” katanya.

Saya mengangguk. Menyanggupinya. Tapi Cak Rusdi sedang terbaring di kasur, di depan televisi yang rutin menayangkan acara di saluran Asian Food Channel.

“Nanti lah, Cak. Nunggu cacak sembuh dulu,” kata saya.

Ia tersenyum. Lalu diam.

Senyum itu tak akan pernah lagi bisa kita lihat. Tadi pagi, 2 Maret 2018 pukul 08.15, Cak Rusdi Mathari menghembuskan napas terakhirnya. Ia telah melawan kanker dengan sekuat tenaga, dengan sebaik-baiknya perlawanan. Ia berjuang keras hingga merasa lelah dan memutuskan untuk pulang ke keabadian.

Ia sosok yang keras kepala, banyak orang mengakui itu. Kadang sikap keras kepalanya membawa banyak masalah baginya. Namun ia juga sosok yang humoris, gemar bercerita banyak hal, dan mengayomi anak-anak muda naif seperti saya dan belasan kawan lain. Sikapnya seperti itu yang membuat banyak orang menghormatinya. Rusdi pergi, namun kenangan tentangnya akan selalu lekat di hati.

Selamat jalan, Cak Rusdi. Terima kasih telah menjadi Ayah, guru, dan sahabat bagi kami.

The post Rusdi Mathari, Wartawan Keras Kepala Itu Telah Pergi appeared first on Foi Fun!.

Mencoba Masak Rutin

$
0
0

Bagi saya, memasak itu rekreasi. Ia bukan rutinitas yang dikerjakan tiap hari. Namanya juga rekreasi, kalau sedang doyan ya dilakukan dalam intensitas yang sering. Kalau malas dan tak sempat, ya ndak dilakukan. Sampai suatu hari, saya dan Rani ngobrol.

Semua berawal dari ide untuk penghematan. Kami sadar, amat sadar, bahwa bujet kami makan di luar cukup besar. Mungkin sekitar 80 persen dari uang saku bulanan. Apalagi di Jakarta, harga makanan cukup mahal.

Saya yang berkantor di Kemang, Jakarta Selatan, dan gemar blusukan, mungkin bisa mengakali dengan beli makan di warteg. Seporsi nasi lauk ayam atau telur, dengan pendamping sayur atau oseng, mungkin habis sekitar Rp12 ribu. Namun Rani yang berkantor di Kuningan –satu dari tiga titik Segitiga Emas– susah menemukan makanan semurah itu.

“Jadi gimana kalau aku masak buat kita berdua?” saya melontarkan ide itu.

Rani setuju. Memasak sendiri jelas lebih murah ketimbang beli makan di luar. Saya memberi catatan: harus ada bujet khusus untuk saya belanja. Ia yang berposisi sebagai Menteri Keuangan memberi persetujuan. Diberilah bujet untuk belanja. Saya pun merancang menu 30 hari –mungkin di Sabtu dan Minggu akan alpa kalau kami pergi keluar rumah.

“Ini gak repot apa bikin masakan beda-beda tiap hari?” tanya Rani setelah liat senarai menu.

Saya menggeleng. Coba optimis sekaligus belagu. Repot sih pasti. Apalagi saya susah sekali bangun pagi. Untungnya di dekat rumah ada beberapa welijo yang buka hingga malam hari. Biasanya di sana saya beli bahan masakan. Harganya jelas lebih murah. Bonus: digodain ibu-ibu yang iseng.

“Kok belanja sendiri? Istrinya ke mana?”

“Ada di rumah, Bu. Saya memang suka belanja dan masak kok,” biasanya saya jawab begitu sambil cengengesan.

“Wah, pintar masak ya? Suami idaman nih. Coba kalau belum punya istri, udah saya kenalin sama anak saya.”

Memasak rutin jelas jadi tantangan. Saya bukan tipikal orang yang gemar memasak ribet dan banyak bumbu. Sebenarnya bisa sih, tapi saya malas mengupas dan bersih-bersih. Sebenarnya untuk mengakali keribetan itu, saya selalu sedia tiga jenis bumbu dasar: merah, putih, kuning. Ini cukup membantu. Tapi banyak masakan yang butuh bumbu lain. Laos, lah. Daun salam, lah. Serai, lah. Asam kandis, lah. Ketumbar, lah.

Tantangan lain: menerka selera Rani. Lidah kami berdua sedikit bertolak belakang. Kami memang tumbuh di kultur masakan yang berbeda. Ia dari Sumatera, dan saya dari Jawa Timur. Rani heran sekali saya gemar masakan seperti kupang atau rawon. Saya geleng kepala lihat Rani gemar jengkol.

Setelah agak lama menikah baru saya bisa hafal karakter lidah Rani. Ia gemar masakan asin, gurih, dan pedas. Manis sedikit boleh, lah. Asal tidak kentara. Karena itu saya gemar masak dengan perpaduan bumbu dasar (bawang putih, merah), cabai, saus tiram, dan minyak wijen. Kalau sedang tak malas, saya akan membuat masakan seperti mangut dengan rasa pedas yang menonjok.

Pernah sekali saya menguji Rani. Saya masak telur puyuh saus petis. Kebetulan di kulkas ada petis dari Jember. Eh, ternyata dia suka. Itu karena saya pakai cabai rawit agak banyak, menyamarkan rasa manis petis. Oke, deh.

Rencananya, formasi masakan akan terdiri dari karbohidrat (bisa nasi, bisa mie), satu lauk utama, satu lauk pendamping (tempe goreng, tahu, atau sejenisnya), dan satu sayuran. Kalau ada sisa duit lebih, bisa lah pakai buah.

Tadi siang saya belanja daging giling, helaian daging ala yakiniku, dan paha ayam. Kemarin, saya mengisi persedian bumbu dan rempah. Beli tomat, cabai besar dan rawit, bawang-bawangan, serai, dan aneka sayuran seperti buncis dan kacang panjang. Barusan saya coba masak daging ala yakiniku, dengan pelintiran gaya Nusantara: kasih cabai dan tomat hijau. Bisa lah diadu dengan warung-warung makanan ala Jepang.

Ujian sebenarnya baru besok. Apakah saya akan konsisten masak rutin? Atau hanya rajin di minggu-minggu pertama? Kalau itu yang terjadi, saya bikin alasan apa lagi ya?

The post Mencoba Masak Rutin appeared first on Foi Fun!.

Pergi ke Estonia

$
0
0

Jadi ceritanya, minggu lalu saya baru datang dari Estonia. Di mana pula itu Estonia? Itu yang awalnya ditanyakan banyak orang. Bahkan sebelum saya pergi ke sana, saya cuma tahu Estonia itu di Eropa. Lain tidak.

Ngapain saya ke sana? Awalnya Windu kasih tahu soal beasiswa kursus singkat yang diadakan oleh Baltic Film, Media, Arts and Communication School dan Kementrian Luar Negeri Estonia. Kursusnya tentang jurnalistik dan media. Waktu itu syarat awalnya diminta CV dan surat motivasi.

Saya coba iseng mendaftar. Bikin surat motivasi –dibantu banyak sekali oleh Wan Ulfa dan Wisnu, dua kawan baik yang sekarang sedang sama-sama kuliah master di Inggris. CV juga saya perbarui, maklum terakhir bikin CV waktu melamar di Tirto.id, dua tahun lalu. Setelah dianggap beres, saya kirim ke panitia. Eh ternyata diterima.

Dari Indonesia, ada lima orang yang berangkat. Tiga di antaranya sudah saling kenal dengan baik: saya, Windu, dan Yandri. Dua lainnya adalah Reja Dalimunthe dan Priscilla Siregar. Kami berangkat beda waktu dan beda maskapai.

Saya dan Windu naik Turkish Air, berangkat tanggal 14 Juni. Iya, itu pas malam takbir. Sedih? Ndak juga sih. Cuma kebayang aja suasana malam takbiran di Jambi –tahun ini seharusnya saya mudik ke kampung Rani. Sampai di Istanbul pukul 4 pagi, langsung telepon Rani dan Mamak. Mohon maaf lahir batinan, dan cerita ngalor ngidul. Di Istanbul kami transit empat jam. Dari Istanbul ke Tallin, ibu kota sekaligus kota terbesar di Estonia, hanya ditempuh dalam waktu tiga jam.

Tallin adalah kota yang menyenangkan. Ia seluas 152 kilometer persegi, sedikit lebih luas ketimbang Tangerang Selatan, dan serupa dengan Sabang di Aceh, namun dengan penduduk sedikit: 450 ribu jiwa. Tallin punya satu area khusus berisi bangunan-bangunan dari abad pertengahan: Old Town. Kami suka menyebutnya Kota Tua.

Di Kota Tua, bangunan-bangunan tua dialihfungsikan tanpa mengubah bentuk. Ada yang dijadikan restoran bertema abad pertengahan. Ada pula yang jadi museum. Beberapa jadi toko buku maupun toko suvenir. Pusat keramaian Tallin ada di sini.

Di luar Kota Tua, ada keramaian yang berdenyut dengan caranya sendiri. Di Telliskivi yang digadang jadi kawasan kreatif Tallin, banyak anak muda berkumpul di sana. Saya datang di hari pertama, bareng Windu dan Berit Renser, perempuan asli Tallin kawan lama Windu yang pernah bermukim di Yogyakarta dan Solo.

Di Telliskivi ada banyak kantor perusahaan rintisan, kantor LSM, gudang yang disulap jadi toko barang antik, depo yang jadi kafe, juga gerbong kereta api yang jadi restoran. Di ruang terbuka, orang-orang merokok, main tenis meja, minum bir. Di speaker terdengar Jimi Hendrix, Led Zeppelin, hingga John Mayer.

Di sebuah kafe yang dulunya adalah gudang tua, kami berhenti. “Crosstown Traffic” menarik kami ke sana. Kami memutuskan duduk di luar. Di Tallin, musim panas kadang serupa mitos yang cuma diperbincangkan tapi tak diketahui kebenarannya. Angin kencang, suhu jadi 9 derajat celcius. Hangat, kata Berit. Tapi saya dan Windu yang mahluk tropis, sudah mengencangkan jaket.

