Quantcast
Channel: Foi Fun!
Viewing all 133 articles
Browse latest View live

Masakan Ibu Itu Tidak Sempurna

$
0
0

Banyak orang bilang, makanan ibu adalah makanan yang paling sempurna. Apa betul?

Menurut saya justru tidak. Makanan seorang ibu bukan makanan yang paling sempurna.

Sekitar 15 tahun lalu, Mamak sedang rajin ikut kelas pastry. Beliau merasa kurang ahli membuat kue dan kudapan. Karena waktu yang luang –saat itu empat orang anaknya sudah bersekolah– maka Mamak memutuskan untuk ikut kelas memasak.

Salah satu kelas yang ia ikuti adalah kelas memasak mie pangsit. Segala teknik dan langkah sudah diajarkan. Semua bahan sudah dibeli. Tinggallah dua orang anak lelakinya yang diperbudak untuk menguleni adonan pangsit. Sementara itu, mereka, dua anak lelaki yang baru duduk di bangku SMP itu, sudah tak sabar ingin bermain bola.

Akhirnya pekerjaan rodi itu sudah selesai. Pangsit direbus. Matang dengan sempurna. Tapi tunggu. Mie yang dimasak ternyata tidak memisah dengan sempurna. Lengket satu sama lain. Usut punya usut, Mamak lupa memasukkan satu bahan, atau salah cara memasak. Hasilnya: mie yang mirip rambut rasta. Menempel satu sama lain

Selepas bermain bola, dua anak lelakinya, ya saya dan Kiki, berharap menemukan satu mangkok mie pangsit enak buatan rumah. Nyatanya, kami manyun karena mendapati semangkok mie dengan bentuk yang sama sekali tidak elok.

Tapi toh kami makan juga. Habis. Dan kami tidak protes. Mamak? Cuma menggerutu sembari nyengir.

Tidak hanya itu saja. Lain waktu, mamak membuat perkedel teri yang terlalu asin. Atau perkedel jagung yang terlalu lembek dan tiada cacahan daun jeruk. Pernah juga memasak nasi goreng yang lembek –nasinya masih panas dan Mamak ceroboh memasukkannya terlalu cepat. Padahal, bagi seorang juru masak berpengalaman seperti Mamak –ia sudah bisa memasak sejak SD– kesalahan seperti ini bukanlah kesalahan yang bisa ditolerir.

Bandingkan dengan restoran, apalagi yang mendapat tiga bintang Michelin. Semua serba sempurna. Tak ada langkah yang boleh salah. Tak ada bahan yang boleh terlupa. Juga tak ada ruang buat keteledoran. Api terlalu besar, daging yang terlalu matang, potongan yang tidak simestris: haram!

Begitu pula penataan makanan dalam piring putih bersih itu. Semua harus ditata ibarat lukisan realis. Indah, penuh warna, dan presisi. Kalau chef mendapati sang sous salah, piring atau pisau bisa dilempar. Tak boleh ada kesalahan! Konsumen adalah raja, mereka tak boleh kecewa!

Maka restoran Michelin, atau banyak restoran mewah lain, adalah representasi dari kesempurnaan. Bukan masakan ibu.

Tapi apa benar kesempurnaan robotik itu yang kita cari? Entahlah.

Menurut saya, masakan ibu justru sempurna karena ketidaksempurnaannya. Masakan ibu adalah sebuah contoh bagaimana seorang manusia seharusnya. Ada ruang untuk kesalahan. Ada sedikit keteledoran, atau kecerobohan. Entah kelebihan garam, atau malah kurang pedas. Tak peduli selihai apapun seorang ibu.

Saya berani bertaruh, bahkan koki sekaligus ibu jago masak macam Sisca Soewitomo pun pernah membikin satu dua kesalahan dalam dapur. Manusiawi.

Masakan Ibu juga merupakan contoh baik bagi demokrasi. Entah bagaimana di dapur orang lain. Tapi di dapur kami, Ayah, anak-anak, dan Mamak bebas berdialog. Melempar kritik atau memberi masukan. Seperti saat kasus mie yang tidak jadi dengan sempurna itu. Atau saat kami mengeluh perkedel teri terlalu asin.

Mamak menerima itu semua, walau kadang dengan kesal. Mamak sadar: tiada penguasa tunggal perihal lidah.

Akan sangat berbeda kasus dengan restoran. Apalagi restoran terkenal, seperti Restaurant Gordon Ramsay misalkan. Kalau anda mengkritik, bisa jadi sang Gordon yang galak itu akan keluar dan menghardik. “Tahu apa kamu soal makanan?!” Bahkan mereka tak segan untuk berkonfrontasi dengan para kritikus profesional.

Penyebabnya jelas: di dapur, chef adalah orang yang berkuasa. Penguasa tunggal. Para sous chef dan staf adalah bawahan. Para pengkritik dianggap sebagai oposan berisik sok tahu yang patut dibungkam.

Tak usahlah di restoran. Bahkan di warung Tegal, kamu akan dipandang aneh kalau mengkritik juru masaknya. Saya bayangkan seorang kritikus ngomel di depan juru masak warteg.

“Mbok, ini sayurnya terlalu lembek. Anda terlampau lama memasak ini. Padahal sayur seperti kangkung cukup di-sautee sebentar saja dalam minyak panas. Kalau terlalu lama, teksturnya akan rusak, dan vitamin pun menguap. Anda bodoh!”

“Ini juga, dagingnya terlalu lama dimasak. Jadinya malah keras. Anda tahu tidak sih kalau daging sapi itu paling baik dalam bentuk medium rare? Ayolah, jangan buat malu warteg anda. Your warteg is a disgrace to humanity!”

“Ini tempenya terlalu tipis. Sehingga menghilangkan juice kedelai yang gurih dan sedap itu. Potongannya juga tidak Julieene. Anda ini kok bodoh sekali sih? Masakan sampah!”

Simboknya pasti bakal masuk ke dapur sebentar, lalu keluar sambil ngacungin pisau.

“Lambemu lamis mas! Kene cocotmu tak iris terus tak sautee!”

Dan ingat, masakan Ibu adalah contoh paling baik tentang cinta yang sama sekali tak kenal pamrih. Meski ibu tak pernah dibayar, masakannya kerap dikritik kalau rasa tidak cocok, ia tetap masak. Terus dan terus. Terdengar klise memang, tapi semua itu bisa dilakukan karena cinta.

Dan tepat di sana, di tengah ketidaksempurnaannya, masakan Ibu adalah masakan yang paling sempurna. Di sana pula, para anak-anak akan selalu merindukan masakan ibu, masakan yang selalu dimasak dengan cinta. []


Mudik ke Jember

$
0
0

Grup band Arkarna memang tak pernah merasakan mudik. Tapi mereka paham betul apa yang dirasakan oleh kaum pemudik: so little time so much to do. Ada banyak yang ingin dikerjakan, tapi waktunya terlalu sedikit.

Begitu pula mudik saya dan Rani tahun ini.

Awal mula mudik, kami sempat bingung. Perkaranya adalah moda transportasi. Tiket kereta api menuju Surabaya sudah ludes beberapa jam setelah dibuka. Naik pesawat, kami masih ketakutan karena beberapa tragedi yang belum lama berselang. Pilihan terakhir adalah naik bus.

“Tapi awas kecirit lagi lu,” kata Panjul, salah seorang kawan, menakut-nakuti. Kampret.

Sebenarnya saya sudah mendaftar mudik gratis untuk awak media. Disediakan oleh sebuah perusahaan gas milik negara. Saya mendaftar untuk dua orang dengan tujuan Surabaya. Rencananya kami mudik bareng Miko. Tapi karena gentar, ditambah ketakutan macet yang mengular –tahun lalu seorang teman bercerita harus menghabiskan dua hari di jalan untuk mudik ke Surabaya– saya akhirnya membatalkan diri ikut mudik dengan bis. Tiket saya akhirnya diambil alih oleh Aang dan Totok, dua orang kawan saya yang lain.

Kami akhirnya, dengan berat hati, memilih untuk naik pesawat. Kebetulan pula dapat harga yang lumayan miring. Plus, dengan kartu kredit, tiket itu bisa dicicil sampai 12 kali. Jadi lebaran tahun depan baru lunas. Dasar orang miskin. Hahaha.

Begitu sampai Jember, tanggal 14 siang, kami tak bisa langsung santai-santai. Ada banyak sekali agenda. Saya sih pengen nongkrong bareng teman-teman lama. Tapi ternyata masih banyak yang di rantau, belum pulang.

Tapi saya sempat bertemu dengan kawan-kawan masa kecil. Ada David, Pandu, Fajar, Real, dan Ade. Sayang, Kiki alias abang saya, berhalangan hadir. David, Pandu, Fajar, dan Real sudah jadi PNS. Satu di Jember dan tiga yang lain di Jakarta. Kami banyak ngobrol soal kerjaan dan juga hidup setelah lepas kuliah. Malam yang menyenangkan.

David, Pandu, Saya, Real, Ade, Fajar

David, Pandu, Saya, Real, Ade, Fajar

Tanggal 16 saya bersua beberapa kawan SMA. Itu pun tak lama. Hanya beberapa jam saja. Pun, tak semua hadir. Kami sempat merencanakan ketemu lagi setelah lebaran. Sayang, seorang kawan harus dinas, dan yang lain harus mudik ke luar kota. Saat semuanya sudah tak sibuk, saya yang tak bisa datang karena ada rencana pergi ke Bali.

IMG-20150717-WA0000

Omong-omong soal Bali, ini adalah rencana lama yang sudah tertunda lebih dari setahun. Sewaktu awal menikah, dulu kami sempat merencanakan bulan madu. Tapi manusia bisa berencana, Tuhan akan menertawakan. Kami tak sempat bulan madu.

Barulah menjelang mudik itu saya tawarkan pada Rani: mau ke Bali naik motor? Rani setuju. Saya menjadwalkan ke Bali setelah reuni SMA. Ndilalah, reuni SMA gagal. Pfffttt.

Namanya rencana yang sudah dipatok jauh-jauh hari, ya ndak boleh meleset lagi. Maka tanggal 20 Juli, kami berdua naik motor ke Bali. Capek? Iya. Menyenangkan? Sangat. Selama empat hari tiga malam di Bali, kami pindah-pindah hotel agar tak bosan. Semua dapat harga miring karena promo dan tetek bengek lain.

IMG_20150805_140051

Sekali-kali narsis bareng bini

Seumur hidup, Rani baru tiga kali ke Bali. Yang pertama waktu masih SD. Naik bis dari Jambi hingga Bali. Buset, perjuangan bener. Kali kedua, dia pergi bersama kawan-kawan kantornya. Sekira 4 atau 5 tahun lalu. Ketiga, ya bulan madu kemarin itu.

Kami lumayan terhibur dengan perjalanan di Bali itu. Banyak makan makanan enak. Ayam betutu Gilimanuk. Nasi pedas Andika. Nasi ayam Ibu Oki. Si Rani banyak belanja untuk buah tangan. Kami juga sempat menghabiskan sore di Kuta. Beralas kain bali dan minum bir. Melihat matahari tenggelam. Biar lengkap jadi turisnya.

IMG_20150721_144157

Nasi ayam Bu Oki yang membuatmu rela mati muda

Di Bali kami juga sempat ngopi dengan Kak Pito. Beliyo yang dikenal sebagai penerjemah handal –hei kapan selesai Satanic Verse-nya?– sudah dua atau tiga tahunan ini tinggal di Bali. Dulu di Ubud. Sekarang tinggal di perbatasan Ubud-Denpasar. Saya sendiri sudah lama sekali ndak ketemu cewek berambut pendek ini. Terakhir ketemu bareng sama Mas Hadid. Nonton film Djam Malam di Senayan, medio 2012. Ini kali pertama Rani ketemu dengan perempuan yang punya anjing bernama Tuhan ini.

Kami nggosip ini dan itu. Diakhiri dengan makan enak di daerah Sanur. Tahu-tahu sudah jam 2 pagi. Sampai hotel ndak sempet bikin anak. Langsung ambruk, ngorok.

Gara-gara perjalanan ini, saya dan Rani punya pikiran pengen pindah ke sana. Sejak dulu sebenarnya kami tak begitu menempatkan Jakarta sebagai kota ideal. Lagipula mana ada manusia waras yang punya keberanian menetapkan Jakarta sebagai kota favorit.

Ancang-ancangnya, tiga atau empat tahun lagi kami akan pindah ke kota dengan skala yang lebih kecil, skala kemacetan yang nyaris nihil, dan biaya hidup yang jauh lebih murah. Entah itu di Jogja, Surabaya, Malang, Jember, atau Bali. Doakan saja keinginan ini terkabul.

Sama seperti lagu Arkarna tadi, ada begitu banyak kegiatan yang tak bisa dilakukan karena keterbatasan waktu. Saya dan Rani tak sempat melakukan banyak hal di Jember dan Bali.

Saya tak sempat makan rujak Madura langganan, tak sempat mampir ke Apong, tak ketemu dengan banyak teman SMA, gak bisa ngopi dengan teman-teman lain, pun hanya bisa bertemu dengan beberapa orang saudara, dan Rani tak sempat beli oleh-oleh. Di Bali ia belum puas jalan-jalan. Sampai sekarang, ia masih suka membuka tempat-tempat wisata Bali.

“Dua minggu lalu kita sedang makan nasi ayam,” katanya kalau sedang kumat kangen sama Bali.

Oh ya, kami semua sempat mudik ke Lumajang. Silaturahmi ke Bude Padmi. Tahun ini pasti berat bagi beliau. Ini tahun pertamanya tanpa Pakde. Pasti sangat kehilangan. Di Lumajang saya ketemu dengan Kak Lia dan Mbak Dira, istrinya. Kak Arif dan Kak Rani sedang di luar rumah waktu itu.

Yang lucu, kami awalnya mau mudik ke Lumajang dengan motor. Tapi batal karena dianggap tidak efektif. Akhirnya dipinjami mobil oleh Tante Indah. Masalah muncul: siapa yang nyetir? Di keluarga saya, yang bisa nyetir mobil cuma Kiki. Itu pun ugal-ugalan, dan gak punya surat izin mengemudi.