Di konter pemesanan, saya pesan cokelat hangat, cocok buat cuaca yang dingin. Penjajanya, seorang perempuan muda dengan rambut semi mohawk warna-warni, bingung.

“Bir rasa cokelat ya?”

Saya menggeleng.

“Oooh, liquor rasa cokelat?”

“Bukan, cokelat hangat biasa.”

“Oooh, I see.”

Lalu saya tanya ke Berit, kawan Windu yang baik hati sudah jadi pemandu kami, apakah pesan cokelat hangat di bar bukan hal yang umum. Ia menggeleng sambil tertawa.

“Apalagi musim panas begini, mana ada yang pesan cokelat hangat.”

Tallin memberi impresi awal yang lumayan kuat. Ia tipikal kota maju, dengan berbagai pilihan transportasi umum dan tempat jalan kaki yang luas. Namun ia juga sepi, dengan aura Groboganesque yang kental. Lengkap dengan bangunan-bangunan lawas tak terawat, kaca pecah, vandal, juga mural di sana- sini (sesuatu yang menyenangkan mata)

Di hari pertama, kami jalan kaki 13 kilometer. Rasanya ini rekor pribadi –di luar acara seperti Gerak Jalan Tanggul Jember sejauh 33 kilometer. Sampai di apartemen, rasanya kayak digebukin Babinsa.

Ini baru cerita awal. Nanti –kalau tak malas– akan ada cerita lanjutannya. Soal bagaimana mengajukan visa, juga kehidupan di Estonia.

 

The post Pergi ke Estonia appeared first on Foi Fun!.

Merayakan Musik Analog di Negara Paling Digital

$
0
0

“Fuck digital. Buy, play, sell, exchange vinyl records.”

Tulisan provokatif itu terpampang di sebuah record store di tengah Kota Tua, Tallin, Estonia. Di dalam toko dengan cat tembok warna oranye itu, berjejer ratusan piringan hitam yang dipilah sesuai genre. Ada jazz, blues, elektronik, rock, hingga yang sedikit nyeleneh di mata orang Indonesia, macam rilisan musisi Uni Soviet hingga Scandinavian jazz.

Ya, vinyl revival, kebangkitan piringan hitam, memang terjadi di banyak tempat di dunia. Forbes menyebut kebangkitan ini bernilai miliaran dolar. Sedangkan Billboard mengatakan bahwa pada 2017 penjualan piringan hitam di Amerika Serikat mencapai titik tertinggi sejak 1991, dengan jumlah sekitar 14,3 juta keping.

Namun Estonia jelas punya aura berbeda. Negara ini disebut-sebut sebagai negara paling digital di dunia. Sejak merdeka dari Uni Soviet pada 1991, Estonia ngebut mengembangkan ekosistem digital. Pada 1997, sebanyak 97 persen sekolah sudah online. Memasuki era Milenium, pertemuan dan rapat di pemerintahan sudah sonder kertas. Sejak 2005, negara beribukota Tallin ini mengenalkan e-voting. Tak heran kalau Wired menyebut Estonia sebagai “The most advanced digital society in the world.”

Sekarang, mereka punya sistem bernama e-Estonia, yang mengurusi hajat hidup penting macam kependudukan, keamanan, pajak, perbankan, pendidikan, hingga kesehatan, via online. Layanan ini bisa diakses 24 jam dalam sehari, 365 hari dalam setahun.

“Saat ini hanya pernikahan atau perceraian, dan menjual real estate yang tidak bisa dilakukan online. Lebih tepatnya, belum,” kelakar Tobias J. Koch, kepala Company Engagement e-Estonia.

Karena Estonia yang segala urusannya hampir bisa dilakukan via online, maka rasanya amat paradoks melihat poster bertuliskan fuck digital di pusat wisata Estonia. Tentu saja slogan itu hanya kelakar para music snobbish, walau ternyata di Estonia, segala yang berbentuk fisik memang masih dirayakan, walau memang tak sebesar apa-apa yang digital.

Di Kota Tua, saya bertemu duo pecinta musik usia 40-an, Morris dan Edward, yang punya gairah meluap jika bicara soal musik, terutama piringan hitam. Duo ini mengingatkan saya pada Dick dan Barry, duo penjaga toko piringan hitam di film High Fidelity (2000). Bedanya, Morris dan Edward tidak snob seperti Dick dan Barry.

Dengan sadar, dua orang sahabat ini membuka Tallin Old Town Records, yang masih berada di kawasan Kota Tua. Toko musik ini menempati sebuah bangunan seluas 3,5X6 meter. Ruangan itu diisi banyak peti dan kotak yang berisi piringan hitam. Laiknya toko musik yang menjual rekaman fisik, koleksinya dipilah berdasarkan genre.

Di sini, genre musik rock mendominasi. Ada yang dari era 60-an seperti Beatles, Rolling Stones, The Doors. Dari era 1980-an juga ada. Mulai dari Europe, Bon Jovi, Dokken, sampai Michael Jackson. Yang menarik adalah koleksi yang diletakkan di pojok ruangan: rilisan-rilisan Uni Soviet, lengkap dengan kover bertuliskan abjad Sirilik.

Eddward yang punya darah Rusia ini selalu antusias kalau bicara soal musik Soviet. Saat saya meminta rekomendasinya, Ia selalu bergegas. Memilih satu di antara ratusan koleksinya, lalu memutarkannya. Lalu Ia akan memasang mimik seolah bertanya: gimana, dahsyat kan musik dari negara adidaya zaman dulu?

Edward semangat memberi kuliah Pugacheva 101, 2 SKS.

Namun tak ada yang paling memikatnya selain Alla Pugacheva. Dengan semangat ala tentara Merah yang menghajar habis Nazi, Edward mengisahkan tentang diva Soviet yang sudah merintis karier sejak 1965 ini. Sembari menyodorkan satu album Nyonya Pugacheva, Edward mulai bermonolog tentang perempuan yang dianugerahi Order For Merit to the Fatherland oleh pemerintah Rusia ini.

“She’s very, very, very, very, very, famous in Russia. Enggak ada orang yang enggak kenal Alla Pugacheva, bahkan sampai sekarang,” kata Edward.

Saya mengangguk dengan semangat. Antusiasme memang bisa menular, kawan. Saya meminta Edward memutar piringan hitam Pugacheva, sang diva yang, ujar Edward, sudah menikah lima kali, dan terbaru pada 2011, menikah di usia 62 tahun. “Dia keren banget kan?” kata Edward meminta persetujuan. Saya mengacungkan jempol.

Dari pengeras suara, terdengar suara Pugacheva yang memang tipikal penyanyi untuk kompetisi menyanyi: nyaris tak kenal fals. Suaranya lembut dan lempang. Musiknya cukup lintas genre, dari Balkan pop hingga elektronik. Dengan rentang musik yang luas itu dan tak ada kesusahan baginya beradaptasi, saya bisa mengerti kenapa Pugacheva berjudul Tsarina of Soviet Pop, dan memahami kenapa Edward mengucapkan very hingga lima kali. Pugacheva juga masih aktif menyanyi, termasuk di media sosial. Di Instagram, pengikutnya mencapai 1,5 juta orang.

Geliat piringan hitam Estonia tak hanya terjadi di Tallin, tapi juga di Tartu, kota terbesar kedua di Estonia sekaligus kota mahasiswa. Di sini, setidaknya ada tiga toko musik yang menjual album fisik. Yang paling terkenal ada dua, Gramophone Trees Records dan Psuhhoteek. Nama yang pertama lebih inklusif. Mereka banyak menjual album-album rock, metal, dan alternatif. Ada Manic Street Preachers, Franz Ferdinand, The Libertines, Foo Fighters, Motley Crue, hingga yang klasik macam gerombolan Beatles dan Stones. Sedangkan Psuhhoteek fokus ke rekaman langka rilisan Uni Soviet, tentu dengan harga yang agak sedikit lebih mahal.

Pemiliknya, Rob, amat ramah dan santai. Sewaktu saya datang jelang jam tutup, Ia masih membuka pintu lebar-lebar. “Kami harusnya nutup jam 3 sore, tapi karena kamu datang jauh-jauh, jadi santai saja,” katanya.

Di toko musik yang terletak di lantai dua sebuah kawasan hunian ini, tak hanya ada piringan hitam. Namun juga kaset dan CD. Harganya beragam. Untuk kaset dan CD, rata-rata 3 hingga 8 Euro. Sedangkan piringan hitam berkisar dari 8 hingga puluhan Euro, tergantung siapa artis dan albumnya. Untuk album langka, seperti album debut The Libertines pressing pertama, dijual sekitar 30 Euro.

Menurut Rob, penjualan piringan hitam di tokonya berjalan normal. Artinya, ya tidak sepi, tapi tak cukup untuk disebut spektakuler. Sehari-hari, ada saja beberapa orang yang belanja. Entah itu CD, kaset, atau piringan hitam. Sebagai kota mahasiswa, tempatnya juga sering kedatangan mahasiswa baru yang menggali lagi keasyikan mendengarkan piringan hitam.

Di laman Facebook, Gramophone Tree mendapat reputasi yang sempurna: 5 bintang dari 51 review. Rata-rata memuji keramahan Rob, juga betapa beragamnya koleksi di Gramophone Tree. Selain itu, mereka juga kerap memberikan diskon, bahkan piringan hitam gratis bagi mereka yang belanja dalam jumlah banyak.

This place is cool as shit and I encourage everyone to go there, the owner is pretty rad! There is a stunning collection of great cassette tapes and a bunch of fun vinyl records. I will be a regular from now on!” tulis salah satu pembeli.

Click to view slideshow.

Yang masih berada di tataran fisik tidak hanya piringan hitam dan toko musik. Namun juga radio. Saat berkunjung ke Raadio 2, saya cukup terkesima pengarsipan mereka. Di antara poster Lemmy Kilmister dan David Bowie, ada rak besar yang isinya adalah CD. Beberapa adalah kompilasi yang mereka buat. Banyak pula yang berasal dari band lokal. 

“Iya, band-band masih banyak kok yang mengirimkan demo CD mereka ke sini, dan kami punya segmen yang memutar band-band independen baru,” ujar Maarja Merivoo-Parro, editor eksekutif Raadio 2.

Raadio 2 adalah radio musik yang memutarkan musik pop dan rock. Target pasarnya adalah anak muda 15-29 tahun. Raadio 2 berada di bawah payung besar Eesti Rahvusringhaaling (ERR), alias Estonian Public Broadcasting yang merupakan saluran penyiaran milik negara. ERR mencakup tiga saluran televisi dan lima radio.

Stasiun radio ini amat jauh dari bayangan saya soal radio negara. Kantornya amat ceria, lengkap dengan perabotan gaya Skandinavia yang warna-warni itu. Selain poster musisi, juga ada rak yang berisi buku-buku biografi para musisi besar. Dari Bowie sampai Springsteen. Program musiknya juga menarik. Dari Estonian Funk Embassy, hingga Metalion, yang dari namanya saja jelas genre apa yang diputar di sana.

Hello from King Lemmy!

Tentu saja sebagai radio publik, Raadio 2 mengutamakan kepentingan publik. Dalam hal ini: tidak melulu mengandalkan rekaman fisik. Sebagai sumber utama siaran, mereka mengandalkan layanan streaming, juga koleksi digital mereka. Yang tetap asyik, selain tetap menerima CD demo dari band-band baru, mereka juga menyimpan segala arsip dari album fisik yang mereka punya.

“Yang dipajang memang cuma segini, yang lain masih ada di ruangan berbeda. Isinya sudah didigitalkan,” kata Maarja.

Mencari musik di Estonia memang menarik. Ia adalah perpaduan menarik antara nilai lama dan nilai baru. Di tengah semua yang serba digital, para penjaja musik masih tetap menyediakan pilihan analog yang menyimpan sisa-sisa nostalgia sekaligus superioritas kualitas rekaman. Sedangkan Raadio 2 tampak sebagai jalan tengah yang kompromis, dan mungkin yang terbaik. Mereka masih memberikan ruang bagi album fisik, sekaligus mengandalkan koleksi digital yang tentu saja ringkas dan praktis.

The post Merayakan Musik Analog di Negara Paling Digital appeared first on Foi Fun!.

Perampokan Terakhir Seorang Bandit Tua (Bagian 1)

$
0
0

Naskah ini adalah terjemahan bebas dari naskah pertama David Grann untuk The New Yorker, “An Aging Bank Robber’s Last Heist”, yang kemudian diubah jadi “The Old Man and the Gun”. Naskah ini lantas difilmkan, dengan bintang utama Robert Redford yang mempesona itu. Dirilis pada September 2018, konon ini bakal jadi film terakhirnya. Redford memilih pensiun dengan mengerjakan film tentang perampokan terakhir seorang bandit tua. Untuk menunjang suasana tulisan, coba baca sambil dengar lagu yang saya bagi di antar bagian. Lagu-lagu itu diambil dari playlist ini.

Selamat membaca.

TEPAT sebelum Forrest Tucker berusia 79, dia bekerja untuk terakhir kalinya. Meski masih berpenampilan menarik, dengan bola mata biru nan jernih dan rambut putih yang disisir rapi ke belakang, dia mulai sakit-sakitan, termasuk darah tinggi dan borok kulit yang perih. Dia sudah empat kali operasi jantung, dan sang istri memintanya untuk tetap tinggal di rumah mereka, di Pantai Pompano, Florida: sebuah rumah berwarna peach di pinggir sebuah lapangan kursus golf yang mereka beli untuk hunian masa pensiun. Ada tempat makan dekat rumah, dengan USD15,50 mereka bisa menyantap iga panggang kualitas yahud dan berdansa dengan para manula lain. Di dekat rumah mereka bahkan ada sebuah danau tempat Tucker bisa duduk di pinggir dan berlatih saksofon.

Namun di musim semi 1999, saat para tetangganya berlatih golf atau bermain dengan cucu, Tucker berkendara ke Bank Republic Security di kawasan Jupiter, sekitar 80 kilometer dari rumahnya. Tucker, yang selalu membanggakan penampilannya, berpakaian serba putih: celana putih dengan lipatan di bagian bawah, kemeja olahraga putih, sepatu suede putih, dan dasi lebar (ascot) putih.

Dia berhenti sejenak di depan ATM dan menarik dasi lebarnya ke atas, menutupi wajah, mirip bandit. Lalu dia merogoh pistol Army Colt .45 tua miliknya dari tas kanvas, dan menyerbu ke dalam bank. Dia mendatangi teller pertama dan bilang, “Taruh uangmu di konter. Semuanya.”

Tucker mengacungkan pistolnya agar semua orang bisa melihatnya. Teller meletakkan beberapa gepok uang pecahan 5 dan 20 dolar di konter, dan Tucker memeriksa apakah ada jebakan mercon pewarna. Dia mengecek jam, berpaling ke teller berikutnya dan bilang, “Ke sini. Kamu juga.”

Kemudian dia mengumpulkan gepokan tebal —lebih dari lima ribu dolar— dan bergegas menuju pintu. Jelang keluar, Tucker berpaling ke belakang dan menengok dua teller itu. “Terima kasih,” katanya. “Terima kasih.”

Dia kemudian menyetir ke lahan parkir dekat bank, tempat ia menyiapkan mobil pelarian, sebuah Grand Am merah yang tak bisa dilacak. Setelah melap mobil curian yang dipakainya merampok, Tucker melempar bawaannya ke dalam Grand Am. Barang bawannya antara lain pistol Magnum .357, senapan otomatis .30 yang barelnya sudah dipotong lebih pendek, dua topi nilon warna hitam, sebuah sabuk pistol, sekaleng Mace (merek gas air mata), sepasang borgol merek Smith & Wesson, dua gulung lakban hitam, sebuah lencana polisi, lima baterai AAA, penyadap radio polisi, pemotong kaca, sarung tangan, dan topi pancing. Juga ada botol kecil berisi obat untuk jantungnya. Sepertinya tak ada yang mengawasinya. Dia pulang, dan tampak lolos dengan aman.a

Setelah berhenti sebentar untuk menghitung uang, dia kembali ke meluncur pulang. Saat mendekati tempat kursus golf, ia melihat sebuah mobil yang tak ia kenal membuntutinya. Dia belok ke jalan lain, meyakinkan dirinya aman. Mobil itu turut berbelok. Tucker kemudian melihat mobil polisi di belakangnya. Dia menginjak pedal gas sedalam mungkin, berusaha melarikan diri dari mereka, belok kiri, kemudian kanan, kanan, dan kiri. Dia melewati Gereja North Pompano Baptist dan Rumah Duka Kraeer, melewati beberapa rumah pantai berlantai satu bercat merah muda dengan speedboat di depan rumah mereka, hingga akhirnya dia bertemu jalan buntu. Ketika dia coba putar arah, mobil polisi sudah membarikade jalan. Salah satu petugas, Kapten James Chinn, meraih shotgun. Ada ruang sempit antara mobil Chinn dan sebaris pagar kayu. Tucker merundukkan badannya dan mengebut ke ruang itu. Chinn, yang menjalani karier sebagai detektif nyaris dua dekade, kelak bilang, aku tak pernah melihat hal seperti itu: sosok berambut putih berpacu ke arahnya dengan tersenyum, seolah ia menikmati betul adegan ini. Kemudian, seiring mobil yang tergelincir di turap, Tucker kehilangan kendali dan menabrak pohon palem. Kantong udara mengembang dan membuatnya tak bisa bergerak dari kursinya.

Setelah sadar dari keterpukauannya, para polisi sadar orang yang baru saja melakukan aksi ini bukan hanya berusia 78 tahun —ia tampak seperti baru saja datang dari makan malam, kata Chinn— tapi juga salah satu perampok bersenjata paling sohor sejak abad 20. Selama karier yang merentang lebih dari enam dekade, lelaki itu kemungkinan adalah seniman meloloskan diri terbaik dari generasinya, seorang konsorsionis —ahli membengkokkan tubuh— yang berhasil kabur dari setiap penjara yang dimasukinya.

 

BEBERAPA waktu lalu, aku bertemu Tucker di Fort Worth, Texas, tempat ia ditahan di rumah sakit penjara setelah menyatakan bersalah atas satu dakwaan perampokan dan diganjar hukuman penjara 13 tahun. Rumah sakit ini, sebuah bangunan tua dengan bata kuning dan atap keramik merah, berada di puncak bukit dan memunggungi jalan utama, dikelilingi oleh penjaga bersenjata dan kawat berduri. Aku diberi catatan yang bertuliskan tidak boleh ada “senjata”, “amunisi”, atau “alat pemotong dari metal”, lalu dikawal melewati beberapa pintu —tiap pintu di belakang ditutup sebelum pintu berikutnya dibuka— hingga aku tiba di ruang tunggu yang kosong.

Tak lama, seorang lelaki muncul di atas kursi roda yang didorong oleh seorang penjaga. Ia mengenakan pakaian tahanan berwarna cokelat pudar dan jaket hijau dengan kolar digelung di leher. Badannya tampak bungkuk, seolah ia hanya punya satu sisa tarikan nafas. Ketika bangkit dari kursi roda, ia bilang, “Senang bertemu denganmu. Aku Forrest Tucker.”

Suaranya lembut, dengan aksen Selatan yang halus. Setelah ia mengulurkan tangan, ia berjalan pelan dengan bantuan kruk ke arah sebuah meja kayu. “Aku minta maaf kita harus ketemu di sini,” katanya, menunggu aku duduk duluan.

Kapten Chinn bilang padaku ia belum pernah bertemu dengan kriminal yang sopan dan baik sebelumnya. “Kalau kamu bertemu Tucker, titip salam ya.” Bahkan salah satu juri yang memutusnya bersalah bilang, “Kamu harus akui, kalau Tucker memang unik.”