Rani akhirnya dipasrahkan untuk jadi supir. Saya sempat waswas. Ia memang mahir menyetir. Tapi gak punya SIM. Untunglah perjalanan lancar. Walau Rani nyetirnya pelan-pelan karena takut Mamak dan dua adik panik. Haha. Malam itu dipungkasi dengan makan malam, dan saya yang numpang kamar mandi di rumah temen Orin karena kebelet ngising. Hahaha.

Kunjungan yang patut dijadikan bahasan adalah sowan ke Tegalboto. Kok kebetulan pula, pas saya mau ke sana, sudah ada Arys dan Fuk Widi. Kami membawa istri masing-masing. Kali ini dengan buntut: Arys dan Rani –nama istri Arys juga Rani, kami berencana membuat paguyuban Suami Rani– membawa Ilona yang lucu dan menggemaskan itu, kemudian Fuk Widi dan Tina membawa Tulis, bocah lelaki yang suka sekali tersenyum.

Senang sekali ketemu Arys dan Fuk Widi. Meski sama-sama tinggal di Jakarta, saya dan Arys susah sekali bertemu. Jakarta memang benar kota yang kejam. Bahkan ketemu kawan lama pun susah sekali. Sedangkan Mas Widi, desainer handal ini tinggal di Gresik. Tambah susah lagi ketemunya.

Seperti biasa, kalau sudah berkumpul begini, kami nostalgia. Menatap ruang redaksi yang sekarang sangat kotor dan berdebu. Tanda jarang ada kehidupan atau aktivitas di sana. Sedikit sedih sebenarnya. Tapi mau gimana lagi. Kehendak zaman. Zeitgeist, kata orang pintar.

Dulu di ruangan itu, kami sibuk menulis, mendengarkan lagu, menonton video musik, hingga Miko, yang menurut pengakuan Fino, pernah pernah kepergok melakukan sesuatu di sana sembari menonton video Sora Aoi.

Di atas jam dinding, masih berjejer foto-foto para filsuf dan pemikir. Mereka yang bukunya kami baca sembari mengurut kepala. Foto mereka sudah dirambati jaring laba-laba. Tak ada yang mau repot-repot membersihkannya. Oh ya, konon ada sebab kenapa foto para filsuf dan pemikir itu diletakkan di atas jam dinding.

“Itu artinya pemikiran dan karya seseorang itu melampaui waktu,” ujar Mas Romdhi, yang katanya menirukan ucapan Mas Sigit. Dua-duanya senior kami.

Saya yang waktu itu masih sangat hijau hanya mengangguk-angguk saja. Sedangkan Arman Dhani asyik makan kerupuk sembari ngeremuti ceker.

Ada yang tak lengkap kalau ke Tegalboto tapi tidak bertemu dengan Mister Kandar. Tapi lelaki menyenangkan itu tak ada di Tegalboto. Saya cari dia. Ternyata ada di UKM Reog. Menonton televisi sendirian sembari bertelanjang dada.

“Masih ingat saya?”

“Inget lah. Kamu kan Nuran.”

Saya tersenyum. Tajam ingatannya tak menumpul sama sekali. Maka ia pun beranjak ke Tegalboto. Bersalaman dengan Arys, Mas Widi, Tina, dan dua orang Rani. Seperti kebiasaannya sejak dulu, ia selalu mengenalkan diri pada orang baru.

“Nama saya Nandar. Dulu waktu SD namanya Kusnandar,” katanya lancar sembari senyam senyum.

Siang makin tua. Kami kelaparan. Berencana makan siang di sebuah warung dekat Tegalboto. Kami pun berpamitan pada Cak Kandar.

“Mana THR-nya?” katanya jenaka.

Saya ketawa ngakak. Kami pun memberikan sedikit rejeki, sembari berpetuah: jangan dibuat mabuk lho Cak! Dia mengangguk saja. Sebelum benar-benar pulang, kami menyempatkan diri berswafoto bersama.

12

 

Cak Kandar langsung membalikkan diri. Menampakkan tulisan besar di baju bagian belakang. Tulisannya besar: KOMUNIS JEMBER. Hahahaha.

Setelah dari Bali, saya dan Rani hanya punya satu hari tambahan di Jember. Itu saya patok sebagai malam keluarga. Kami berencana makan di luar. Sudah lama sekali tidak makan bareng-bareng. Apalagi sekarang Orin sudah kerja. Shasa, si bungsu, sedang KKN di antah berantah. Tambah susah kumpul dan makan bersama.

Makan malam keluarga ini dinodai dengan insiden tolol, karena Orin tidak bisa membedakan mana Cak Sis dan mana Cak No. Hahaha.

Sekadar pendapat, Cak No sudah lewat masa kejayaannya. Entah kenapa, ia terasa malas berinovasi. Jenis masakan sea food yang ia jual hanya punya dua varian: asam manis dan mentega. Ini sama sekali membosankan. Apalagi yang mentega, nyaris tak ada rasanya. Hanya sekedar bawang putih dicacah dan diberi mentega.

Di sisi lain, Cak Sis yang dulu berada di bawah Cak No perihal kepopuleran, kini meroket. Mereka punya banyak jenis varian. Yang paling saya suka adalah varian sea food masak telur asin. Kaya rasa. Tak heran kalau sekarang Cak Sis membuka cabang baru yang megah di pusat kota.

Saat saya dan Rani harus pulang ke Jakarta, kami meninggalkan banyak kegiatan yang tak sempat dilakukan. Sedikit waktu. Terlalu banyak yang dikerjakan. Aduh. Tapi tetap saja, kami senang dengan mudik tahun ini. Semoga kesenangan ini terus jadi abadi. []

Jelajah Negeri Tembakau: Lombok

$
0
0

“Dio, kamu di mana?”

Saya mengirim pesan pendek pada Sabda Armandio. Siang itu, saya sudah satu taksi dengan Panjul dan Dhani dan menunggu Dio di Taman Suropati, Menteng. Kami berempat rencananya akan pergi bareng ke bandara Soekarno Hatta. Kemudian terbang ke Lombok.

Pesan saya tak berbalas. Saya mencoba menelpon Dio. Lagi. Sudah empat kali saya coba. Masih tidak aktif. Saya melongok jam di pergelangan tangan kiri. Sudah jam 13.20.

“Sampe setengah dua dia gak ada, kita tinggal ya,” kata saya pada Panjul dan Dhani.

“Palingan hapenya sengaja dimatiin buat hemat baterai,” kata Panjul.

Bisa jadi. Sekitar 30 menit lalu, saya sempat menelpon Dio. Ia sedang di kereta, dari Bogor menuju Cikini. Dio baru ingat kalau dompet dan KTPnya ada di rumahnya, bukan di kosannya yang terletak di Cikini. Maka dengan gegas ia menuju Bogor. Setelah selesai, ia langsung menuju Cikini untuk kemudian ke Taman Suropati.

Saat saya telepon, penulis novel Kamu ini sudah di Lenteng Agung. Dari Lenteng Agung ke Cikini harusnya tak makan waktu lama. Normalnya hanya 15 menit saja.

Pukul 13.30 akhirnya tiba. Kami terpaksa meninggalkan Dio. Waktu itu kami berpikir, mending satu orang yang ketinggalan pesawat daripada empat orang yang ketinggalan. Pahit memang.

Pesawat kami menuju Lombok berangkat pada 15.45. Taksi akhirnya meninggalkan Taman Suropati.

Baru saja jalan sepelemparan batu, ada pesan Whatsapp masuk. Dari Vira, salah satu peserta ke Lombok. Ia bilang sedang ada di sekitar Menteng. Mengajak untuk bareng. Kami setuju. Janjian ketemu di Taman Menteng. Akhirnya kami putar balik.

“Nanti ternyata pas kita jemput Vira, si Dio sms kalau udah di Taman Suropati,” kata Panjul berkelakar.

Haram jadah. Ternyata kelakar Bapak Air Mata Nasional itu jadi kenyataan. Saat menuju Taman Menteng, Dio kirim pesan Whatsapp: aku udah di Taman Suropati.

Saya ngakak.

Akhirnya kami jadi menjemput Dio. Vira akhirnya langsung menuju bandara. Saat ketemu Dio, dia bilang hapenya sengaja dimatikan agar hemat baterai, sesuai perkiraan Panjul.

Giliran Panjul yang ngakak.

***

Kami pergi ke Lombok untuk mengikuti acara Jelajah Negeri Tembakau. Ini adalah perjalanan untuk mengenal dunia tembakau dan juga industrinya. Mulai dari hulu hingga hilir. Dari kebun hingga menuju pabrik. Biasanya acara ini berada di Jawa. Di daerah-daerah penghasil tembakau terkenal, mulai dari Temanggung hingga Kudus. Kali ini dipusatkan di Lombok, sentra penghasil tembakau Virginia FC di Indonesia.

Ada 15 orang blogger yang ikut serta. Kebanyakan dari Jakarta. Tapi ada pula yang dari Bandung, Jogja, dan Surabaya. Beberapa orang adalah kawan lama. Sebagian lagi sudah saya kenal tapi belum pernah ketemu. Sisanya, saya belum pernah kenal dan ditemukan di Lombok.

Kami sampai di Lombok pada pukul 8 malam waktu setempat. Suasana bandara internasional Praya nyaris tak jauh beda saat saya datang ke sana pertama kali bareng mas Iqbal Aji Daryono, sang seleb Facebook yang fenomenal itu.

Di luar bandara, ada banyak orang menunggu sanak saudara yang datang. Beberapa menggelar tikar dan duduk lesehan. Sebagian ada yang menunggu di bak mobil. Otentik dan sangat Indonesia sekali. Menyenangkan.

Sebuah bus mini lantas membawa kami ke pusat kota Mataram. Normalnya sekitar 40 menit perjalanan. Tapi malam itu sang supir memilih untuk menyetir dengan hati-hati. Saking pelannya kadang bikin gemas. Kami maklum kalau perjalanan ini molor hingga 1 jam.

Rombongan Bandung, Jogja, dan Surabaya datang menyusul. Setelah makan malam, kami ngobrol sejenak. Tentang agenda acara. Juga bagi-bagi kaos dan buku yang dibawa dari Jogja. Oh ya, saya sekamar dengan Ayos.

Bertahun yang silam, kami menempuh rute Jember-Flores dengan motor, dan tak sanggup menginap di hotel. Malam ini, kami tidur di hotel. Gratis.

***

Hari pertama, lagi-lagi, kami diguncang kepanikan. Pagi baru saja dimulai. Nasi goreng dan sereal belum usai digulung usus. Tapi panik sudah datang karena ada dua orang peserta ternyata belum ada di bus saat semua sudah siap berangkat. Siapa gerangan?

Dio dan Bang Dede.

Mereka sekamar. Dan mungkin perpaduan yang sangat cocok. Bang Dede gemar bercerita, dan Dio gemar mendengarkan. Saya membayangkan mereka ngobrol ngalor ngidul sampai pagi. Tidur. Lalu terlambat bangun.

Benar saja. Setelah ditelpon berkali-kali, dengan nada panik mereka bilang akan segera keluar. Lima menit setelahnya, tampaklah Bang Dede dan Dio dengan wajah bantal, mata yang bengkak –mengingatkan saya pada Panjul setelah menangis– dan muka bersalah.

“Dio habis diapain aja sama Bang Dede?” kata Tekno Bolang.

Yang disebut hanya cengar cengir saja.

Agenda pertama hari itu adalah pergi ke gudang Djarum di Montong Gamang, Lombok Tengah. Rencananya kami akan belajar tentang ilmu dasar tembakau dan juga proses sortasi dan pengemasan.

Bisa dibilang gudang Djarum ini adalah tahap akhir perjalanan tembakau di Lombok. Setelah disortasi, tembakau yang lolos standar akan langsung dikemas dan dibawa ke Kudus, markas besar Djarum, untuk kemudian diproses lebih lanjut.

Kami ditemui oleh Pak Iskandar, Senior Manager Djarum di Lombok. Kami sudah bertahun tak bertemu, sejak saya menulis tentang beliau. Tak ada yang berbeda dari Pak Iskandar. Masih ramah. Suka tertawa.

Kami lantas diajak ke lantai dua kantor Djarum. Di sana ada ruang rapat. Disediakan pula berteko teh dan kopi. Namanya juga di pabrik rokok, ya jelas ada rokok produk Djarum. Berslop. Semua bisa diambil gratis.

Beberapa di antara peserta, salah satunya si Farchan, terlihat membawa berbungkus rokok.

“Buat temen di kantor, Ran,” katanya nyengir.

Saya ketawa saja.

Oh ya, sekadar pemberitahuan saja. Dari 15 orang peserta, sebagian besar tidak merokok. Kinkin, Vira, Ayos, Agus Mulyadi, Dhani, dan saya sendiri, adalah beberapa orang yang tidak merokok.

Pak Iskandar menjelaskan tentang sejarah penanaman tembakau di Lombok. Bagian ini mungkin akan saya tunda dulu. Saya sedang menulis lebih panjang tentang tembakau di Lombok untuk situs Pindai.

Saya melongok Mbak Vira Indohoy yang setia dengan buku sketsa. Ia tampak serius menggambar Pak Iskandar, sambil sesekali nanya ini dan itu.

Di sudut belakang, ada Agus Mulyadi yang tekun menyimak penjelasan Pak Iskandar. Agus memang blogger yang taat dan tekun. Beda bener jika dibandingkan dengan Panjul yang malah asyik main game. Ya sambil sesekali menangis, tentu. Bang Dede beberapa kali menanyakan perihal tembakau di Lombok. Mulai perihal harga dan juga jenis tembakau. Ayos juga khusyuk menyimak penjelasan Pak Iskandar.

“Melihat beliau, aku jadi inget bapakku,” kata Ayos, yang bapaknya sudah 30 tahunan bekerja di sektor kopi.

Presentasi Pak Iskandar sedikit membingungkan bagi para peserta. Beliau mengira kalau yang datang kali ini sudah tahu tentang tembakau. Padahal sebagian besar dari mereka, kalau tak mau menyebut seluruhnya, masih awam soal tembakau. Apa yang dipresentasikan oleh Pak Iskandar, boleh dibilang, adalah versi advance. Versi lanjut.