“Jadi apa yang ingin kamu ketahui?” tanya Tucker.

“Aku ada di dalam penjara nyaris seumur hidupku, kecuali waktu aku kabur. Aku lahir pada 1920, dan pertama kali dipenjara di usia 15 tahun. Aku sekarang berusia 81, dan masih dipenjara, tapi aku berhasil kabur 18 kali dan 12 kali gagal kabur. Ada banyak kesempatan aku merencanakan pelarian, tapi itu tak penting.”

Ketika kami duduk di pojokan bawah jendela yang bisa melongok ke lapangan penjara, rasanya sukar membayangkan bahwa hidup pria ini diisi oleh poster-poster bertuliskan Wanted dan pelarian tengah malam. Jemarinya berkerut seperti bambu karena usia tua, ia memakai dua lensa kontak yang berbeda —satu untuk pandangan jarak jauh, satu untuk jarak dekat.

“Apa yang kumaksud sebagai pelarian yang sukses adalah melarikan diri dari penjara,” lanjutnya, seraya memicingkan mata ke arah jendela. “Mungkin mereka pada akhirnya berhasil menangkapku, tapi setidaknya aku berhasil kabur beberapa menit.”

Dia menunjuk lengannya yang tertembak ketika mencoba kabur. “Masih ada sisa peluru di sini,” ujarnya. “Para polisi menembak ke arahku dan kena tiga kali, di bahu kanan kiri dengan senapan M16, dan pistol di kaki.”

Suaranya terdengar kering, aku menawarkan minuman dari mesin. Ia mengikutiku dan melihat jejeran minuman dari kaca, tanpa menyentuhnya. Dia pilih Dr Pepper. “Itu yang rasanya seperti cherry soda kan?”

Dia tampak senang. Ketika aku kasih minumannya, ia melongok ke arah jejeran permen. Aku tanya apa ia mau yang lain. “Kalau gak merepotkan,” katanya, “aku mau Mounds.”

Setelah usai makan dan minum, dia mulai mengisahkan apa yang disebutnya “kisah nyata Forrest Tucker.” Dia bicara berjam-jam, dan ketika lelah ia menawarkan untuk melanjutkan besok. Selama percakapan kami, yang berlangsung selama beberapa hari, kami selalu duduk di pojokan dekat jendela, dan setelah beberapa saat ia akan terbatuk dan aku akan menawarinya minuman. Setiap kali, ia selalu mengikutiku ke arah mesin penjual minum, dan penjaga mengawasinya dari kejauhan. Pada momen terakhir, aku menjatuhkan sejumlah uang, aku sadar bola mata Tucker mengembara ke mana-mana —tembok, jendela, penjaga, pagar, kawat berduri. Menurutku, Tucker, sang seniman melarikan diri par excellence itu, telah menggunakan pertemuan kami untuk survei agar kelak bisa kabur.

 

AKU masih 15 tahun ketika pertama kali kabur dari penjara,” kenang Tucker. “Di usia 15, kamu amat gesit.”

Saat itu musim panas 1936, dan ia dipenjara karena mencuri mobil di Stuart, Florida, sebuah kota kecil yang dilewati aliran Sungai St. Lucie. Kota ini menderita saat era Depresi Besar. Tucker bilang ke polisi kalau dia mencuri “hanya untuk senang-senang dan mencari ketegangan.” Tapi ketika dia sudah dipenjara, dia panik. Ketika seorang sipir melepaskan borgol, Tucker melesat kabur. Beberapa hari kemudian, seorang sipir menemukannya dengan pakaian oranye khas narapidana, sedang makan sepotong buah.

“Itu pelarian perdana,” kata Tucker. “Ya seperti itu.”

Sheriff kemudian memutuskan memindahnya ke sekolah perbaikan perilaku. Selama masa singkat itu, Tucker menyelundupkan setengah lusin gergaji melalui jendela sel ke kelompok remaja pria yang ia temui di dalam. “Mereka belum berhasil kabur dan masih punya gergaji,” katanya. Malam itu, setelah memotong sebuah jeruji besir, ia menyelinap, membantu dua bocah lelaki lain kabur melalui celah sempit

Tak seperti tahanan lain, Tucker amat kenal area itu. Saat masih bocah, ia menghabiskan cukup banyak waktu di sepanjang aliran sungai. Di sungai itu pula, satu setengah jam kemudian, polisi menemukan Tucker dan seorang kawan lain bersembunyi di bawah air dan hanya menyisakan hidung di atas permukaan air.

Keesokan harinya Stuart Daily News menjelaskan detail pelariannya dengan judul huruf besar “TRIO ESCAPE BY SAWING BARS OF CELL LAST NIGHT… SUPPLIED WITH HACK-SAWS, COLD CHISELS AND FILES BY BOY.”

“Itu adalah pelarian nomor 2,” kata Tucker. “Pelarian yang singkat.”

Dari novel-novel picisan, dia mengenal bandit-bandit yang terpaksa masuk ke dunia kriminal karena ketidakadilkan. Sama seperti itu pula, Tucker bilang bahwa “Legenda Forrest Tucker” dimulai pada sebuah pagi ketika dia diusir hanya karena pengutilan kecil. Kisah itu, yang kelak ia ulangi lagi bahkan di usia yang masih anak-anak, tersebar ke seluruh penjuru kota. Seiring waktu, detailnya makin kabur dan pencuriannya jadi terasa lebih remeh. Morris Walton, yang sering bermain bareng Tucker saat mereka masih bocah, bilang, “Seingatku dia masuk penjara karena mencuri sepeda dan mencoba kabur. Jika Tucker jadi jahat, itu karena dia adalah korban sistem.”

Apa yang Walton ketahui tentang Tucker menambah kuat kesan itu. Ayah Tucker adalah operator alat berat yang minggat saat usia Tucker enam tahun. Saat ibunya berjuang kerja serabutan di Miami, Tucker dikirim untuk tinggal bareng neneknya, seorang pengawas lalu lintas air di Stuart. Di sana, Tucker membuat kano dan perahu layar dari rongsokan metal dan kayu yang ia pungut di sepanjang pinggiran sungai. Dia juga belajar saksofon dan klarinet secara autodidak.

“Saat itu aku gak butuh ayah yang memerintahku,” kata Tucker.

Seiring reputasi kecerdikannya yang makin tumbuh, begitu pula catatan kenakalannya. Saat usianya 16, ia sudah dikenai dakwaan “menerobos dan masuk tanpa izin” dan “pencurian kecil”. Setelah dia kabur dari sekolah perbaikan kepribadian dan pergi ke Georgia, dia dihukum menjadi chain gang (para tahanan yang dikenai hukuman bekerja fisik seperti membangun jembatan, jalan, atau membersihkan lahan). Seperti para tahanan baru lain, dia dibawa ke pandai besi. Di sana, pergelangan kakinya digelung oleh kalung dan rantai besi. Kelak, borgol besi itu secara bertahap memamah kulitnya, kondisi yang dikenal sebagai shackle poisoning.

“Para penjaga akan memberimu waktu tiga hari agar jarimu kapalan,” kenang Tucker. “Setelah itu, mandor akan menghukummu, memukulmu dengan tongkat atau kepalan tinju. Dan jika kamu tak kerja cukup keras, penjaga akan menyeretmu ke toilet, mengikat tanganmu di belakang, dan menyemprot wajahmu dengan penyemprot air bertekanan tinggi hingga kamu tersedak dan tak bisa bernafas.”

Meski Tucker dibebaskan setelah enam bulan, dia kembali dihukum karena mencuri mobil lagi, dan dihukum sepuluh tahun. Saat itu, “kita melihat orang yang sudah benar-benar dibuang oleh masyarakat,” tulis pengacara Tucker di dengar pendapat pengadilan. “Dicap sebagai kriminil di usia 17 tahun dan dipaksa mengikuti proses hukum yang tak adil, Forrest Tucker menjadi pemuda yang marah. Tucker sendiri bilang, “ya sudah kadung seperti ini, mau gimana lagi.”

Dalam foto yang diambil saat ia ditahan di usia 24, rambutnya dipotong pendek dan dia mengenakan kaus oblong putih; lengan yang dulu kurus telah jadi berotot. Matanya tajam. Orang-orang yang mengenal Tucker bilang bahwa ia amat karismatik —para gadis berkumpul di sekitarnya— tapi mereka juga menyadari adanya kemarahan yang tumbuh dalam diri Tucker. “Kupikir, Tucker amat putus asa ingin menunjukkan bahwa dia bukan orang biasa,” ujar salah satu tolannya.

Pada awalnya, Tucker bekerja jadi pemain saksofon dalam sebuah band di Miami, dan tampaknya dia sudah mengubur ambisi ingin menjadi Glenn Miller berikutnya. Tapi pekerjaannya membosankan dan tak memberi apa-apa, dan setelah pernikahan singkat yang gagal, Tucker gantung saksofon dan mengangkat pistol.

DALAM imajinasi Amerika, para bandit adalah subyek dari romantisme —seorang lelaki jahat yang “baik”, dia biasanya ahli kabur, mahir menembak, dan disukai oleh para perempuan. Pada 1915, seorang polisi bertanya pada seorang perampok kereta bernama Frank Ryan, apa alasanmu merampok?

“Karena berkawan dengan orang yang salah, dan karena novel picisan. Jesse James adalah pahlawan favoritku,” jawabnya.

Ketika Tucker tumbuh dewasa di era Depresi Besar, daya tarik perampok bank mencapai titik puncak, apalagi didorong oleh kemarahan besar yang tersebar luas karena kondisi ekonomi yang buruk. Saat FBI menembak mati John Dillinger, orang-orang datang ke TKP, mengelap darahnya dengan baju mereka. Hollywood setidaknya bikin 10 film tentang kehidupan Dilinger. Salah satu film itu menjual kalimat, “Kisah Dilinger Ditulis dengan Peluru, Darah, dan Perempuan Blonde!”

Karena perampokan bersenjata butuh sandera, pekerjaan itu membutuhkan sifat-sifat khusus: nekat, congkak, dan ceroboh. Pada saat bersamaan, sebagian besar perampok paham bahwa masyarakat yang merasa terancam, jelas menuntut pemberantasan perampok, hidup atau mati. “Mereka bakal menangkapku suatu hari,” Pretty Boy Floyd pernah bilang suatu kali. “Cepat atau lambat, aku bakal mati tertembak. Akhir hidupku bakal seperti itu.”

Benar memang, saat Tucker memulai karier sebagai bandit di akhir 1940-an, sebagian besar bandit legendaris sudah mati ditembak. Toh tetap saja, Tucker meniru gaya mereka, berdandan dengan setelan jas bergaris dan memakai sepatu dua warna (two-tones), dan dia akan berdiri di depan kaca, menodongkan pistol ke pantulan dirinya. Akhirnya, pada 22 September 1950, dengan wajah ditutup sapu tangan dan pistol yang ditenteng dengan gaya Jesse James, Tucker masuk ke sebuah bank di Miami dan berhasil kabur dengan membawa 1.278 dolar. Beberapa hari kemudian, dia datang ke tempat yang sama, kali ini menggondol brankas.  Dia ditangkap saat berusaha membuka brankas itu dengan tabung pemadam api di pinggir jalan.

Karier kriminalnya tampak akan berakhir lebih cepat ketimbang perampok bank lain. Namun di penjara, Tucker memutuskan akan menjadi lebih dari sekadar bandit bersenjata. “Gak peduli mereka menghukum aku lima tahun, sepuluh tahun, atau seumur hidup,” katanya. “Aku adalah seniman melarikan diri.”

Di penjara, ia mencari apa yang disebut sebagai “titik lemah”. Sehari usai Natal, setelah seminggu survei, dia mulai mengerang kesakitan. Petugas medis penjara buru-buru membawanya ke rumah sakit, dokter memotong usus buntunya. “Harga yang murah untuk kebebasan,” kata Tucker. Pada masa pemulihan, masih diborgol pada ranjang, dia berusaha membuka borgol. Dia belajar autodidak bagaimana membuka kunci dengan alat apapun –bolpoin, paper clip, seutas kawat, pemotong kuku, watch spring— dan beberapa menit kemudian, dia sudah keluar, tanpa diketahui.

Dia berhasil kabur ke California, melakukan beberapa perampokan beruntun, dengan gesit pergi ke teller, menodongkan pistol, dan bermaklumat, “I mean business!” Dia mengenakan setelan kotak-kotan cerah, dan kabur dengan mobil flamboyan yang punya pipa di bagian sisi. Bahkan dia bicara meniru tokoh-tokoh di novel picisan.

“Ini perampokan bersenjata, manisku,” katanya suatu ketika, seperti ditirukan seorang saksi. “Aku punya pistol. Kamu diam dan tenang ya agar kamu gak terluka.”

Berharap hasil rampokannya meningkat, Tucker mulai mencari rekan. “Aku tidak mencari rekan yang gila atau orang yang tidak setia,” katanya. “Aku tipe perampok lawas.” Pada akhirnya, dia bertemu dengan mantan napi bernama Richard Bellew, seorang pria tinggi, tampan, dengan I.Q tinggi dan rambut hitam berombak. Seperti Tucker, Bellew memacak dirinya sebagai bandit dari era 1930-an, dan dia punya nama panggung Jet Blanca. Namun Tucker punya alasan lain memilihnya, “Dia selalu membiarkanku menghitung hasil rampokan.”

Mereka mulai merampok bank, satu demi satu. Dalam salah satu perampokan, beberapa orang saksi bilang mereka melihat jejeran jas yang digantung di bagian belakang mobil pelarian. Perampokan bank mereka, yang berlangsung selama dua tahun, mendominasi headline berita lokal, bahkan seringkali mengalahkan liputan tentang Pemilihan Presiden 1952 dan hearing McCarthy.

Tucker dan Bellew digambarkan sebagai “dua pria bersenjata” yang “meneror” “korban” mereka, tapi juga “seniman perampokan bank” yang “amat rapi” dan “amat lihai melucuti” uang dari teller, dan hanya meninggalkan “kesan sebagai bandit yang kompeten…dan satu mobil pelarian.”

Pada 20 Maret 1953, lebih dari dua tahun usai pelarian Tucker dari rumah sakit, agen-agen FBI mengepungnya ketika dia mengeluarkan uang dari brankas di San Francisco. Kemudian mereka menggeledah tempat yang ditulis Tucker sebagai kediamannya. Di sana, di sebuah apartemen luas di San Mateo, para agen FBI bertemu seorang perempuan muda berambut blonde yang mengaku tak pernah mendengar nama Forrest Tucker. Perempuan ini menikah dengan seorang penulis lagu yang kaya raya, yang melaju ke pusat kota tiap hari, dan mereka baru saja pindah ke apartemen yang lebih luas demi anak lelaki mereka yang berusia lima bulan. Nama suaminya adalah Richard Bellew. Namun, ketika polisi menunjukkan foto seorang perampok bank dan buronan lama bernama Forrest Tucker, perempuan ini meledak dalam tangis.

“Aku gak percaya,” katanya. “Dia pria yang amat baik, amat bertanggung jawab.”

Dia mengingat-ingat suaminya pulang tiap malam dan bermain dengan anak mereka, yang diberi nama Rick Bellew, Jr. “Bagaimana nasib anak ini?” tanyanya. “Siapa namanya dong?”

Bersambung…

The post Perampokan Terakhir Seorang Bandit Tua (Bagian 1) appeared first on Foi Fun!.


#1 Outing Bali

$
0
0

Minggu lalu kantor saya mengadakan rekreasi ke Bali. Yang ikut sekitar 110 orang. Banyak ya? Kantor kami memang mengalami penambahan orang dalam jumlah besar, setidaknya setahun terakhir. Waktu baru dimulai di awal 2016 silam, hanya ada sekitar 40-50 orang yang terbagi di dua kantor, Jakarta dan Yogyakarta.

Bukan itu yang ingin saya ceritakan, sih. Melainkan soal Bali.

Bali selalu punya tempat istimewa di hati saya. Ini adalah kota idaman saya sejak dulu kala. Waktu Mamak belum disetujui menikah dengan Ayah, kakak perempuan Mamak yang tinggal di Bali memboyongnya selama dua bulan lebih. Menanti kelunakan hati Kaik dan Nenek untuk memberikan restu. Ketika akhirnya Ayah dan Mamak menikah lalu punya anak, mereka sering liburan ke Bali.

Bali akhir 1980
Saya yang mencekik, tentu saja. Kuta, 1989.
Naik feri menuju Bali, 1989.
Pantai Kuta, 1989. Bareng Mamak, Kiki, Tante Syemim, dan tiga orang sepupu.

Waktu SMA, saya sudah punya bayangan akan tinggal di Bali. Saya akan kuliah di jurusan Pariwisata, Universitas Udayana. Untuk biaya hidup, saya akan jadi pelayan atau main musik di kafe-kafe. Dan tentu saja sebagai anak muda cabul, saya membayangkan petualang seks yang gila-gilaan. Goblok memang.

Ternyata lulus SMA, saya tak jadi ke Bali. Ada beberapa alasan, sih. Pertama, saya sudah keterima di jurusan Sastra Inggris Universitas Jember lewat jalur PMDK. Karena saya orangnya pemalas, saya ogah belajar lagi untuk SPMB. Jadinya ambil yang PMDK saja. Alasan lain, tak perlu diceritakan di sini lah. Hehehe.

Namun karena jarak Jember-Bali yang dekat, saya sering liburan ke sana bareng kawan-kawan kuliah. Naik motor, tentu saja. Menyenangkan sekali. Salah satu yang paling saya ingat adalah menonton Soundrenaline di GWK, 2009 lalu. Di sana, saya pertama kalinya menonton The S.I.G.I.T, juga Seringai, The Upstairs, dan Koil. Semuanya band favorit. Saya juga bertemu dengan Soleh Solihun, yang kala itu masih jadi wartawan Rolling Stone Indonesia.

Omong-omong, outing di Bali kemarin sangat menyenangkan. Saya keliling cari makanan enak, bercanda kayak orang goblok bareng teman-teman, mandi di kolam tengah malam biar kayak Hotman Paris, hingga menyaksikan kelakuan tolol kawan-kawan yang lagi mabuk: mulai dari berdebat soal Habermas dan Nietzsche, pura-pura surfing, menebak chord lagu, hingga muntah dan tidur di pinggir pantai.

Pada akhirnya, saya belum kesampaian tinggal di Bali. Namun setiap ke Bali, segala mimpi-mimpi lawas itu selalu menyeruak sih. Mungkin sekarang belum bisa, tapi siapa tahu beberapa belas tahun kemudian akan kesampaian.

The post #1 Outing Bali appeared first on Foi Fun!.

#2 Dewasa dan Tinggal di Jakarta

$
0
0

Waktu saya SMA, tak sengaja menonton Mr. Jones, film rilisan 1993 yang dibintangi Richard Gere. Sang pria jatmika itu memerankan Jones, pria yang mengidap bipola disorder, dan di beberapa titik waktu ingin bunuh diri. Apa yang bikin saya lekat pada film itu karena omongan Jones, diucapkan dengan kemarahan, kekesalan, tapi sekaligus dengan kelogowoan.

“Don’t grow up. It sucks!”

Waktu itu tumbuh dewasa tidak ada dalam bayangan. Ketika SMA, yang ada hanya bersenang-senang. Masalah terbesar mungkin cuma nilai ujian jelek, atau alpa mengerjakan pekerjaan rumah, atau bertengkar dengan pacar. Bayangan masa dewasa dan segala tanggung jawabnya sama sekali tak ada di benak.