Melihat para peserta yang agak bingung, Pak Iskandar mengambil langkah strategis: membawa kami ke tempat sortasi serta pengemasan tembakau.

Para petani biasanya sudah mengemas daun tembakau dalam anyaman tikar pandan. Gulungan tembakau yang sudah dikeringkan itu akan dibawa ke pintu pertama. Di pintu itu, sudah ada para grader.

Menyaksikan para grader bekerja, seperti melihat para maestro yang menguasai ilmu ghaib. Mereka bisa mengetahui nilai tembakau hanya dari bentuk dan baunya saja. Sesekali mereka perlu mengecek kondisi daun. Kalau dianggap kurang kering, maka daun tembakau akan dikeringkan ulang di oven milik Djarum.

Grading tembakau ini bukan perihal mudah. Kata Pak Dawam, tangan kanan Pak Iskandar, grading tembakau bisa mencapai 56 tingkat. Meski sekarang sudah disederhanakan, jumlah grading masih mencapai 20-an. Rumit dan perlu waktu panjang untuk belajar. Sama sekali bukan hal ghaib.

Setelah melewati proses grading, tembakau yang lolos seleksi akan dikumpulkan dan dikemas dalam tikar pandan. Bisa langsung masuk truk untuk kemudian dibawa menuju Kudus.

DSCF6139.resized

Para pekerja di gudang Djarum Foto oleh: Farchan Noor Rachman

Ada pula tembakau yang tidak lolos seleksi pertama. Biasanya ada sedikit cacat pada daun tembakaunya. Ada proses sortasi berikutnya untuk daun tembakau seperti ini.

Prosesnya manual. Dipilah dan dipilih oleh ibu-ibu yang berdiri dengan sabar dan tekun di depan sabuk berjalan. Di atas sabuk itu ada jejeran daun tembakau bergerak cepat. Tembakau yang masih memenuhi syarat akan dikumpulkan untuk kemudian dikemas dan dibawa ke Kudus. Sedangkan yang kurang bagus akan dikumpulkan dan digunakan untuk berbagai keperluan.

Setiap musim panen, pemandangan di gudang Djarum ini akan selalu sama: para petani yang berdatangan dan menunggu uang cair. Setiap hari, uang yang beredar ke petani bisa mencapai Rp 6 miliar sehari!

Di dalam gudang, para pekerja sibuk bekerja dengan tekun. Walau sama sekali tidak robotik. Mereka masih bercanda dan sesekali duduk santai. Setiap musim panen, ada sekitar 400 tenaga kerja di gudang ini. Mereka bekerja di bagian sortasi hingga pengangkutan.

***

DCIM166GOPRO

Hamparan ladang tembakau Foto oleh: Syukron

Perjalanan dilanjutkan ke Pademare. Ini salah satu desa pusat tembakau. Sepanjang mata memandang, ada daun tembakau hijau yang ranum.

Di tempat ini, para peserta diajak untuk ngobrol dengan petani. Juga melihat oven. Banyak yang kaget ketika tahu kalau ovennya berukuran besar. Tingginya bisa 7 meter. Di dalam oven ini ada pipa-pipa yang mengalirkan panas. Sebutannya adalah flue. Karena itu tembakau Virginia di Lombok dikenal sebagai Virginia FC, alias Virginia Flue Cured.

Di Pademare, kami disuguhi kelapa muda yang baru dipetik dari pohon. Saat itu Panjul mengeluh ada yang berbeda dari rasa air kelapa mudanya.

nuran

Panjul yang meminum air matanya sendiri Foto oleh: Atre

“Kenapa emang?”

“Gak tau nih, rasanya agak asin.”

Saya mencicipinya sedikit. Benar, sedikit asin. Padahal punya saya rasanya biasa saja. Perasaan saya tak enak. Saya menengok ke wajah Panjul. Bedebah, ternyata ia mulai menitikkan air mata. Katanya ia terharu melihat tembakau tumbuh subur. Itu yang saya minum bukan air kelapa, melainkan air mata Panjul.

Dasar bandot tengik.

Setelah puas melihat tembakau, oven, dan minum kelapa muda, kami jelas foto bersama. Yang membedakan, foto kali ini diambil oleh drone yang dibawa oleh Syukron. Kapan lagi foto narsis dengan peralatan mahal.

Perjalanan belum usai. Malam itu kami makan malam di Taliwang Raya, sebuah rumah makan yang menyajikan ayam Taliwang dan Sop Bebalungan sebagai hidangan andalan.

Di sini kami bertemu dengan Pak Martadinata, budayawan Sasak yang juga merupakan seorang dosen. Beliau yang datang dengan baju serta peci putih dan sarung berwarna gelap ini banyak menceritakan tentang hikayat tembakau di Lombok dan masyarakatnya.

Tembakau, bagi masyarakat Sasak, menempati posisi sebagai tanaman yang dimuliakan. Tak kalah dengan padi. Karena menghormati tembakau, ada tradisi roah. Yakni syukuran sebelum mulai menggarap lahan. Para petani biasanya berkumpul, dan akan memanjatkan doa bersama. Berharap agar hasil panen bagus.

Ada pula tradisi besiru, yakni bergotong royong tanpa dibayar. Biasanya dilakukan ketika ada pembangunan rumah atau panen. Meski tak dibayar, para peserta besiru “wajib” disuguhi rokok.

“Rasanya gak sopan kalau gak ada rokok,” ujar Pak Martadinata.

***

Hari kedua, Dio dan Bang Dede tak mau terperosok di lubang yang sama: kesiangan sampai tak sempat sarapan. Mereka bangun lebih pagi.

Yang tidak bangun malah duo begundal: Arman Dhani dan Panjul. Dhani sejak kemarin malam masuk angin. Sudah biasa. Huek huek sepanjang malam, kata Panjul.

“Gue pikir dia mau mati cuk, udah gue bacain Al Fatihah di kupingnya,” tambahnya.

Kalau Panjul terlambat bangun karena kemarin malam pergi ke Senggigi sendiri. Ngapain? Pakai nanya pula. Ya nangis laaaaaah. Jadi kalau ada ahli oseanografi, sila dicek. Pasti ketinggian air laut Senggigi akan bertambah lumayan drastis. Itulah hasil air mata Panjul.

Tapi untungnya mereka berdua tak jadi ditinggal. Dengan tergopoh-gopoh, mereka berlari ke bus. Dhani malah sempat mencomot pisang sebelum naik ke bus.

Agenda hari ini adalah ke Desa Lekor. Ini desa yang kerap diceritakan oleh Pak Iskandar karena termasuk desa yang berubah karena tembakau.

“Dulu desa ini bukan Lekor. Tapi desa tertinggal,” kata Haji Sabarudin, tetua Desa Lekor.

Desa ini termasuk desa legendaris. Dulu, dikenal sebagai desa rampok. Setiap ada orang kerampokan, pasti orang Lekor dituduh menjadi dalang. Jalan menuju desa ini dulu tak beraspal.

Semua berubah sejak tembakau masuk. Hasil panen tembakaunya bagus. Kebetulan pula tanah Desa Lekor adalah tanah yang disukai tembakau: kering, tapi masih ada sumber air yang cukup.

Walau begitu, beberapa kali para petani tembakau sempat gagal panen karena curah hujan yang terlalu tinggi. Tapi karena tembakau memberikan begitu banyak harapan, nyaris tak ada warga yang undur diri. Mereka masih terus menanam tembakau.

Kini Desa Lekor tak lagi dikenal sebagai desa para pencoleng. Desa mereka lebih dikenal sebagai desa penghasil tembakau kualitas wahid.

Di Lekor, agenda kerja kami resmi berakhir. Selanjutnya adalah bersenang-senang! Kami pergi ke Sade, desa adat Sasak yang masih memegang teguh tradisi. Juga ke Pantai Tanjung Aan. Malam ini agendanya adalah mengantar Kinkin yang harus pulang karena Senin tak boleh telat kerja. Lalu dipungkasi dengan makan nasi puyung yang pedas dan ntap itu.

***

Esok subuhnya, dengan mata masih terkantuk, kami harus keluar dari hotel. Ini Senin subuh. Sebagian besar di antara kami harus bekerja. Kembali ke dunia nyata.

Sampai jumpa lagi, Lombok. []

Post-scriptum:

Terima kasih untuk para teman-teman yang bersedia mengikuti acara ini.

1. Ayos Purwoaji (Surabaya)
2. Arman Dhani (Jakarta)
3. Agus Magelangan (Jogja)
4. Aditia Purnomo (Jakarta)
5. Astri Apriyani (Jakarta)
6. Sukma Dede (Jakarta)
7. Wira Nurmansyah (Jakarta)
8. Farchan Noor Rachman (Jakarta)
9. Sabda Armandio Alif (Jakarta)
10. Maharsi Kinkin (Jakarta)
11. Eddward S. Kennedy (Jakarta)
12. Tekno Bolang (Jakarta)
13. Syukron Makmun (Bandung)
14. Vira Indohoy (Jakarta)
15. Indri Juwono (Jakarta)

Postingan kawan-kawan yang lain:

Sabda Armandio: Jelajah Tembakau Nusantara: Tembakau Lombok

Tekno Bolang: Lombok, Jelajah Negeri Tembakau

Farchan Noor Rachman: Daulat Negeri Tembakau

Vira Indohoy: Another Side of Lombok Island, West Nusa Tenggara

Agus Mulyadi: Jelajah Negeri Tembakau Lombok

Wira Nurmansyah: Negeri Tembakau Lombok

Indri Juwono: Hamparan Hijau Tembakau Lombok

Sukma Dede: Gunung, Pantai, Tenun, hingga Tembakau Ada di Lombok

Atre: Tembakau Terbaik di Pulau Lombok dan Jelajah Lombok

Eddward S. Kennedy: Menelusuri Tembakau dan Air Mata di Lombok

Aditia Purnomo: Lombok Sebelum dan Sesudah Tembakau dan Memaksimalkan Potensi Tembakau Lombok

Maharsi Wahyu: Semerbak Negeri Tembakau

Video oleh Kang Eko: Jelajah Negeri Tembakau Lombok

Rock Purba Ala Kelompok Penerbang Roket

$
0
0

Ada yang istimewa dan menghangatkan hati ketika melihat Kelompok Penerbang Roket memainkan “Bento” di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Kelas II Cipinang, Jakarta. Aura mereka ketika bermain, juga respons penonton yang bersemangat, mengingatkan saya saat BB King bermain di depan ratusan narapidana di Penjara Cook County.

Dalam Mati Muda, film dokumenter pendek yang mereka buat untuk gigs di Cipinang, keintiman itu berasa nyata. Beberapa orang narapidana mengeluarkan testimoninya. Mereka sama sekali tak menjilat atau mencari muka. Apa yang mereka katakan, adalah hasil dari apa yang mereka saksikan.

“Luar biasa musiknya mas! Tadi kehibur banget”

“Mantap mas! Soalnya saya juga penggemar rock.”

“Memang dibutuhkan musik-musik yang energik seperti ini. Menghilangkan melamun-melamun.”

“Walaupun saya gak tahu lagu-lagunya, tapi sudah ikut bergembira aja. Karena musik rock jarang kita dengar.”

“Ya semoga KPR ini sukses. Karena band-band rock di Indonesia ini sudah mulai jarang.”

Kelompok Penerbang Roket, selanjutnya disingkat KPR, memainkan musik rock purba. Ini tentu istilah suka-suka saya. Mengenali musik rock macam ini cukup gampang: gitar bersuara kotor, dentuman drum susul menyusul, solo gitar yang panjang dan memancing tepuk tangan dengan gerakan menyembah, dan tak ada efek atau peralatan macam-macam. Tipikal musik rock yang hantam dulu, nanya belakangan.

Tapi tentu kamu boleh saja menyebut mereka sebagai band garage yang terlambat keluar, karena garage revival sudah tuntas bertahun lalu. Tapi menurut saya, mereka jelas lebih dari sekadar band garasi yang mengumbar distorsi berlebihan dan pola rambut yang diberantakin agar mirip Julian Casablancas.

KPR menarik musik mereka lebih dalam, lebih ke era lampau. Pengaruh Jimi Hendrix ataupun The Who, sedikit kentara. Terutama pada permainan drum Viki Vikranta yang sepertinya terpengaruh Mitch Mitchell dan Keith Moon.

Tapi nyatanya mereka lebih terpengaruh oleh gerombolan rocker dalam negeri. Sebut saja AKA, Duo Kribo, atau Panbers. Nama Kelompok Penerbang Roket sendiri dicomot dari judul lagu “Mencarter Roket” milik Duo Kribo, yang terdiri atas Ahmad Albar dan Ucok Harahap. Sebagai penghormatan kepada para pendahulu, KPR bahkan pernah merilis album penghormatan pada Panbers.

Apa yang menarik dari KPR sebenarnya latar belakang para personelnya. Dalam berbagai wawancara, band yang terdiri atas John Paul Patton alias Coki (bass dan vokal), Rey Marshall (gitar), dan Viki Vikranta (drum) ini tak segan bercerita tentang persinggungan antara Rey dan Viki dengan dunia narkotika, terutama ganja. Rey bahkan sempat dua kali ditahan polisi dan menjalani rehabilitasi.

Pengalaman ini seperti memberi unsur kedekatan dengan dunia di balik jeruji. Penampilan di LP Narkotika Cipinang itu menunjukkannya. KPR seperti bermain di rumah, di depan para saudara sedarah.

Bulan Mei lalu, KPR akhirnya merilis album perdana, Teriakan Bocah. Saya membelinya di Lawless secara tak sengaja. Sempat tak mengenali album ini karena tak ada petunjuk apapun selain judul album, yang untungnya saya ingat. Ini sebenarnya langkah kurang baik untuk band baru. Ah tapi sudahlah.

Ada tujuh lagu di album ini. Semua menghadirkan apa yang mereka sebut sebagai “rock Indonesia”, walau belum jelas seperti apa rock Indonesia yang mereka maksud. Mungkin musik rock yang menggambarkan kehidupan Indonesia melalui lirik berbahasa Indonesia? Anggap saja begitu.