Lulus kuliah, baru mulai terasa bahwa petuah Jones benar. Orang yang tumbuh dewasa dan gagal beradaptasi dengan itu, tampak menjadi orang yang getir dan pahit. Seolah tak ada sisa kebaikan dan kesenangan dalam hidupnya.

Orang-orang seperti itu banyak saya temui di Jakarta. Bayangkan, orang yang sedang mulai menelan kepahitan hidup, harus tinggal di Jakarta yang kerap dijadikan gambaran ideal kota tak layak huni.

Saya juga memandang buruk Jakarta empat tahun lalu. Saya pertama datang ke Jakarta untuk bekerja kantoran kali pertama. Mau tak mau, saya akan membandingkan ibu kota dengan dua kota yang pernah saya tinggali: Jember dan Jogja. Dua-duanya amat menyenangkan, penuh kehangatan, sonder macet, berlimpahan makanan enak.

Jakarta seperti antitesa dari dua kota itu.

Ketika sampai di Stasiun Pasar Senen jelang Subuh, saya melihat orang-orang duduk di emperan stasiun. Menanti dijemput sanak saudara atau kolega. Beberapa punya pandangan kosong —mungkin karena ngantuk saja, sih. Yang lainnya punya wajah berbinar –entah karena wudhu atau karena punya harapan pada Jakarta, atau karena mau dijemput pacarnya.

Saya agak deg-degan malam itu. Memulai hidup di Jakarta tak akan pernah mudah. Dalam benak, berseliweran segala citra yang sudah saya tempel sendiri sebelum saya berangkat ke kota ini. Jakarta macet. Jakarta berisi orang temperamental —beberapa tahun sebelum pindah ke Jakarta, saya melihat di sebuah pagi ada yang ribut dan orang berteriak, “Gue pecahin kepala lo!”. Jakarta kotor. Kumuh. Banyak copet. Bla bla bla.

Hingga sapaan membuyarkan lamunan saya. Andrey Gromico, kawan lama dari Jember, datang menjemput saya dengan cengengesan karena terlambat tiga puluh menit. Saya tersenyum lebar. Merasa bahwa Jakarta masih punya banyak kehangatan selama masih ada orang yang cengengesan macam Miko.

Lantas tentu saja di awal masa tinggal adalah proses adaptasi. Beberapa bulan coba naik Kopaja dari kontrakan di Rusun Tebet, Selatan Jakarta, ke kantor di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Tak buruk bagi mereka yang ingin merasakan lonjakan adrenaline, apalagi kalau beruntung dapat supir bocah yang sedang mabuk Rajawali. Selanjutnya adalah masa-masa legowo, sama seperti yang dilakukan Jones.

Apakah Jakarta buruk? Oh iya. Apalagi kalau dibandingkan dengan Jember dan Jogja.

Apakah Jakarta tak punya sisa kebaikan? Jelas tidak. Masih ada banyak kebaikan dan keasyikan Jakarta. Tentu saja kamu harus membuang segala kegetiran itu dalam diri terlebih dulu. Jika dari awal kamu sudah getir, tinggal di manapun tak akan ada tempat yang menyenangkan.

Di Jakarta, masih ada kawan lama yang siap ngopi kapanpun dibutuhkan. Bercerita dengan mereka seperti melupakan soal kedewasaan dan tanggung jawab. Ketawa-ketiwi kayak orang goblok di masa kuliah dulu.

Banyak sekali konser-konser apik, dari yang gratis sampai yang berbayar. Dari yang skala kecil, hingga stadium. Pasar loak juga masih ada, menyediakan keriangan-keriangan yang tak lekang waktu: buku, musik, hingga baju. Tempat makan enak juga tersebar di sana-sini, dari yang murah sampai yang bikin dompet nangis. Terserah pilih yang mana.

Kalau sedang malas berpergian? Ya tinggal di kamar saja. Nonton film, baca buku, denger musik hingga ketiduran. Lagipula sejak kapan kita butuh hiburan muluk-muluk? Kita itu jenis manusia yang bisa puas hanya dengan film-film, buku-buku, dan musik bagus, kok.

Apakah Jakarta membuat kita jadi mekanik? Entahlah. Saya merasa beruntung bisa dapat kerjaan yang tak memaksa saya jadi mekanik.

Saya punya beberapa kawan yang kerjanya berat, termasuk kerja yang mengandalkan otot, masih punya waktu luang untuk ngopi, ngobrol, dan rekreasi di akhir pekan, atau di sepulang kerja, bahkan walau itu cuma satu-dua jam. Bagi saya, mereka sama sekali tak mekanik.

Mungkin, bagi saya, rutinitas di Jakarta bukannya membuat manusia jadi mesin. Melainkan membuat lupa hal-hal sederhana yang dulunya membuat mereka bahagia. Tinggal di Jakarta membuat banyak orang merasa bahwa kebahagiaan hanya bisa diraih dari barang-barang mahal.

Lingkar perkawanan di Jakarta memang makin mengecil, ini tentu juga pengaruh usia sih. Namun, bagi saya, lingkar perkawanan itu amat bermutu. Sampai sekarang, saya masih rutin nongkrong dengan Budi, kawan baik saya sejak SMP. Kalau kami nongkrong, ya masih kayak orang pekok yang dulu bela-belain naik motor ke Bali cuma demi nonton The SIGIT dan Seringai.

Jadi dewasa menyebalkan? Jelas. Tapi tak buruk-buruk amat, sih. Ya setidaknya belum buruk-buruk amat, dan semoga tak akan pernah jadi buruk-buruk amat.

Mungkin saya terlalu naif, atau mungkin saya terlalu gampang senang karena hal-hal sepele. Tak tahu juga, sih.

N.B: Foto ilustrasinya mungkin gak nyambung, sih. Tapi itu foto Mak Ri dan kawan satu gengnya. Lingkar perkawanannya amat kecil, ya iyalaaaah, kebanyakan sudah “berangkat” duluan. Tapi tiga orang ini sepertinya masih bahagia, apalagi kalau ketemu dan ngobrol sampai lupa waktu. Semoga kita semua masih tahu caranya bahagia dan senang di usia seperti mereka.

The post #2 Dewasa dan Tinggal di Jakarta appeared first on Foi Fun!.

2019

$
0
0

Baru beberapa menit lalu, seorang kawan mengabari podcast-nya sudah jadi. Oh ya, kawan ini sering saya goda dengan panggilan Om. Itu benar sih, usianya jauh di atas saya. Namanya Philips Vermonte. Jabatan formalnya sih Direktur Center for Strategic and International Studies. Tapi jabatan non formalnya: pendiri Jakartabeat dan pemburu piringan hitam.

Apa yang bikin saya salut dengan Om Philips ini, dia suka sekali belajar baru. Tak segan ngoprek hingga menghabiskan banyak waktu. Dia sering cerita bagaimana membangun Jakartabeat waktu kuliah doktoral di Chicago sana. Dia beli buku cara bikin website, membaca hingga tandas, mencoba membikin tulang punggung situs dari awal, hingga menelpon sendiri penyedia jasa web hosting dan memberi namanya.

Kali ini, hal yang sama dia lakukan. Dia belajar cara merekam, beli alat sendiri ke Glodok, hingga belajar cara mengedit rekaman untuk jadi podcast. Om Philips juga tak segan bertanya ke mahasiswa-mahasiswa yang lebih akrab dengan teknologi ini.

Hasilnya: jadilah podcast bernama Graying Hipsters.

Di Instagram, dia bercerita soal keberhasilannya mengunggah podcast pertamanya. Saya bilang: boleh nih semangatnya, gak kalah sama yang muda.

Saya tidak sedang menggodanya. Itu benar ungkapan salut.

Sering kita mendengar cerita orang usia 30 ke atas malas belajar hal baru. Entah kenapa. Bisa karena zona nyaman yang membuat orang malas menjelajah wilayah baru. Bisa juga karena ketiadaan waktu senggang. Atau apapun lah.

Tapi Om Philips tidak begitu. Di usianya yang jelang 50, dia masih punya semangat ala anak muda. Dia tak mau ketinggalan dan menolak jadi fosil dari era 80. Dia mau belajar hal baru, mengasah skill baru.

Saya, nyaris kebalikannya.

Hidup rasanya begini-begini saja. Tidak jelek, memang. Saya amat senang dan mensyukuri apa yang saya punya. Tapi saya seperti malas belajar hal baru. Sempat punya keinginan untuk belajar bikin video pendek, namun belum kesampaian hingga sekarang. Begitu pula keinginan untuk belajar olahraga bela diri campuran, berhenti di tengah jalan.

Soal kemampuan baru, saya juga inget omongan kawan yang lain, Fahri Salam. Dengan berkelakar, dia pernah bilang bahwa kami, orang-orang yang hanya bisa menulis, suatu saat akan kalah oleh robot. Era wartawan atau penulis digeser oleh robot mungkin tidak akan terjadi dalam dua atau tiga tahun, tapi bisa jadi satu dekade dari sekarang hal itu benar-benar terjadi. Sekarang saja ada Beritagar, situs berita keren yang punya robot untuk menulis berita olahraga pendek.

Tapi semangat Om Philips rasanya bikin saya terbakar. Mendadak muncul perasaan bersemangat yang tidak biasa. Saya gak mau kalah, lah.

Di akhir tahun ini, saya iseng bikin resolusi 2019. Ini sesuatu yang nyaris tidak pernah saya lakukan, dan setelah diingat-ingat lagi: memang tak pernah saya lakukan. Saya ingin bisa punya skill baru: bikin video pendek dan main piano.

Itu saja dulu. Gak muluk-muluk, tapi kayaknya bakal menuntut komitmen tinggi.

Doakan saja berhasil. Hup!

The post 2019 appeared first on Foi Fun!.

Tom Waits – Closing Time

$
0
0

Kadang, kalau ingin mengutuk diri karena merasa terlalu menyiakan masa muda, saya selalu menengok tiga contoh.

Pertama: para personel Guns N Roses rata-rata baru berusia 22-25 tahun ketika bikin Appetite for Destruction yang fenomenal itu. Yang paling tua adalah Axl dan Izzy, keduanya 25 tahun. Sedangkan Duff, Slash, dan Steven berusia 22 tahun.

Bayangkan, di usia semuda itu, mereka bisa bikin album sedahsyat dan sematang Appetite. Album itu bisa dibilang mengubah lanskap musik hair metal, juga rock di era 1980-an. Guns N Roses jadi contoh bahwa tak perlu pakai make up untuk bisa bikin album bagus dan jadi tenar karenanya.

Contoh kedua: The Motorcycle Diaries, alias buku harian yang ditulis Ernesto Guevara saat mengembara di Amerika Selatan bersama sahabatnya, Alberto Granado. Saat itu, Che, panggilan akrab Ernesto, masih berusia 23 tahun, calon dokter, tampan, dan punya pacar cantik serta dari keluarga mentereng.

Lalu dengan perasaan romantika lelaki akan petualangan, Che memilih naik motor La Poderosa, motor Norton 500cc yang tangguh sekaligus bobrok. Meninggalkan segala kemapanan, juga kenyamanan yang menantinya andai ia mau tinggal.

Lalu yang ketiga, Tom Waits bikin album debut Closing Time di usia 23 tahun.

Kamu tahu kan betapa dahsyatnya album ini? Dibuka oleh “Ol’ 55” dan ditutup dengan “Closing Time”, album rilisan Asylum ini bagaikan sebuah penuntun untuk memasuki jagat ala Tom Waits yang beraneka warna.

Ia berkisah tentang cinta manis tapi sekaligus patriarkis dan klise( kurang klise apa coba cerita tentang lelaki pergi dari pelukan perempuan dengan alasan ingin petualangan, pakai bilang, “my heart cant be tamed” segala), petualangan dengan truk (oh sangat Amerikana sekali, dan ini juga menjadi cetak biru lagu-lagu Waits yang banyak berkisah tentang kota-kota di Amerika Serikat); hingga kisah cinta yang terhalang waktu empat dekade.

“Martha” seperti sebuah prosa utuh yang ditulis dengan sangkil dan mangkus. Ia terasa menggiriskan, mengagumkan, sekaligus membahagiakan.

Menggiriskan tentu saja: cinta seperti apa yang tetap menyala meski sudah dipendam waktu empat puluhan tahun? Cinta macam apa yang masih merelakan dan mendoakan meski sudah tak lagi berbalas selama delapan windu? Mungkin Waits ingin menjawab: cinta yang dibalut kenangan dan penyesalan.

Mengagumkan karena Waits bisa memakai sudut pandang seorang tua yang ringkih, yang cinta masa mudanya gagal ia selamatkan, berusaha menghubungi kembali perempuan yang dulu pernah bersama dengannya melewati masa, “…penuh bunga mawar, puisi, dan prosa.”

Coba dengar cara Waits menyanyi. Di serenada yang dia panjatkan, kamu bisa membayangkan seorang tua yang berjalan tertatih ke telepon umum, menitipkan pesan via operator, lalu dengan sabar menanti perempuan itu (“Martha” bisa kau ganti dengan nama siapapun, dan efek menggetarkannya masih akan tetap sama) di sebuah kedai kopi.

Membahagiakan, tentu ketika di akhir lagu, dengan piano yang lamat-lamat hilang, si Pak Tua –saya membayangkan ini Waits di tahun-tahun sekarang– gemetar karena berhasil berdekatan lagi dengan Martha.

Di usia 23 tahun, Tom Waits menuliskan 12 lagu yang kelak jadi mahakarya. Dia bermain piano, gitar, juga bernyanyi. Di album-album berikutnya, Waits mungkin makin liar, atau matang, terserah kacamata yang mau kamu pakai.

Dibandingkan semua albumnya, bahkan tiga album lain yang nangkring di senarai 500 Album Terbaik Sepanjang Masa versi Rolling Stone, Closing Time adalah yang paling saya sukai. Mungkin karena di sini Waits masih “polos”, sederhana, dan terkesan “telanjang”. Dan karena itu, saya malah jadi bisa menikmatinya. Jujur, saya kurang bisa menikmati album-album Waits sejak Swordfishtrombones.

Kenapa ya? Mungkin karena Waits memilih menepikan piano? Atau karena pendekatannya terlalu abstrak dan janggal bagi kuping hair metal saya? Entahlah.

Sebenarnya berkat Spotify, saya jadi leluasa menggali lagi diskografi Waits. Ada masa saya mendengarkan album Waits bergantian, satu persatu. Dari Closing Time hingga Bad As Me (2011) yang sepertinya bakal jadi album terakhir Waits. Ganti lagi, putar lagi. Dan tetap, pilihan pertama saya adalah Closing Time, baru diikuti oleh The Heart of Saturday Night, album kedua yang dibuat Waits setahun dari album pertamanya.

Malam ini, saya memutar piringan hitam Closing Time yang saya dapat dari seorang penjual di Bekasi. Pukul 3 dini hari, seiring jarum yang dijatuhkan pada piringan, Waits bersenandung merdu menyapa dengan “Ol’ 55”. Ia seperti kawan lama yang baru datang dari jauh serta siap menceritakan segala petualangan yang dia jalani, jalur yang ia tapaki, dan para perempuan yang menangisi kepergiannya.

Dan kembali, saya mengutuki masa muda yang rasanya terlewat sia-sia.

And at six in the morning, gave me no warning
I had to be on my way
Well there’s trucks all a-passing and and the lights all a-flashing
I’m on my way home from your place

And now the sun’s coming up
I’m riding with Lady Luck
Freeway cars and trucks
Stars beginning to fade
And I lead the parade
Just a-wishing I’d stayed a little longer
Oh, Lord, lemme tell you the feeling’s getting stronger

The post Tom Waits – Closing Time appeared first on Foi Fun!.

Selalu Ada John Mayer Untuk Setiap Momen Dalam Hidup

$
0
0

Halo Nuran di usia 20 tahun. Aku menulis ini satu dekade kemudian, hanya ingin mengabarkan bahwa kamu akan baik-baik saja dan berhasil melewati masa berat usia 20-an itu.

Memang, hidup terasa berat di masa itu. Penuh onak dan aral di sana-sini. Perempuan datang dan pergi, patah hati silih berganti. Orang menghadirkan kekecewaan juga kesedihan. Kadang ada luka yang tak sengaja tergurat, dan bekasnya tidak pernah hilang. Di fase itu, kamu akan belajar bahwa hidup kadang tak lebih dari usaha berdamai dengan kekecewaan dan kemarahan. Dan kalau kamu berhasil melakukannya, hidup akan terasa lebih landai.

Satu yang pasti, kamu bisa menyintas fase 20-an yang berat itu. Dan sudah seharusnya kamu berterimakasih pada satu nama: John Mayer.

Ya, ya, ya. Kamu dulu meremehkannya dengan bilang dia hanyalah bintang pop bermulut besar yang dikenal luas berkat “Your Body is Wonderland” yang beraroma sperma kering itu. Tapi tunggu setahun kemudian, hingga kamu menemukan Continuum yang kelak mengubah hidupmu itu. Kita tidak akan membahas itu sekarang, melainkan akan bicara tentang Mayer yang sedikit banyak sama seperti kita semua: manusia biasa.

Suatu hari, kamu membaca artikel “The Dirty Mind and Lonely Heart of John Mayer” yang ditulis oleh Erik Hedegaard untuk Rolling Stone. Lantas kamu tahu, Mayer adalah seorang manusia yang kesepian di tengah keramaian, sama seperti kita semua, manusia modern yang kadang gugup menghadapi dunia yang berputar terlalu cepat.

Keterasingan dan kesepian itu lantas bisa melahirkan ketakutan. Dan bagi John Mayer, ketakutan terbesarnya adalah dilupakan. Sebenarnya dia tak sendiri dalam hal ini. Hal yang paling menakutkan di dunia ini kerapkali bukanlah kematian, tapi dilupakan. Karena itu banyak orang berusaha keras untuk tak dilupakan. Dan Mayer melakukannya dengan menulis lagu “Edge of Desire”.

Lagu itu menunjukkan bahwa Mayer adalah seorang yang tak berdaya kalau dihantam patah hati. Sama seperti kamu, teman-temanmu, dan semua orang di dunia ini. “For all of my trying, we still end up dying. How can it be?” begitu Mayer bertanya.

“There I just said it, I’m scared you’ll forget about me,” begitu Mayer memberikan pengakuan.

Sebenarnya sejak masa-masa awal kariernya, Mayer sudah tampak betul sebagai seorang yang insecure terhadap dirinya sendiri. Dari penampilan fisiknya, hingga caranya memperlakukan orang lain. Pernah pada 2003 ia berkisah pada Jenny Eliscu dari Rolling Stone tentang keminderan terhadap fisiknya.

“Aku punya dagu yang mirip belahan pantat. Kepalaku amat besar sedang badanku amat kurus. Aku bukan tipikal orang yang menarik secara konvensional,” katanya.

Dia menulis “My Stupid Mouth” sebagai cara untuk menggetok kepalanya sendiri, agar dia sadar bahwa mulutnya yang nyablak itu sering bikin masalah.

“I said too much again to a date over dinner yesterday. And I could see, she was offended,” Mayer berdendang, mungkin sembari mengutuk kebodohan mulutnya.

Sama seperti kamu, Mayer juga orang yang seringkali naif di usia muda. Tapi siapa sih yang tak naif di usia 20-an? Nyaris semua orang yang kamu kenal di usia itu ingin melawan dunia, ingin mengabaikan semua peraturan bodoh. Mayer juga pernah begitu. Mayer dan Clay Cook, kawan baiknya di Berklee College of Music yang jadi rekan main musiknya, merasa bahwa guru-guru dan orang yang dituakan sering memberi nasihat pada para anak muda: stay inside the lines. Dengan kata lain: gak usah neko-neko.