Perjalanan rock Indonesia ala KPR ini dibuka dengan “Anjing Jalanan”. Tak ada intro. Langsung hajar bleh. Sama seperti judulnya, lagu ini berkisah tentang bajingan jalanan yang membuat resah banyak orang karena “…berbuat kerusuhan demi kepuasan, jalani kehidupan dengan kekerasan”.

Video klip lagu ini cukup berhasil menggambarkan sosok dalam lagu. Para personel KPR berjalan-jalan dengan baju yang tak biasa, dan orang-orang melihat mereka dengan pandangan aneh.

Lagu “Di Mana Merdeka” cukup asyik dan menohok. Lagu ini menyentil orang, atau malah band, yang kerap mendaku diri sebagai berbeda, padahal sama saja dengan gerombolan manusia lain. “Di mana mereka, mereka yang beda? Apa masih ada yang merdeka?”

Cerita menarik juga datang dari “Target Operasi”. Lagu ini ditulis Anda Perdana, eksponen musik dekade 1990-an yang kini aktif di Matajiwa. Lagu ini awalnya ditulis untuk proyek solonya. Namun berakhir di tangan KPR, dengan musik yang diubah drastis. Lebih kotor, mentah, dengan suara gitar yang kering dan kasar.

Lagu ini ibarat nubuat bagi Rey yang kemudian menjadi target operasi polisi karena kasus narkotika. Karena itu, lagu ini bisa jadi terasa lebih dekat dengan KPR dibandingkan 6 lagu lainnya.

“Mati Muda” kembali menabalkan benang merah rock era 1970-an dengan intro yang Black Sabbath-esque.

Rey menunjukkan sisi kesatria bergitar melalui lagu sonder lirik, “Cekipe”. Pada dua menit terakhir, Rey seperti mengamuk dan kerasukan arwah Hendrix dan Stevie Ray. Menghajar efek reverb dan wah secara bergantian. Jika mendengarkan lagu ini dengan tutup mata, Rey seperti muncul dalam bayangan. Memakai ikat kepala tye dye, ia turut memejamkan mata dan memainkan gitar seperti mengalami orgasme.

Tentu saja album ini memiliki kekurangan. Seperti penggarapan sampul yang sama sekali tak maksimal. Kasus seperti salah urutan lagu harusnya tak terjadi, dan sayangnya terjadi.

Tapi secara keseluruhan, album ini memberikan pengalaman rock purba yang menyenangkan. Apalagi semakin jarang yang memainkan lagu macam ini, terutama sejak surutnya gerakan garage revival.

Teriakan Bocah rasanya salah satu kandidat album lokal terbaik tahun ini. []

26 Tahun Dr. Feelgood

$
0
0

Saya tak pernah menyangka kalau les bahasa Inggris di Eddy’s pada tahun 2000-an, bisa mengubah sedikit banyak hidup saya.

Setiap pulang les, selepas Maghrib, saya selalu jalan kaki. Dari Pertokoan Mutiara –tempat les saya berada di ruko– menuju Sumber Mas, nama sebuah supermarket yang hangus terbakar pada 15 Januari 1998. Meski supermarket itu sudah lama tak ada, kawasan yang sebenarnya masuk dalam Jalan Sultan Agung itu masih dikenal sebagai Sumber Mas. Dulu di sana adalah tempat ngetem angkot menuju Arjasa, rumah saya.

Setiap pulang itu lah, saya selalu melewati seorang penjual kaset bekas. Namanya Erwin. Saya pernah menulis tentangnya. Sekitar tahun 2005, dia memindah lapaknya di daerah kampus Universitas Jember. Saya lantas berteman akrab dengannya.

Dari tumpukan kaset bekas yang ia jual itu, saya tahu Motley Crue. Kaset Greatest Hits Motley Crue yang bersampul gambar kartun empat personel itu saya beli di Erwin. Dari sana saya memulai penjelajahan terhadap musik hair metal.

Sebelumnya saya cuma tahu Guns N Roses. Juga White Lion dan Skid Row. Saat itu saya belum tahu kalau scene hair metal ternyata punya banyak sekali band.

Setelah saya dengar Motley Crue, saya jatuh cinta. Apa boleh buat. Hook gitar Mick Mars sangat menempel di ingatan. Suara Vince Neil yang sedikit sumbang dan sengau itu juga tak mau minggat dari pikiran.

Di warnet yang berada di seputaran kampus lantas saya mencari berbagai informasi tentang Motley Crue. Saya terngaga begitu membaca kisah-kisah — terdiri dari seperempat fakta, seperempat legenda, seperempat omong kosong, dan seperempatnya lagi kebohongan — tentang Motley Crue.

Kisah yang paling saya ingat adalah saat Vince Neil menghantam Izzy Stradlin karena menggoda istrinya. Lalu Axl Rose tak terima dan menantang Vince berkelahi. Ini adalah fakta.

Yang bohong adalah saat sebuah situs konspirasi tak jelas menulis kalau Vince sengaja membunuh Razzle, drummer Hanoi Rocks, karena takut kalah tenar. Penulisnya mungkin terlalu banyak menonton sinetron Indonesia.

Setelah beranjak dewasa, saya tahu kalau berita itu bohong dan sampah belaka. Vince sangat terpukul dengan kecelakaan yang menimpanya dan Razzle. Ia bahkan sempat depresi berat. Album ketiga Motley, Theatre of Pain, adalah bentuk persembahan pada Razzle.

Kisah lucu lainnya adalah para personel Motley Crue dikabarkan sebagai penyembah setan karena menampilkan gambar pentagram dalam album Shout at the Devil.

Yang legendaris? Tentu kisah Nikki Sixx bangkit dari kematian. Remaja mana yang tak merinding, takjub, dan setengah girang membaca Nikki sempat mati dan hidup lagi setelah jantungnya dihunjam dua ampul adrenaline. Setelah bangun, alih-alih minta dirawat, ia malah melepas alat bantu pernafasannya. Dengan setengah telanjang ia pergi ke parkiran dan bertemu dua orang fans perempuan yang sedang menangis. Mereka kaget Nikki masih hidup dan berjalan menghampiri. Ia lantas minta diantar ke rumah seorang kawan. Sampai di sana Nikki kembali mabuk.

Wahai junjunganku!

Kisah lain yang mewarnai hidup para remaja tanggung adalah bagaimana Tommy Lee meniduri Pamela Anderson: perempuan idaman para lelaki dewasa dan bocah penyuka Baywatch. Termasuk saya. Setelah beberapa hari kencan, mereka berdua memutuskan untuk menikah.

Saya paham alasannya setelah video seks mereka tersebar. Ukuran penis Tommy yang lebih mirip pentungan itu jelas membuat Pamela kesengsem dan keenakan. Sekaligus membuat saya heran, kenapa Tommy tak banting setir jadi bintang porno selepas Motley Crue? Duitnya jelas lebih besar ketimbang membuat musik jelek dan jadi DJ medioker.

Mick Mars juga meninggalkan bayangan yang sukar dienyahkan. Saat Motley Crue akan reuni, Mick adalah personel yang paling sukar dicari. Ketika ketemu, ia berada di kamar yang jorok, gelap, dengan keadaan yang nyaris mati karena tak terawat.

Karena lagu-lagunya yang enak, juga bersemangat karena didorong berbagai kisah ajaib nan legendaris, saya mulai memburu kaset Motley Crue. Tentu tak bisa dengan cepat. Uang jajan terbatas. Maklum, baru bocah berseragam putih biru.

Setelah uang terkumpul, album Motley Crue pertama yang saya beli jatuh pada Dr. Feelgood, karena Greatest Hits tak saya hitung sebagai album studio. Waktu itu saya berpikir pragmatis saja: banyak lagu hits dari album Dr.Feelgood. Belakangan saya tahu kalau pilihan saya tak salah. Itu album terbaik mereka. Ya walaupun penilaian ini sangat subyektif.

Beberapa orang lebih suka Too Fast for Love yang lebih mentah dan kasar. Ada pula yang lebih suka Shout at the Devil karena menunjukkan kematangan musikalitas Motley. Dan beberapa suka album Motley Crue karena ada John Corabi yang membawa warna lain bagi Motley Crue.

Tapi tetap, bagi saya, Dr. Feelgood adalah yang terbaik. Album ini perpaduan paripurna dari musikalitas afdal –hook gitar yang memorable sampai dengan unsur pop di antara sound hard rock dan heavy metal– keberhasilan memasukkan kisah hidup dalam lagu, energi baru setelah berhasil melewati berbagai drama hidup yang macam roller coaster, serta kombinasi komplit antara citra dan musik.

Tanggal 1 September silam album ini merayakan usia yang ke 26. Usia yang lumayan panjang. Apalagi untuk band yang hidup ugal-ugalan, para personelnya diprediksi bakal mati mengenaskan sebelum umur 40, dan dianggap band dari genre yang “…menarik musik metal ke derajat paling rendah”.

Sulit untuk menolak fakta bahwa album ini sangat solid. Bahkan lagu “Rattlesnake Shake” yang funky dan memiliki semua potensi untuk jadi radio single, tertutup oleh lagu-lagu lain yang jauh lebih dahsyat.

“Dr Feelgood” membuka album ini tanpa tedeng aling-aling. Ini kalau kita mengabaikan “T.N.T (Terror ‘n Tinseltown)” yang hanya berdurasi 44 detik itu. Hantaman gitar yang berat itu. Juga hook gitar di bagian intro, siapa yang bisa lupa?

Karakter Jimmy di lagu ini nyaris sama ikoniknya dengan Ricky di lagu “18 and Life” milik Skid Row. Ia mengendarai Chevy 65, mengedarkan heroin, sosok glamor, dan panggilannya adalah Dr. Feelgood. Karena dia bisa membuat kamu merasa nyaman, sekaligus menghantuimu seperti Frankenstein.

Mick Mars seperti menggeram dan memanggilmu untuk moshing di lagu “Kickstart My Heart”, sebuah ode untuk nyawa Nikki yang sempat terbang, namun kembali lagi.

Lagu ini punya reff yang megah. Anthemic. Cocok sekali untuk dimainkan di segala tempat pun suasana. Mau di bar sempit yang penuh asap rokok dan bau pesing, boleh. Atau di stadion besar dengan penonton puluhan ribu, sikat Jon! Pasti akan mengundang koor para penonton.

Dan Mick Mars, aduh, sang hair metal wizard itu memang brutal kalau sudah diberi gitar. Di bagian akhir lagu, dia mengamuk memakai talk box. Membuat “Livin on A Prayer” seperti ajang Richie Sambora berlatih memainkan talk box.

Tommy Lee, sebelum meniduri Pam, sempat menjalin hubungan romantis –berujung pernikahan– yang berjalan cukup lama dengan Heather Locklear. Kisah cinta mereka bisa dibaca di biografi Motley Crue, The Dirt.

Kisah cinta mereka mengilhami “Without You”, lagu rock romantis yang selalu ada di setiap kompilasi Love Rock atau Slow Rock. Video klipnya yang surealis juga membuat saya bengong saat pertama kali melihatnya. Apa-apaan ini kok ada piramida dengan mata, kunci melayang, dan jaguar?

Lagu “Don’t Go Away Mad (Just Go Away)” menghadirkan rock riang gembira. Dengan video klip yang juga menghibur dan dipungkasi dengan satu band berlatih bersama. Ini sebenarnya sedikit ironis dan menipu. Karena nyatanya album Dr. Feelgood direkam terpisah, agar para personel Motley tak saling bertengkar satu sama lain.

Produser Bob Rock bahkan mengatakan betapa sulitnya menangani Motley Crue di album ini, karena mereka “…empat orang bajingan Los Angles yang setiap saat selalu mabuk dan ingin membunuh satu sama lain.”

Mahakarya dari 1989 ini ditutup oleh lagu yang paling menarik sekaligus paling menyedihkan: “Time for Change”. Lagu itu ibarat nubuat bagi nasib, tak hanya Motley Crue, tapi juga para band-band hair metal saat demam grunge mulai datang. Suara Vince terdengar parau, sekaligus getir. Seperti tahu kalau hidupnya bakal berat selepas dekade 80.

I heard some kids telling me
How they’ve lost all the faith, in the way

Selepas era 80-an berlalu, angin musik yang awalnya berpusat di Los Angeles bertiup ke arah Seattle. Para anak-anak muda sudah bosan dengan dandanan ala band hair metal, juga gaya hidup mereka yang glamor. They have lost all the faith. Mereka lebih menyukai Nirvana, Pearl Jam, atau Alice in Chains. Lebih apa adanya. Membumi. Dan akrab dengan kelas pekerja.

The lines on their faces so deep, yeah
A revolution, or reach out
And touch the day
We’re overdue, child

Era hair metal sudah usai. Saatnya para band hair metal mengepak segala macam alat musik mereka. Kembali manggung di bar kecil dengan bayaran yang hanya cukup untuk beli satu botol Jack Daniels. Kevin DuBrow mulai botak, bangkrut sampai picis terakhir hingga harus hidup menumpang di rumah orang tua. No more cherry pie for them, even for Jani Lane.

I feel the the future
In the hands of our youth
No more lies

Jalan sejarah musik rock dan metal kini ada pada tangan anak-anak yang lebih muda. Kurt Cobain, Jerry Cantrell, Perry Farrell, atau Eddie Vedder. Mereka tampak lebih nyata, tanpa polesan. Tak seperti dunia glam rock yang penuh dengan bedak dan pesta pora yang melelahkan.

Change
Now it’s time for change
Nothing stays the same
Now it’s time for change

Akhirnya perubahan lah yang menang. Slash dan Duff keluar dari Guns N Roses. C.C DeVille dipecat dari Poison. Segala macam band tiga huruf macam XYZ, Y&T, TNT, atau KIX, bubar jalan dan belajar main scrabble. Blackie Lawless entah ke mana. Dee Snider jadi tua dan penggerutu. Joe Leste menekuni pekerjaan sebagai vokalis band kover AC/DC di Las Vegas.

Motley Crue? Vince Neil dipecat dan digantikan oleh John Corabi. Merilis album Motley Crue dan gagal di pasaran. Formasi lama kembali dan merilis Generation Swine pada 1997. Tetap babak belur di pasaran. Lantas Nikki Sixx membuat beberapa band baru. Begitu pula Tommy Lee yang bahkan sempat jadi DJ –bodohnya dia menolak tawaran jadi bintang porno. Tak ada karya mereka yang benar-benar bagus, kalau tak mau menyebutnya sampah belaka.

Apa yang patut dirayakan dari Motley Crue? Ya nostalgia. Apalagi tahun ini adalah tahun terakhir Motley Crue bermusik. Tahun depan sudah tak ada lagi Motley Crue. Walau saya masih sangsi. Motley Crue masih akan tetap ada selama mereka masih butuh uang.

Meski akhirnya Motley Crue benar-benar bubar, saya yakin mereka dan album Dr. Feelgood akan terus dikenang. Hingga 10, 20 tahun, bahkan hingga 50 tahun lagi. Siapa yang tahu.

Apalagi jika kamu menyempatkan diri melongok fanspage Nikki Sixx dan mengetahui fakta bahwa banyak sekali anak-anak usia 9 hingga 10 tahun ikut diajak menonton konser Motley Crue oleh orang tuanya. Wajah anak-anak itu girang sekali. Seperti jatuh cinta pada musik untuk pertama kalinya. Sama seperti saya saat mendengar lagu “Dr. Feelgood” pertama kali dan memaki kalau lagu ini brengsek betul.

Penggemar musik selalu beregenerasi. Itu kenapa musik yang baik, termasuk Dr. Feelgood, tak akan pernah mati. []

Pasta dan Sekian Kemungkinan

$
0
0

Saya suka memasak. Bawaan sejak kecil melihat Mamak yang punya usaha katering. Berbeda dengannya, skill saya tak bagus-bagus amat.

Saya belum bisa memasak makanan Indonesia. Terutama mereka yang punya banyak bumbu dan ribet prosesnya. Saya akan angkat tangan kalau disuruh masak rawon, misalkan. Salah-salah saya tak memasak dengan benar, membuat sianida keluar dari keluwak, kemudian membunuh semua orang yang makan. Eh, sudah tahu kan kalau keluwak itu mengandung sianida dan bisa jadi beracun kalau tak dimasak dengan benar?

Mengerikan.

Saya juga tak bisa masak sop buntut, soto banjar, kare ayam, daging ungkep, dan aneka ria masakan andalan mamak. Saya menjunjung tinggi masakan Indonesia yang kompleks dan membutuhkan banyak kesabaran. Tapi kemampuan saya belum sampai sana.

Maka saya melarikan diri ke masakan Italia. Sebagian besar masakan Italia yang saya tahu cukup simpel cara memasaknya. Bumbunya tak neko-neko. Tentu ada masakan Italia yang kompleks, baik cara memasak maupun bumbunya. Timpani, misalkan.

Dari semua masakan Italia, saya suka memasak pasta. Alasannya karena pasta mudah didapat. Beda dengan pizza yang harus membuat adonan lebih dulu. Pasta kering lebih praktis.

Selain itu, pasta adalah masakan yang sangat fleksibel. Kamu bisa memasak pasta dengan apa saja. Daging, udang, cumi, ayam, tomat, basil, oregano. Bahkan kamu bisa memasak pasta yang enak hanya dengan bermodal cacahan bawang putih, garam, merica, dan taburan bubuk cabai. Sesederhana itu.

Tapi jangan salah. Pasta memberikan ruang yang teramat luas untuk improvisasi. Pasta bisa memberikan kejutan dan kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas.

Beberapa waktu lalu, Jaki mengabari saya tentang kompetisi masak dan resepnya ditaruh di blog. Hadiahnya mentereng: pergi ke Frankfurt Book Fair dan melakukan demo masak di sana. Salah satu ketentuan dalam lomba itu adalah memadukan antara masakan barat dan timur, juga ada unsur sambal.

Tepat di sana, pasta menghadirkan banyak kemungkinan.

Saya membayangkan akan memasak fusilli sambal matah dengan udang. Nama internasionalnya sudah saya reka: Shrimp Fusilli with Sambal Matah. Ini adalah perpaduan antara barat dan timur yang sangat cantik. Barat diwakili dengan pasta dan aneka rempah Mediterania. Timur diwakili dengan sambal matah khas Bali. Pengikatnya adalah udang, yang bisa menjadi simbol bahwa negara kita kaya akan hasil laut.

Tsaaaaah.

Saya tinggal menyiapkan beberapa ekor udang. Membuang kulitnya. Jangan buang kepalanya, bisa untuk bahan kaldu dan menambah kekayaan rasa pasta. Udang cukup di pan sear sebentar saja. Agar tak alot. Cukup membuat udang berubah warna menjadi merah menggoda.

Fusilli yang akan saya pilih adalah tipe bucati, yang bentuk silindernya lebih rapat, nyaris membuatnya seperti tabung. Bentuk fusilli bucati ini bisa menyimpan kaldu dan sambal di dalam. Menjanjikan rasa yang terikat lebih kuat. Tentu tortelloni bisa lebih kuat mengikat rasa. Apa boleh buat, saya belum bisa membuatnya. Eits, lagi pula saya memasak pasta kan atas nama keringkasan.

Selagi menunggu fusilli matang, saya akan mengiris tipis bawang merah, bawang putih, cabai rawit, juga serai. Jangan lupa bakar sedikit terasi untuk kemudian dicampurkan. Sentuhan akhir untuk sambal adalah sedikit kucuran jeruk nipis, atau lemon.

Tapi saya akan mengambil pendekatan berbeda dengan sambal matahnya.

Di keluarga saya, sambal matah tidak cukup hanya disiram minyak panas. Tapi juga digoreng. Tak perlu lama. Cukup agar cabai mengeluarkan minyak. Sambal matah yang digoreng akan mengeluarkan rasa pedas yang lebih menggigit, juga menguarkan harum citrus dari serai. Namun karena waktu gorengnya tak lama, semua komponennya masih menyisakan tekstur mentah yang menjadi syarat wajib sambal matah.

Setelah pasta matang, sisihkan. Mulai tumis udang. Tunggu sampai kemerahan. Masukkan sambal matah. Kemudian masukkan fusilli. Aduk sebentar. Tunggu hingga wangi mulai teruar di udara, matikan kompor.

Sajikan dan santap selagi hangat.

Tapi saya tak jadi masak itu. Pun tak jadi ikut lomba bergengsi itu. Saya cukup tahu diri.

Tapi batalnya ikut lomba tak membuat saya berhenti masak pasta. Kapan hari saat mampir ke Pasar Tebet, saya beli jamur kuping seperempat kilogram. Saya sempat membuat steak saus jamur untuk Rani. Kemudian membuat fusilli dengan saus krim jamur.

Sekitar seminggu lalu kami berdua kelaparan tengah malam. Saya memasak fusilli lagi, stok terakhir. Daging cincang dan jamur sudah habis. Tinggal bacon saja.

Maka saya iris bacon kecil-kecil. Lalu tumis beserta bawang bombay dan cabai kering. Masukkan susu. Beri parutan keju. Kasih kaldu sapi. Kemudian masukkan trivumviraat Mediterania: oregano, basil, dan rosemary (boleh diganti dengan thyme, tentu saja). Tunggu sampai saus mengental. Taburi garam, merica, dan juga perasan lemon. Matikan kompor agar lemon tak membuat saus jadi pahit.

Campur fusilli dengan saus. Selesai. Makan selagi hangat dan perut lapar.

Berkali-kali masak pasta, ternyata pasta saya hasilnya lumayan enak. Selalu al dente, dan rasanya pun pas. Karena keberhasilan singkat itu, saya sempat tinggi hati dan mikir aneh-aneh.

“Yang, gimana kalau aku jadi chef?”

Saya membayangkan jadi chef rasanya asyik juga. Tentu berat. Saya sudah membaca buku Marco Pierre White dan beberapa buku tentang beratnya kerja di dapur. Tapi bukankah menyenangkan bekerja di bidang yang disukai?

Rani hanya memandang saya. Ia kekenyangan dan tampak mulai mengantuk. Istri saya ini tahu kalau saya suka melantur dan mikir macam-macam. Tapi toh ia tetap meladeni saya. Ia menjelaskan kalau jadi chef perlu waktu yang lama. Harus mulai merintis dari bawah. Belum tentu saya sabar. Apalagi saya sama sekali tidak punya dasar ilmu memasak. Itu akan menambah panjang jalan menuju chef.

Ia sama sekali tak melarang saya untuk menjadi juru masak. Hanya memberikan pendapat yang logis. Setelah saya pikir, pendapatnya benar.

“Sementara ini kamu cukup jadi chef pribadiku aja lah,” katanya sembari menguap.

Saya setuju. Jadi chef pribadi untuk istri tentu bukan pilihan yang buruk. []

Senjakala Pangkas Rambut Tua

$
0
0

“Sepurane, aku siktas mulih soko omah.”

Seorang lelaki tua bergegas menaiki tangga. Ia baru saja minta maaf karena beberapa orang pelanggannya menunggu lumayan lama. Katanya, ia baru saja pulang ke rumahnya, di perbatasan Surabaya-Sidoarjo.

Pelanggannya tak ada yang memasang muka masam. Semua tersenyum dengan polah Bing Kok, lelaki tua itu.

Dengan gesit, Kok yang pagi itu memakai celana bahan dan kaos kerah langsung mengambil gunting. Giliran pertama adalah seorang lelaki tua yang rambutnya sudah putih semua. Setelah dipasang kep (kain penutup badan), sang tamu mulai dipangkas rambutnya. Beberapa detik kemudian, sang tamu terlelap. Kok meneruskan pekerjaannya dengan tenang, berupaya tak membangunkan si pelanggan.

Tak berapa lama, datang seorang tamu lagi. Sama seperti pria yang sedang dipangkas, umurnya sudah uzur. Ia bahkan harus dipapah kala menaiki tangga menuju lantai dua tempat pangkas rambut ini.

“Saiki piro potong rambut?” tanya si tamu.

“Sak paket pekgo,” kata Kok.

Satu paket seharga Rp 150 ribu ini terdiri dari empat layanan. Potong rambut, cuci muka dan pangkas jenggot, korek kuping, dan styling.

“Wah kelarangen,” balas si tamu sambil ngeloyor pergi. Terlalu mahal, ujarnya.

Bing Kok adalah generasi kedua tempat pangkas rambut Shin Hua. Ini adalah tempat pangkas rambut tertua di Surabaya. Sudah berdiri sejak 1911. Pendirinya adalah Tan Sin Jo, ayah Bing Kok. Sejak awal berdiri hingga sekarang, tempatnya tak pernah berpindah, di sebuah bangunan tiga lantai di Kembang Jepun.

N13_6773

Di bagian bawah, dulu ditempati toko-toko kelontong. Waktu berderap, toko kelontong tak bisa bertahan melawan serbuan mini market. Mereka tutup. Lantai bawah kini kosong. Hanya saja, di depan gedung, keponakan Kok membuka kios rokok kecil yang juga menjual aneka minuman dingin. Lantai dua dipakai untuk kios potong rambut, sekaligus dapur. Lantai ketiga dijadikan tempat tinggal Kok.

“Dulu di atas itu banyak muridnya ayahku. Tinggal di atas, kayak asrama wis,” ujar Kok membuka percakapan.

Di masa kejayaannya, Shin Hua –bahasa Mandarin yang artinya “baru mekar”– bisa melayani seratusan orang setiap harinya.

Tan Sin Jo juga menjadi guru bagi beberapa murid yang datang dari luar kota. Para murid itu diharuskan magang selama tiga tahun terlebih dahulu. Selama masa magang itu, para murid tak boleh memotong rambut. Hanya menyimak dan memperhatikan Sin Jo memangkas rambut.

“Selama magang itu mereka gak dibayar. Tapi mangan karo turu ditanggung,” kata Kok.

Lucunya, beberapa murid kerap tak sabar hanya menonton. Jadilah mereka mulai bereksperimen. Tapi siapa yang mau dipangkas oleh tukang pangkas yang sama sekali belum punya pengalaman? Jelas tak ada.

Karena itu mereka kerap memaksa seorang tukang penjual onde-onde langganan Shin Hua. “Kalo ndak mau, sampai dikasih duit biar mau dipotong rambutnya,” kata Kok tertawa.

Saya datang bersama Ayos siang itu. Sebelumnya Ayos sudah beberapa kali datang ke Shin Hua, karena itu ia sudah akrab dengan Bin Kok. Namun kali ini Ayos ingin mencoba dipangkas rambutnya.

“Gaya opo?” kata Kok.

“Terserah wis.”

“Gaya Bong Dao ya?”

“Hah? Gaya opo iku?” kata Ayos tertawa dan heran mendengar nama gaya yang asing itu.

Tapi toh ia menurut saja dengan Kok. Maka mulailah Kok memangkas rambut Ayos. Tangannya lincah. Sama sekali tak ada gerakan yang tak perlu. Tak menandakan usia yang sudah lanjut. Setelah selesai, ternyata gaya Bong Dao nyaris mirip dengan gaya undercut ala generasi milenium. Bagian pinggir dan belakang dipangkas tipis, tapi masih menyisakan rambut bagian tengah.

Bing Kok mengingatkan saya tentang usaha pangkas rambut yang dijalankan oleh kaum peranakan Tionghoa. Selama ini, terutama di Pulau Jawa, pangkas rambut kerap diasosiasikan dengan dua daerah: Madura dan Garut.

Sejarah tukang pangkas rambut dari Madura berawal dari konflik antara Trunojoyo dan Amangkurat II yang terjadi pada medio 1677. Dalam jurnal berjudul Agama, Migrasi dan Orang Madura, Muhamad Syamsuddin menuliskan bahwa akibat konflik itu, banyak orang Madura yang melarikan diri, tersebar ke berbagai daerah, dan enggan kembali ke kampung halaman. Sejumlah penduduk yang lain bermigrasi karena kondisi geografis Madura yang gersang. Para imigran dari Madura lantas banyak bekerja di sektor informal.

Beberapa foto dari lembaga KITLV dan Royal Netherland Institute of Southeast Asia and Caribbean Studies berpenanda waktu 1911 dan 1920 juga menujukkan orang-orang Madura yang mempunyai usaha pangkas rambut di Surabaya.