Lalu Mayer dan Cook bikin “No Such Thing”. Saat itu usia Mayer 21 tahun, seumuran denganmu sekarang ini, yang marah dan kecewa terhadap banyak hal. Kalian sama saja, kok, hanya beda cara meluapkan saja. Kamu mulai belajar menulis –tentu saja tulisan di masa mudamu itu amat buruk dan memalukan. Sedangkan Mayer membuat lagu.

Mayer juga mengingatkan dirinya sendiri tentang apa yang disebut “dunia nyata”. Itu masa yang lebih berat lagi. Kamu mungkin telat mengalami “dunia nyata” itu, karena akan menghabiskan enam tahun untuk kuliah. Kalau kata Mayer, yang dengan berani memilih keluar dari kampus, “I just found out there’s no such thing as the real world. Just a lie you’ve got to rise above.”

Omong-omong, karya Mayer dan Cook di Inside Wants Out (1999) itu bagus sekali lho. Minimalis, direkam dengan sederhana, tapi menunjukkan bahwa dua orang ini akan jadi besar dengan caranya masing-masing. Salah satu lagu yang kelak bikin kamu bengong adalah “Neon”. Suatu malam, di warnet kampus, kamu menyaksikan Mayer memainkan lagu itu di hajatan Where the Light Is.

Mayer duduk di kursi, hanya berbekal gitar, menghadapi ribuan penonton yang berteriak macam orang gila. Tapi ketika Mayer mulai memainkan gitar, semua orang terdiam. Lalu mereka kembali bersorak ketika intro “Neon” dimainkan. Dan itu adalah salah satu lagu terumit yang pernah diciptakan seorang musisi bergitar–karena lagu ini awalnya ditulis oleh Mayer dan Cook menggunakan piano. Dan Mayer melakukannya sembari bernyanyi.

Di sana kamu sadar bahwa Mayer bukanlah musisi pop one hit wonder.

“Daughters” juga menambah kuat kesukaanmu pada Mayer. Di malam Grammy 2005, Mayer tampil dengan Fender Stratocaster relic yang anggun, bersama Pino Palladino dan Steve Jordan. Mereka memainkan lagu ini, dan seketika kamu tahu bahwa John Mayer layak dijuluki Mr. Slowhand kedua, julukan yang disematkan untuk Eric Clapton, yang kebetulan juga kawan baik Mayer.

Lalu tibalah saat itu. Kamu patah hati. Di masa ini, kamu mungkin akan merasa merana, kesepian, seolah dunia makin menyebalkan dan kamu tak sabar menunggu kiamat. Hingga kamu mendengarkan Continuum (2006). Sejak “Waiting on the World to Change”, kamu terus-terusan memutar 12 lagu di album itu. Lagi. Lagi. Dan lagi. Hingga tak terasa, sedih dan nelangsa itu minggat begitu saja.

Saat itu kamu menulis bahwa album ini sepertinya diciptakan untuk merayakan patah hati dan kehilangan. Memang ada beberapa lagu yang sepertinya kurang pas di sana. Kamu kerap berandai-andai bisa mengganti “Waiting on the World to Change” yang terlalu optimis itu dengan “Come Back to Bed” dari Heavier Things (2003) hanya untuk membuat album ini terasa muram dengan paripurna.

Lewat Continuum, Mayer membuat patah hati terasa akrab. Semacam upaya menangisi patah hati, tapi sekaligus layak dirayakan sebagai satu babakan dalam hidup yang harus dilewati. Entah dengan satu dua liter air mata, sebotol wiski, atau dua tiga lagu sendu yang bikin hati macam luka ditabur cuka dan garam. Lalu setelah semua badai dilewati, kamu bisa berjalan dengan kepala tegak dan dada membusung lagi.

Maka begitulah, kamu resmi sembuh dari patah hati akut karena album itu. Kamu memasukkan Continuum dalam album yang wajib didengar siapapun sebelum mati. Sebab mengabaikan album itu adalah salah satu bentuk kesia-siaan dalam hidup. Hidup manusia akan selalu penuh dengan kesia-siaan, tapi kamu tak boleh tidak mendengarkan Continuum.

Setelah album itu, kamu merasa jadi lebih dewasa dan akan bisa menghadapi hantaman sekuat apapun. Tentu saja itu tidak benar. Sebab akan ada momen-momen lain dalam hidup yang kadang bikin lututmu goyah. Dan di momen-momen seperti itu, selalu ada John Mayer di sana.

Tanpa kamu sadari, kamu menjalani usia 20-an dengan ditemani Mayer yang juga berproses. Kamu merasakan Mayer juga mulai dewasa dengan Battle Studies, yang dia garap ketika sudah memasuki usia 32. Dia tetap merayakan patah hati dan kesepian, tapi semacam ada aura bodoh amat dan berdamai dengan diri sendiri. Tentu tak sepenuhnya, sebab ada “Edge of Desire” yang tak pernah gagal bikin hati nggerus.

Lalu kamu memasuki fase hidup lain. Merantau dan menghabiskan empat tahun di kota baru. Mengawali sesuatu yang baru itu tak pernah mudah, dan lagi-lagi ada Mayer di sana. Di fase ini, kamu berjuang bertahan hidup, setengah mati berjuang mengatasi perasaan kosong karena kehilangan ayahmu, mengalami berbagai penolakan, patah hati lagi, sekaligus menemukan rumah baru dan handai tolan baru.

Pada masa ini, Mayer juga sama sepertimu, dia berada di titik terendah dalam hidupnya. Mayer memutuskan memanjangkan rambut. Berdandan ala koboi, melakukan pengembaraan, pergi ke kota-kota kecil di AS bagian tengah. Alabama, Pennsylvania, Ohio, dan berakhir dengan pindah domisili ke Bozeman, kota kecil berpenduduk 43 ribu orang di Montana. Tujuannya adalah, “Melancong ke kota-kota kecil, lebih banyak melihat dan mendengarkan.”

Hasilnya adalah Born and Raised (2012). Mayer menyebut album ini sebagai “…album paling jujur yang pernah aku buat.” Salah satu lagu paling personalnya mungkin “Shadow Days”, sekaligus lagu yang menemanimu kalau sedang rindu ayahmu.

Did you know that you could be wrong and swear you’re right. Some people been known to do it all their lives. I’m a good man with a good heart. Had a tough time, got a rough start. But I finally learned to let it go. But you find yourself alone, just like you found yourself before. Like I found myself in pieces on the hotel floor. Hard times help me see.

Mayer benar. Masa-masa sulit selalu membuat kita tertekuk, tapi sekaligus meneguhkan kita, membuat kita belajar melihat banyak hal, menghargai hal-hal kecil dalam hidupmu. Setiap mendengarkan lagu ini, semacam ada suara di dalam kepala yang meyakinkan bahwa kamu akan baik-baik saja. Dan Mayer benar.

Tiba-tiba saja semua berjalan lebih cepat. Pada 2017, kamu resmi meninggalkan masa 20-an tahun yang berat tapi kerap diremehkan itu. Di akhir fase ini, banyak orang yang bilang hidup akan lebih berat. Mungkin iya, mungkin jika tidak. Namun di dalam hati, kamu selalu yakin akan baik-baik saja. Selama John Mayer baik-baik saja, begitu pula kamu.

Di usia 30 itu, kamu bertemu dengan John Mayer yang sedikit banyak berubah di permukaan. Dia masih terdengar getir, tapi sekaligus punya keberanian untuk menertawakan kepahitan hidup. Perjalanannya masih penuh dengan pencarian, yang paling kentara adalah pencarian terhadap cinta sejati. Memang cinta sejati itu ada? Entah. Tapi Mayer masih mencarinya hingga sekarang. Maka tak heran kalau dia membuat The Search for Everything (2017).

Pengaruh drummer Steve Jordan dan bassist Pino Palladino rupanya amat kental. Membuat Mayer kembali menjadi pahlawan gitar, seperti saat ia bermain di John Mayer Trio bersama Steve dan Pino.

Lagu “Still Feel Like Your Man”, meski tampaknya adalah lagu pop biasa, adalah lagu dengan permainan gitar yang cukup rumit. Begitu pula di lagu “Helpless”, yang menampilkan Mayer versi funk, lengkap dengan solo gitar yang mengingatkan kita pada Mayer versi Continuum.

Benang merah album ini tetap patah hati dan perasaan Mayer yang memang seperti gelas: rapuh. Setidaknya dari 12 lagu, ada 6 lagu yang berkisah tentang patah hati. Mulai dari “Still Feel Like Your Man”, “Emoji of a Wave”, “Helpless”, hingga “Moving On and Getting Over”. Kali ini Mayer berhasil mengemas lagu patah hati dengan berbagai warna, tidak hanya aura kelabu.

Lagu “Moving On and Getting Over”, misalkan. Menampilkan sapuan R&B yang menampilkan merah, biru, hijau, bahkan merah muda di kepalamu. Ritmenya seperti hari Sabtu malam, saat teman-temanmu mengajakmu nongkrong di kafe yang riuh tapi kamu tolak karena enggan ke mana-mana selain rebahan di sofa sembari menyelesaikan “The Life and Times of the Thunderbolt Kid”.

Dan di sinilah kita bertemu, di 2019. Aku menulis artikel panjang ini dengan perasaan deg-degan, lega, sekaligus bahagia. Aku berhasil menonton John Mayer, bernyanyi dari awal hingga akhir konser, terharu ketika “Stop This Train” dimainkan, merenung di “Slow Dancing in the Burning Room”, sedikit mewek ketika “Edge of Desire” menggema, dan tentu saja menyanyi sekeras-kerasnya hingga urat nyaris meledak di lagu terakhir, “Gravity”

Aku begitu berbahagia sudah menonton John Mayer, pria yang menemaniku melewati masa-masa berat dalam hidup. Selalu ada Mayer dalam tiap momen hidupku, dan untuk itu aku bersyukur. Kamu pun seharusnya begitu.

The post Selalu Ada John Mayer Untuk Setiap Momen Dalam Hidup appeared first on Foi Fun!.

Viewing all 133 articles
Browse latest View live