Sedangkan Garut, banyak warganya menjadi tukang pangkas rambut sejak pemberontakan DI/TII. Dalam kurun 1949 hingga 1950, ada banyak warga Garut yang mengungsi. Untuk menyambung hidup, mereka bekerja di sektor informal. Salah satu yang paling banyak peminatnya adalah pekerjaan pemangkas rambut. Kini, menurut data Paguyuban Warga Asal Garut di Jakarta dan Sekitarnya, ada sekitar 15 ribu tukang pangkas rambut asal Garut.

Selain warga Madura dan Garut, warga peranakan juga banyak bekerja sebagai tukang potong rambut. Ini terkait juga dengan kebijakan diskriminatif terhadap warga keturunan Tiongkok. Mereka tak bisa bekerja di sektor formal. Tak boleh jadi polisi, tentara, juga pegawai negeri. Hanya sektor informal yang tersisa bagi mereka. Maka kaum peranakan berjualan makanan, membuka usaha dagang, membuka warung kopi, juga menjadi tukang pangkas rambut.

Penulis Haryoto Kunto dalam buku Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, pernah menulis bahwa sudah sejak lama orang keturunan Tiongkok menjalani profesi sebagai pemangkas rambut. Sedikit berbeda dengan pangkas rambut mazhab Madura atau Garut, mereka juga memberikan layanan korek kuping. Alatnya dinamakan kili-kili.

Shin Hua masih menyediakan layanan korek kuping itu. Tarifnya Rp 50 ribu. Peralatannya sedikit menyeramkan. Mengingatkan pada perangkat penyiksaan milik Nazi. Ada yang berbulu, ada yang berupa besi pipih dengan ujung bengkok.

N13_6764

“Iki gak semua orang bisa korek kuping. Ada teknik tersendiri lho,” kata Kok sembari tertawa.

Kalau Ayos ingin dipangkas rambutnya, saya penasaran ingin mencoba layanan korek kuping Shin Hua. Setelah selesai memangkas rambut Ayos, Kok menyilahkan saya duduk di kursi hidrolik berbantal hijau. Kemudian Kok menyalakan lampu dan diarahkan ke kuping saya.

“Ketok ta Om?”

“Tenang ae rek, motoko sik tajem.”

Kok mulai memasukkan korek kuping berbahan besi itu. Mengorek bagian dalam telinga. Lalu mengeluarkan kotoran kuping, dan diusapkan ke kain lap. Begitu seterusnya. Puncaknya, Kok memasukkan korek kuping berbulu yang membuat saya menggelinjang kegelian.

Layanan korek kuping tak hanya ada di Shin Hua. Tempat pangkas rambut Ko Tang juga menyediakan layanan yang sama, dengan peralatan yang juga sama. Ko Tang juga tempat pangkas rambut kuno mazhab Tiongkok, sudah berdiri di kawasan Glodok, Jakarta Pusat, sejak 1936.

Menuju Ko Tang, para pelanggan harus melewati riuh Gang Gloria yang begitu hidup. Ada banyak penjual makanan di kanan kiri gang. Letak Ko Tang hanya berjarak dua toko dari kedai kopi legendaris Tak Kie.

11115731_10203607439539586_1328622729834106474_n

Sama seperti di Shin Hua, tak banyak yang menguasai ilmu korek kuping di Ko Tang. Hanya ada tiga orang pekerja di sana yang bisa melakukannya. Peralatan korek kuping di Ko Tang tak jauh berbeda dengan Shin Hua. Selain pangkas rambut dan korek kuping, Ko Tang juga melayani cuci rambut dan semir rambut.

Saya pernah mencoba potong rambut di sana. Dulu sewaktu jaya, ada banyak tukang pangkas rambut di Ko Tang. Kini tersisa tiga saja. Ada Pi Cis yang kalem, berambut gaya pinggir dan selalu klimis; A Pauw yang berbadan subur dan berambut gundul, serta Ji Sin, yang paling senior di Ko Tang.

Kalau keramas, ada dua orang pekerja perempuan yang akan melayani. Kalau keramas, pelanggan akan dibawa duduk di depan wastafel. Sang pekerja akan menundukkan kepalamu, lalu mulai membilas rambut. Memberi shampoo, kemudian memijat, dan dibilas lagi. Diulang hingga dua kali. Sepertinya pijatnya memakai teknik khusus. Kepala jadi ringan setelah keramas di sana.

10433094_10203607439659589_7631549102068145117_n

Ada yang menarik di Ko Tang: Om Ji Sin ternyata pernah bekerja di Shin Hua sewaktu masih muda dulu.

“Waktu aku kerja di sana, si Kok itu masih kecil, masih sekolah,” kata Om Jin, begitu saya memanggilnya. Ia cukup senang sewaktu saya mengabarkan kalau Om Bin Kok masih sehat dan meneruskan usaha sang ayah.

Baik Shin Hua maupun Ko Tang punya masalah yang sama. Para pelanggannya kebanyakan berusia uzur. Jarang sekali ada anak muda yang mau memangkas rambutnya di tempat pangkas rambut tradisional seperti Shin Hua atau Ko Tang.

Di Shin Hua, masa jaya sudah tinggal kenangan. Tak ada lagi seratusan pelanggan tiap hari. Kini lima atau enam orang pelanggan saja sudah bagus.

“Di Ko Tang juga begitu. Sekarang ada 10 pelanggan saja sudah masuk hitungan ramai,” ujar Pi Cis.

Selain itu, dua tempat pangkas rambut legendaris ini juga punya masalah lain: regenerasi. Bin Kok sudah berumur 66 tahun. Para tukang pangkas di Ko Tang rata-rata berumur 70-an tahun. Sama sekali tak ada yang muda.

“Di sini semua tua mas. Mulai dari tukang potong sampe televisinya pun tua,” canda seorang pembilas rambut di Ko Tang.

Bin Kok sebenarnya punya seorang anak lelaki yang meneruskan profesinya. Tapi ia tak mau meneruskan Shin Hua. “Dia lebih milih buka kios cukur di Sidoarjo, tapi sekarang lagi kena lumpur Lapindo,” kata Kok santai.

Baik Bing Kok maupun para tukang pangkas di Ko Tang menanggapi isu regenerasi ini dengan santai belaka. Bagi mereka, kalau usaha harus berhenti, ya sudahlah. Mereka menganggap zaman tak bisa dilawan.

“Yah palingan 10 tahun lagi tempat pangkas rambut ini sudah gak ada,” kata Pi Cis. []

Mencari Firdaus Kuliner Betawi

$
0
0

Sekitar dua pekan lalu, saya menyambangi Gramedia. Sudah lama sekali tak ke sana. Seperti biasa, rak pertama yang saya sambangi adalah rak buku kuliner. Dan seperti biasa pula, tak banyak pilihan di sana. Hanya ada buku resep, aneka jenis resep. Saya tak mendapati buku-buku kuliner yang menarik hati.

Saya rindu sekali dengan buku kuliner yang ditulis dengan naratif layaknya buku perjalanan dan ditulis personal laiknya buku harian.

Di belahan dunia lain (sebut saja Barat), ada banyak sekali chef, jurnalis, penulis, hingga akademisi yang menulis buku kuliner. Bahkan buku kuliner rasanya menjadi genre tersendiri. Karyanya beragam bentuk. Mulai dari pelacakan sejarah, catatan personal, hingga memoar.

Anthony Bourdain, misalkan. Chef terkenal ini menulis banyak buku kuliner. Mulai yang paling terkenal, Kitchen Confidential, hingga The Nasty Bits (yang kebetulan saya dapat di sebuah toko buku bekas di Blok M).

Ada pula Marco Pierre White yang menulis memoar tentang prosesnya menjadi chef legendaris –dia satu-satunya orang di dunia ini yang bisa membuat Gordon Ramsay menangis, selain ibunya tentu saja. David Gentilcore secara spesifik menulis tentang sejarah tomat di kuliner Italia. Kemudian duet Jeffrey Alford dan Naomy Duguid yang menelusuri kuliner di Asia Tenggara, Michael Ruhlman yang menulis buku tentang kehidupan di sekolah kuliner bergengsi, Culinary Institue of America; hingga Madhur Jaffrey yang menulis kisah personal masa kanak-kanaknya di India dalam Climbing the Mango Trees. Si Jerry Hopkins, penulis biografi Jim Morrison, pun menulis buku Extreme Cuisine: The Weird & Wonderful Foods that People Eat, sebuah buku tentang kuliner ekstrim di seluruh dunia.

Tapi kerinduan saya sedikit terobati dengan buku Bondan Winarno, 100 Mak Nyus Jakarta. Tanpa pikir panjang, saya ambil buku ini. Bisa dibilang, buku ini adalah oase di tengah gersangnya buku kuliner di Indonesia. Entah kenapa, sedikit sekali buku kuliner non resep di Indonesia. Saya pernah membeli buku kuliner nusantara terbitan Lentera Timur. Cukup menarik, sayang tidak dikemas dengan baik dan tak diedarkan secara luas. Buku kuliner Indonesia terakhir yang saya baca –dan saya suka sekali– adalah Monggo Mampir, yang bertutur tentang tempat makan legendaris di Yogyakarta. Penulisnya adalah Syafaruddin Murbawono.

Buku 100 Mak Nyus Jakarta bisa dibilang adalah sekuel dari buku pertama, 100 Kuliner Mak Nyus. Kalau di buku pertama Bondan menuliskan tentang makanan pilihan di Indonesia, di buku kedua ini lingkupnya diperingkas: Jakarta.

Karena membawa kata “Jakarta”, tentu hidangannya akan sangat beragam. Terlebih, ibu kota negara ini adalah salad bowl berbagai kebudayaan. Nyaris semua makanan Indonesia ada di Jakarta. Tentu hidangan utama buku kuliner ini adalah masakan Betawi, tuan rumah di Jakarta.

Di buku ini, Bondan kembali menampilkan kelasnya sebagai penulis ciamik, tidak sekadar pelahap makanan kelas wahid. Bondan jelas punya pijakan yang kuat dalam menuliskan buku ini. Sebelum terkenal sebagai ahli kuliner, ia lebih dulu sohor sebagai wartawan investigatif.

Bukunya Bre X, Sebungkah Emas di Kaki Pelangi masih menjadi rujukan karya investigatif di Indonesia. Pria kelahiran Surabaya ini juga handal sebagai kolumnis. Kolomnya tersebar di berbagai media. Mulai dari Kompas, Tempo, hingga Suara Pembaruan. Kolomnya tentang perjalanan dan makan-makan di Kompas Cyber Media dan Suara Pembaruan Minggu kemudian dijadikan buku berjudul Jalansutra. Tulisan Bondan selalu menyenangkan untuk dibaca. Cair, lugas, dan tak lupa menyisipkan humor segar di sana-sini.

Di buku ini, Bondan sama sekali tak kehilangan cirinya. Ia menjadi pemburu makanan yang tekun, rela mencari hingga gang sempit. Bahkan ia rela mencari sayur babanci, makanan khas Betawi yang ia sebut dengan nada sedih, “…punah dari lembaga kuliner komersial –bahkan di tanah kelahirannya sendiri.”

Bondan juga berhasil menjadi sejarawan kuliner partikelir dengan melacak asal usul berbagai makanan Betawi. Dari prosesi nyorog, hingga dugaan asal nama sayur babanci.

Sebagai penulis kuliner, Bondan sangat kuat dalam menuturkan deskripsi. Ranah
food writing memang sangat mengandalkan deskripsi. Simak kalimat mak nyus Bondan yang menggambarkan tentang sayur telur terubuk dalam makanan sayur besan:

Anda tidak akan pernah dapat melupakan sensai telur terubuk itu sirna pelan-pelan di mulut anda dalam kuah santan beraroma petai yang begitu indah.

Sebagai hidangan pendamping, buku ini juga menghadirkan aneka makanan
Nusantara yang ada di Jakarta. Dari makanan Aceh, Sumatera Utara, Jambi,
Bangka Belitung, hingga yang sedikit langka di Jakarta: kuliner Maluku dan Papua. Tambahan menariknya adalah Bondan juga menyertakan resep masakan yang ia tulis. Beberapa resep konon ia dapat dari tempat makan yang ia sambangi.

Setelah rampung membaca buku ini, muncul perasaan gregetan. Sejauh ini, Bondan adalah satu-satunya penulis buku kuliner yang mumpuni di Indonesia. Sayang sekali belum ada sekondannya yang meluncurkan buku. Padahal ada banyak juru masak handal di Indonesia. Dari generasi Sisca Soewitomo hingga Marinka. Mulai William Wongso, hingga Rahung Nasution. Cerita mereka di dunia kuliner tentu akan sangat menarik kalau ditulis. Tapi kenapa hingga sekarang belum ada karya tulis mereka? Entahlah.

Buku ini sangat layak untuk dikoleksi karena isinya yang informatif dan juga segar. Kalau ada nilai minusnya, itu adalah –tanpa mengurangi rasa hormat — hadirnya dua penulis tamu, Lidia Tanod dan Harry Nazarudin.

Secara pengetahuan kuliner, mungkin mereka setara dengan Bondan. Namun perbandingannya terasa timpang jika bicara teknik penulisan. Karena ditulis oleh tiga orang penulis berbeda, ritme penulisannya terasa tidak stabil.

Tapi di tengah sedikitnya rujukan tentang kuliner Indonesia, apalagi kuliner Betawi,
buku ini layak diambil dari rak di toko buku terdekat anda. []


GRIBS x Gigantor

$
0
0

“Udah lama gak maen seseneng ini. Dikelilingi teman dan saudara.”

Saya duduk berhadapan dengan Rezanov kemarin malam, di Ecobar, Kemang, Jakarta Selatan. Malam itu ia sedang punya hajat lumayan besar: reuni dengan personel pertama GRIBS.

Semula, GRIBS adalah singkatan dari Gondrong Kribo Bersaudara. Memainkan singkatan kata, mungkin terinspirasi Elpamas (Elek Elek Pandaan Mas) atau AKA (Apotik Kali Asin). Selepas mengeluarkan album pertama pada 2009 –dan menjadi salah satu album lokal terbaik versi Rolling Stone Indonesia– GRIBS hiatus. Kemudian saya mendapat kabar kalau Rezanov ditinggal tiga saudaranya, Dion, Arif, dan Rashta. Rezanov sendirian, limbung.

Tapi ia memang pejuang, sama seperti lagu dalam album pertamanya. “Sekali kau lakukan berarti tak bisa kembali. Pejuang kan selalu sendiri.”

Ia tak hendak menyerah. Maka ia mulai bergerilya mencari kompatriot lain. Di sela mencari rekan baru, pria kelahiran Blitar itu menjadi vokalis tamu untuk beberapa band. Dari Abad, Violet Jessica bersama Baron eks Gigi, hingga Yockie Suryo Prayogo & Friends, bersama Yockie dan Eet Sjahranie, keduanya mantan personel God Bless.

Setelah melakukan pencarian, ia tertambat pada Eben Andreas, gitaris yang sudah lebih dulu dikenal sebagai virtuoso dan aktif dalam komunitas musik metal Jepang. Gaharaiden dan Hugo kemudian menyusul di departemen drum dan bass. Nama tetap GRIBS, tapi mereka tak lagi bersaudara. Kecuali sedarah dalam musik rock.

Mereka masuk studio dan berhasil mengeluarkan album kedua berjudul Thunder. Ada perbedaan lumayan besar di album ini. Musiknya lebih trengginas. Besar kemungkinan pengaruh dari Eben dan Hugo. Album ini juga menampilkan musik GRIBS dalam spektrum yang lebih luas. Ada sedikit unsur thrash dan hardcore ketika Arian 13 didapuk jadi vokalis tamu di “Sampai Jumpa di Neraka”. Juga pengaruh opera rock dalam “Istana Ilusi” yang sangat menghantui itu.

Ihwal reuni ini adalah saat mantan Ryan AR, mantan manajer GRIBS, terbaring sakit sejak setahun lalu. “Dia yang bawa GRIBS ke mana-mana,” kata Rezanov.

Maka para personel awal GRIBS kembali berkumpul dan melakukan jam session. Ternyata masih ada chemistry. Mereka mengajak serta Gigantor, band beraroma hardcore dan thrash yang juga dimanajeri Ryan. Kebetulan Gigantor juga sudah lama tidak manggung, terakhir pada 2013, tolong ingatkan saya jika salah.

“Waktu kami tunjukkan foto kami bersembilan, Ryan menangis,” ujar Rezanov lagi.

Maka malam itu Ecobar terbakar. Tempat yang sedikit sempit sama sekali bukan halangan untuk mengadakan moshpit. Bau keringat penonton bercampur dengan wangi cocktail seharga ratusan ribu. Para penonton menirukan gerakan menyembah saat Dipo Gigantor menyayat fret gitar dengan cepat. Juga bernyanyi bersama saat “Born to be Wild” dimainkan.

GRIBS tampil seusai Gigantor. Ini pertama kalinya saya menyaksikan GRIBS dalam formasi awal. Hadirnya Dion (gitar), Arief (bass), dan Rashta (drum) membawa pada kenangan saat pertama kali mendengar album perdana GRIBS.

Ada kenaifan dan keluguan yang jujur serta menyenangkan. Tipikal band rock yang tak peduli masa depan, yang penting tetap memanjangkan rambut dan main musik tiap hari.  Kehidupan macam itu banyak dituangkan di lagu album pertama. Coba dengar “Rocker” yang di satu sisi terdengar klise (dengan kalimat yang paling sering diucapkan di ranah rock: rock n roll musikku, rock n roll hidupku), tapi di sisi lain menghadirkan kepolosan dan semangat anak muda yang berkobar bukan main.

Atau “Rock Bersatu” yang sebenarnya layak menjadi lagu kebangsaan makmum rock di abad 21. Saat “…ini gawat, sudah parah. Generasi di ambang kehancuran. Hanya ada satu jalan, kepada rock kami percaya. Lagu cinta, putus asa, generasi dalam bahaya. Wahai ibu, dengar kami: biarkan anakmu dengar lagu ini...” menjadi bahan bakar utama lirik, maka itu tanda munculnya kembali rock yang tanpa tedeng aling-aling.

Bagaimana tidak, Rezanov dan sekondannya percaya bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan musik rock. Semangat ini sukar dicari padanannya sejak Kurt Cobain menembak kepalanya sendiri dan secara tidak resmi mengakhiri era kejayaan musik rock.

Cara GRIBS menulis lirik dan membuat musik mengingatkan saya pada Slank saat baru terbentuk dan Bimbim muda masih menulis lirik dengan slengean. Album perdana yang penuh gairah dan gelora masa muda itu mustahil diulang.

Rezanov kini sudah banyak berubah. Ia masih berambut panjang dan selalu maksimal saat tampil. Tapi kini ia membiarkan kumisnya tumbuh. Ia juga bekerja kantoran, di sebuah perusahaan periklanan, sesuai dengan jurusan ketika kuliah. Mungkin sekarang ia sadar bahwa hidup tak semudah di lagu “Rocker”, juga tak melulu menarik seperti di “Rock Bersatu”.

Saya tak menganggap itu sebagai kekalahan. Justru itu adalah bentuk kedewasaan Rezanov yang mau berkompromi agar bandnya tetap jalan terus. Bekerja kantoran dan tetap bermusik adalah pilihan yang ideal, sekaligus berat. Ideal dalam arti masih bisa bertahan hidup sebagai pekerja, dan masih tetap membuat musik yang ia sukai. Anggapan kalau rocker haruslah terus-terusan pesta dan mabuk adalah ide purba, usang. Layak masuk tong sampah. Lagipula musik rock adalah musik kaum pekerja.

Saya yakin, Rezanov tetap seorang pejuang, sama seperti waktu ia berjuang sendirian mengibarkan panji GRIBS. Kalau dulu semasa susah ia tak membubarkan GRIBS, ia jelas tak akan melakukannya sekarang hanya karena ia bekerja kantoran.

Semangat Rezanov toh masih tetap menyala. Ia membuktikannya dengan tampil sangat lepas kemarin malam. Seperti bermain di depan keluarga sendiri. Pria yang besar di Malang ini mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Mampu menggapai nada-nada tinggi dengan mudah, dan menampilkan teriakan panjang yang sukar ditandingi. Beberapa waktu lalu saat GRIBS tampil di At America, suaranya seperti tertahan dan tak maksimal. Tak hanya Reza, semua personel juga tampil dengan semangat bersenang-senang.

“Demi tampil malam ini, gue bela-belain pakai legging lagi. Gak enak, anjing!” kata Arief sembari tertawa.

Lagu pertama yang dimainkan oleh GRIBS membuat saya melonjak kegirangan: “Sang Peramal”. Siapa pula yang tak girang ketika mendengar lagu rock dengan tema peramal, bola kristal, jalan penuh marabahaya, dan siluman ular merah. Seperti membawa kembali kisah kejayaan George Rudy dan Barry Prima saat bermain di film Nyi Blorong atau Siluman Serigala Putih.

Semalam lebih banyak lagu dari album pertama yang dimainkan. “Rocker”, “Gadis Serigala”, “Sinetron Indonesia” dan tentu saja “Rock Bersatu”. Tentu saja ada lagu-lagu dari album kedua. “Hot Lenny” yang kenes, “Rock Akhir Jaman” yang merupakan reinkarnasi dari “Rock Bersatu”, dan tentu saja “Laki-Laki”, sebuah lagu ballad yang seperti anak kandung “What Keeps Me Loving You” serta “House of Broken Love”.

Di akhir, GRIBS berkolaborasi dengan Gigantor. Membawakan beberapa lagu rock klasik. Saya sudah lupa apa saja yang mereka bawakan. Hanya satu yang nyantol di ingatan: “Rock Bergema” yang dibawakan dengan ugal-ugalan. Acara tidak sampai pagi. Tak ada encore.

“Besok pada kerja woy,” kata Reza, tertawa. Sama sekali tak ada nada getir di sana.

Saya juga turut tertawa mengingat besok masih harus pergi ke kantor dan menembus kemacetan. Iya, hidup memang tidak semudah dan semenarik lagu-lagu rock. []

Kin Ping Meh, Duran Duran, dan Gargoyle

$
0
0

Saya menengok jam. Sudah pukul 1 dini hari. Saya sedang kebagian mengerjakan laporan utama untuk kerjaan. Dua tulisan. Satu sudah saya rampungkan sedari sore. Satu masih sedang saya tulis.

Seperti biasa, laiknya penderita ODHD, saya susah sekali fokus. Kerjaan baru digarap separuh, sudah asyik mengerjakan hal lain. Misalkan sibuk mendaftar sebagai member di restoran waralaba terkenal, hanya untuk mendapatkan salah satu produknya dengan gratis. Padahal pagi nanti saya harus terbang ke Palembang, kemudian lanjut jalur darat menuju Jambi. Echa, adik ipar saya, akan menikah hari Sabtu. Rani sudah berangkat duluan kemarin pagi.

Di sela kemalasan menyelesaikan laporan utama, saya mengoprek lagi banyak lagu Duran Duran. Entah kenapa bisa nyasar ke band itu. Biarlah. Saya kemudian menekuri lagi “Come Undone” yang kelam sekaligus genit. Juga mengagumi bass line “Girls on Film” yang begitu menggairahkan. Tentu juga sedikit tergagap saat mendengarkan “Ordinary World” yang seakan mengekalkan fatwa Chairil Anwar: nasib adalah kesunyian masing-masing. Tak usah cengeng dan banyak mengeluh, mungkin begitu petuah Simon Le Bon.

Mas Aguk, tenaga tata letak majalah, nampaknya juga mengalami kejumudan yang sama. Ia bangkit dari kursinya. Menanyakan cara mengunduh lagu dalam format Mp3. Saya terangkan dan beri beberapa referensi web untuk mengunduh lagu.

“Ono lagu Kin Ping Meh?”

“Hah? Uopo iku?”

Saya baru kali ini mendengar nama Kin Ping Meh. Setelah saya Googling, barulah saya mendapat sedikit info tentang band ini. Iya hanya sedikit. Bahkan Wikipedia tak bisa bercerocos banyak tentang band asal Jerman yang aktif di dekade 70-an ini. Setelah saya dengar lagunya, band dengan nama rodo gak juwelas ini ternyata memainkan prog rock dan sudah punya lumayan banyak album.

Selera musik Mas Aguk ternyata cukup mengagumkan. Ia tadi menyebutkan Saga, sebuah nama band prog rock. Saya tak tahu menahu, tentu saja.

“Kalau Marillion?” tanyanya.

Saya nyengir. Cuma pernah dengar nama, tak tertarik untuk mendengarkan lagunya.

Setelah ngobrol tujuh atau delapan menit, Mas Aguk kembali ke kursinya. Saya sempat melongok meja kerjanya. Ia sedang memutar beberapa lagu prog rock dari dekade 70-an. Jam segini adalah waktu bebas memutar musik favoritnya. Biasanya di jam kantor, ada Kang Zul yang lebih dominan dalam memutar musik. Sayang, selera musiknya tak begitu bagus, kalau tak mau menyebut agak memprihatinkan. Pernah suatu hari ia memutar lagu “Selamat Ulang Tahun” dari Jamrud, seharian. Benar-benar seharian jam kantor. Dari jam 10 pagi hingga sore hari. Dengan speaker yang lantang.

Setelah saya tanya ke orang kantor, tak ada yang ulang tahun hari itu. Entah kenapa lagu itu yang dipilih. Mas Aguk yang satu ruangan dengan Kang Zul cuma nyengir sambil geleng geleng kepala. Saya memahami rasa frustasinya.

Oh ya, saya mengetik tulisan tak jelas ini dengan laptop kantor yang sudah saya pakai sejak 1 tahun lalu. Laptop pribadi mengalami kerusakan baterai. Saya malas membawanya. Tak praktis sebab harus dicolok. Pun, belum ada dana untuk membeli baterai baru. Padahal semua koleksi lagu saya ada di sana dan saya terlalu malas untuk memindahkannya ke laptop kantor.

Jadilah sekarang saya membongkar folder, siapa tahu ada musik yang nyelip di tumpukan file Eva Lovia, Veronica Avluv, atau Ariella Ferrera. Ternyata memang benar ada: “Mata Angin”, dari grup heavy metal asal Yogyakarta, Gargoyle.

Dulu band itu adalah salah satu band favorit saya. Kenapa dulu? Karena sekarang mereka sudah tak aktif lagi. Saya bahkan pernah menulis singkat tentang band ini di Jakartabeat. Saya salin sebagian teksnya di bawah ini:

Heavy metal ala Gargoyle sungguh sangat menyenangkan. Dengan sound tipis ala musik hard rock circa 80-an, suara vokalis yang melengking tinggi, dan duel solo gitar bertaburan di sekujur lagu. Sesekali mereka menyelipkan lirik-lirik slengean dan kocak. Mendengarkan Gargoyle sedikit mengingatkan saya pada EdanE era Ecky Lamoh.

Saat almanak 2012 nyaris berakhir, mereka mengeluarkan album terbaru: Tanah Para Raja. Walaupun konsistensi mereka di jalur heavy metal sedikit dipertanyakan (jumlah lagu ballad dengan lagu kencang nyaris berimbang, di mana hal ini bisa membuat identitas musik Gargoyle sedikit membingungkan), tapi beberapa lagu tetap membuat saya terkesima. Selain itu yang membuat saya sedikit lega adalah, personel Gargoyle adalah anak-anak muda yang mengabaikan tren Post Rock atau Folk.

Salah satu lagu yang membuat saya jatuh cinta pada Gargoyle adalah “Mata Angin,” sebuah lagu heavy metal yang mengocok adrenaline. Lagu ini punya segala hal yang diperlukan dalam sebuah lagu heavy metal yang baik dan benar: ritme yang cepat dan menggugah semangat, dihiasi dengan lirik-lirik membakar, dan ini yang paling penting: duel solo gitar pada pertengahan lagu. Oh, betapa saya merindukan solo gitar, sesuatu yang sepertinya sudah layak dimasukkan museum barang langka.

Setiap saya mendengarkan lagu “Mata Angin,” saya tak bisa tidak tergugah. Menurut hemat saya, lagu ini hampir layak disandingkan dengan anthem EdanE, “Ikuti.” Saya berharap Gargoyle bisa menjadi besar dalam dunianya. Ia bisa jadi band heavy metal yang disegani. Namun dengan satu catatan: mereka harus tetap konsisten dengan jalurnya.

Selagi menunggu gebrakan mereka selanjutnya, simak track “Mata Angin” yang dapat diputar dan diunduh di sini. Selamat mendengarkan dan selamat terbakar!

Perasaan saya tidak berubah hingga sekarang. Setiap mendengar lagu itu, saya merasa terbakar sendirian. Apalagi dengan ajakan provokatif “…liar bersamaku dan kubawa ke mana kau mau.”

Sekarang saya sedang mendengarkan “Mata Angin” dengan volume 88 persen di laptop. Saya agak segan menyetelnya dengan volume maksimal, takut mengganggu penghuni bawah tangga kantor. Eh sudah tahu kan kalau kantor saya ada hantunya?

Oke, saya melantur terlalu jauh. Ini saatnya kembali kerja. []

Robohnya Warung Kami

$
0
0

Tadi siang tiba-tiba seorang kawan menawarkan spaghetti aglio olio. Kok tumben? Ternyata ada Putra datang ke kantor dan memasak spaghetti. Mukanya kusut macam kena bentak Kopassus. Tapi ia masih bisa ketawa ketiwi sedikit.

Ia datang tidak dengan tangan kosong. Melainkan dengan berbungkus-bungkus roti burger, beberapa plastik sosis ayam dan sapi, sekotak besar keju cheddar slice, sekitar dua bungkus spaghetti kering, sebotol basil, sebotol oregano, serta setengah botol minyak zaitun. Semua itu adalah stok makanan yang tersisa di warung Imaji milik Putra.

Iya, kabar buruk berhembus siang tadi: warung Putra gulung tikar.

Saya tercekat, walau sudah tahu hal ini akan terjadi. Sewaktu pertama kali datang ke warung miliknya, saya sudah menduga kalau Putra bakal menjalani pertarungan yang panjang dan berat.

Kisah tentang Putra sudah berkali-kali saya kisahkan, baik di blog atau di status Facebook. Saya salut dengannya yang berani mengambil keputusan terbilang nekat: keluar dari pekerjaan kantoran dan membuka warung. Di tengah masa ekonomi yang sulit seperti ini, berwirausaha adalah keberanian yang patut diberi tepuk tangan membahana.

Di siang yang gerah, ditemani beberapa gelas kopi dan berbatang rokok, saya dan Putra bercakap tentang apa yang membuat warungnya bangkrut. Saya akhirnya berani bicara blak-blakan.

“Menurutku, kamu tak efisien, terlalu boros di belanja awal.”

Bagaimana tidak. Putra membeli bahan-bahan terbaik. Untuk minyak, ia tak mau memakai minyak kelapa sawit, melainkan minyak zaitun. Sekadar informasi, sebotol minyak zaitun kemasan seperempat liter harganya bisa mencapai 70 ribu. Berkali lipat lebih mahal ketimbang minyak sawit.

Untuk pilihan bumbu dan rempah, ia gegabah. Basil misalkan, ia memilih merek Mc Cormick. Padahal ada beberapa merek yang lebih murah. Belum lagi pilihan keju red cheddar impor yang lebih mahal ketimbang cheddar merek lain.

“Gue masih terlalu kebawa sama pola pikir restoran bro,” katanya.

Memang sebelum balik ke Indonesia, Putra menghabiskan waktu selama 10 tahun bekerja di beberapa restoran di Malaysia. Ia pernah bekerja di restoran Lok Thian di Penang. Pernah juga jadi asisten chef di Magna Carta, Magenta, serta Alfresco Wine and Dine di Serawak.

“Gue gak tega misalkan pembeli makan pakai pisau, tapi garpunya yang murah.”

Saya menyengir pahit. Selain pilihan bahan, Putra terlalu boros dalam belanja peralatan. Ia tak mau membeli sendok garpu yang selusin Rp 15 ribu. Benar-benar sendok garpu dan pisau kualitas baik dengan harga berlipat lebih mahal.

Padahal Putra menjual makanannya dengan harga teramat murah. Untuk seporsi spaghetti bolognaise, misalkan. Ia hanya menjual Rp 15 ribu. Untuk spaghetti sea food hanya Rp 18 ribu. Macam mana bisa balik modal?

“Sebenernya harga murah pengen gue subsidi silang dengan jus, tapi gue emang salah perhitungan,” katanya.

Beberapa malam lalu, saya mengajak Putra ke Coffee Life, kafe milik Kak Rani, sepupu saya. Sewaktu ngobrol tentang warung Putra, Kak Rani kaget dengan harga yang dibanderol.

“Gak bakal masuk harga segitu,” kata Kak Rani.

Lokasi juga ikut menentukan. Warung Putra terletak di pinggir jalan Kalimalang, Bekasi. Kawasan itu kerap dilintasi truk besar yang membawa material pembangunan jalan tol. Debu banyak berterbangan. Membuat warungnya jadi kotor. Ukurannya pun tak besar. Hanya 1,5 meter X 1,5 meter. Hanya muat satu meja panjang yang bisa menampung 4 orang. Bahkan untuk memasak pun ia agak kesusahan.

Sasaran konsumen Putra adalah anak-anak sekolah dan peserta bimbingan belajar di sekitar sana. Itu artinya jam ramainya sangat terbatas. Berkisar di pulang sekolah, sore saat bimbingan belajar mulai dan malam saat pulang. Di luar jam itu, Putra harus mengandalkan random buyer, yang jelas tidak bisa diandalkan.

Belum lagi soal pilihan menu. Putra memang fokus pada masakan Western. Ia memasak pasta, sandwich, serta burger dengan baik. Sayang, pola konsumsi warga di sana –menurut Putra– belum terlalu memilih masakan Western. Dengan harga yang sama, pembeli bisa mendapat seporsi lalapan ayam goreng. Lebih kenyang ketimbang menyantap pasta yang belum dianggap jadi makanan utama di sini.

Terlepas dari faktor seperti belanja boros atau lokasi yang kurang baik, memang ekonomi sedang sulit. Tingkat konsumsi menurun drastis. Beberapa kali Mas Puthut EA, pemilik Angkringan Mojok, berkisah tentang warung dan restoran yang bertumbangan di Yogyakarta.

Mas Puthut memulai bisnis kulinernya saat membuka warung nasi pecel Mas Kali di Jalan Damai, Kaliurang. Setelah beberapa lama bertahan, restoran itu terpaksa tutup. Lalu haluan dialihkan. Menjadi warung ikan bakar dengan nama yang sama. Tetap tak bisa bertahan. Akhirnya Mas Puthut memilih membuka angkringan Mojok yang mengusung konsep modern dan cozy. Kali ini berhasil.

“Tapi warung-warung di Jalan Damai banyak yang nutup,” katanya.

Tak hanya di Jalan Damai. Kalau kamu tinggal di Yogyakarta, kamu akan bisa melihat betapa cepatnya sebuah lokasi berganti penghuni. Terutama di zona perang: Jalan Kaliurang dan sekitarnya.

Bulan ini dihuni oleh restoran Italia. Bisa jadi 3 atau 4 bulan lagi jadi restoran Sunda. Salah satu restoran bakmi yang sempat naik daun pernah membuka cabang di Jalan Kaliurang Kilometer  6. Hanya ramai di awal. Kemudian menyepi. Dan semakin sepi. Sekitar sebulan lalu saya menengoknya, lokasi restoran bakmi itu sudah berganti dengan restoran ayam bakar.

Hal yang sama juga terjadi di Jakarta. Kota ini memang tak pernah kekurangan pemain baru di bidang kuliner. Mulai dari restoran di pasar yang sedang ramai, sampai model food truck. Semua memang menjanjikan. Apalagi kalau modalnya besar sehingga bisa menyewa tempat yang strategis, merancang interior dengan baik serta instagramable, dan menjual makanan dengan bahan-bahan terbaik. Kelihatannya memang mentereng. Tapi apa jalan selalu mulus? Ya enggak. Mereka pasti berdarah-darah. Lebih banyak pula yang gugur di tengah jalan.

Saya yakin kalau ada penelitian terkait jumlah restoran di Jakarta, jumlah restoran yang tutup di 2015 ini lebih banyak ketimbang restoran yang bertahan.

Bisnis kuliner memang butuh petarung yang liat, punya nafas panjang, serta kesabaran tingkat pertapa. Jangankan warung milik Putra, bahkan restoran milik Gordon Ramsay pun banyak yang bangkrut. Apalagi di masa ekonomi sulit seperti ini. Kalau Googling, ada banyak sekali cerita sekaligus alasan kenapa membuka warung makan atau restoran itu menakutkan dan sebaiknya tidak kamu lakukan.

Putra, dengan sangat menyesal, adalah salah satu petarung yang harus tumbang. Tapi saya yakin, ia bisa bangkit lagi entah seperti apa caranya. Ibarat petinju, ia betah dihajar dan tak akan kapok.

Siang tadi, saya menyantap seporsi pasta aglio dengan tambahan irisan daging asap. Bertabur oregano dan basil dalam jumlah yang royal. Spaghetti yang saya makan adalah porsi terakhir dari spaghetti kering dari stok Putra. Porsi perpisahan. Makanan yang menandakan robohnya warung Putra.

Rasanya khas masakan Putra: tegas dan berani. Saya selalu bersemangat kalau menyantap makanan buatan Putra. Namun sekarang rasa semangat itu hilang.

Berganti dengan rasa masygul. []

Post-scriptum: Ngomong-ngomong, kalau anda punya usaha kuliner atau sedang membutuhkan juru masak, saya membuatkan CV Putra yang bisa diunduh di: CV_Putra(1). Siapa tahu tertarik mengajaknya kerja sama.

Dunia Dari Mata Seorang Asing

$
0
0

Beberapa waktu lalu, Kang Zen RS menulis sebuah kolom yang sangat menarik di Jawa Pos. Judulnya “Keluyuran di Tengah Kota”. Isinya pun memikat sekaligus menyentil, tentang betapa traveling itu bisa “…menyibakkan sebentuk rasa asing yang mencuat diam-diam.”

Sebabnya, tulis Zen, adalah traveling kini menjadi bentuk lain dari kolonialisme. Tulisan Zen senafas dengan tulisan Arman Dhani yang membuat kami berdebat dan berbalas tulisan tentang perjalanan. Zen dan Dhani sama-sama menembak poin bahwa traveling perlahan bergeser menjadi eksploitasi. Ini karena mereka, para pejalan itu, hanya melihat perjalanan dari yang indah belaka.

Berburu apa yang disebut dengan mooi indie. Matahari tenggelam di pantai berpasir putih yang punya jejeran pohon nyiur melambai. Keindahan itu lantas diposting di media sosial. Traveling tak memberikan ruang bagi, misalnya, kerusakan alam di Papua. Sebab itu tak indah.

Traveling juga memberikan perasaan gumun, tulis Zen. Perasaan kaget melihat sesuatu yang baru. Mungkin itu sama ketika para conquistador terhenyak melihat cengkeh bergelantungan dengan subur di tanah Maluku.

Di akhir tulisan, Zen menuliskan bahwa jenis traveling seperti ini “…rentan terantuk menjadi perayaan nasionalisme yang sloganistis dan hipokrisi yang menutup-nutupi kebobrokan negeri sendiri.”

Saya belajar mula perjalanan dari buku komik yang dibelikan oleh ayah. Tentang Christoper Colombus dan Marcopolo. Kisah mereka memantik rasa penasaran saya terhadap tempat yang jauh, yang asing, yang sama sekali tak kita kenali kecuali dari dongeng belaka.

Banyak petualang hebat lahir karena mendengar hikayat seperti itu. Kisah tentang jazirah yang jauh. Tanah yang dijanjikan. Baju terbuat dari sutera terbaik. Rempah tinggal petik. Kolam susu. Tongkat dilempar bisa jadi tanaman. Orang-orang lokal yang ramah dan murah senyum.

Manusia selalu terdorong untuk pergi ke tempat-tempat seperti itu. Entah atas nama apa. Boleh atas nama pengetahuan, penaklukan, atau hanya sekadar penasaran. Hasrat manusia untuk mencari tempat-tempat terasing tak akan pernah surut.

Layaknya orang asing yang datang ke suatu tempat baru, wajar kalau ada perasaan kaget. Gumun, kata orang Jawa dan Zen. Saya menyebutnya sebagai the eyes of a stranger. Mata seorang asing. Mata yang memendarkan ketakjuban atas hal-hal yang baru ia lihat.

Apakah gumunan itu selalu bersifat kolonial? Apakah hanya monopoli orang “kota” yang pergi ke “desa”? Tentu tidak. Ia bisa dirasakan oleh siapa saja, tak terbatas oleh jenis kelamin, ras, asal usul, strata pendidikan, ataupun umur.

Ia bisa dialami oleh orang Arjasa yang menatap Menara Eiffel. Atau pria asal Cirebon yang masuk ke museum Franz Kafka. Juga orang Semarang yang terbengong melihat gemerlap lampu pencakar langit di New York. Bisa dialami oleh siapa saja. Akan selalu ada keterpukauan yang sukar dilukiskan oleh kata-kata.

Tentu gumunan, atau mata seorang asing itu bersifat temporer. Tak bisa selamanya. Dalam masa tinggal yang panjang, kulit akan tersibak dan kita akan belajar tentang bagian dalam, inti. Ada banyak kisah di sana, yang tak semuanya elok. Keterpukauan itu akan perlahan memudar, atau bahkan hilang, tentu saja.

Mungkin itu yang membedakan seorang pejalan dengan, misalkan, antropolog. Tentu jangan mengharapkan kedalaman kisah dan cerita pada derajat yang sama. Orang yang menetap sejenak dua jenak, lengkap dengan eyes of a stranger, tentu tak bisa menceritakan apa yang dilihat oleh kedalaman mata seorang antropolog.

Tepat di sana, saya setuju dengan Kang Zen. Bahwa orang yang mendalami kotanya sendiri patut dihargai. Tak banyak orang yang menyelami kehidupan kotanya sendiri. Sebab mengenali kota sendiri itu kerap lebih susah ketimbang mengenali kota lain. Sama seperti lebih susah mengenal diri sendiri ketimbang mengenal orang lain.

Salah satu penulis perjalanan favorit saya adalah RZ Hakim, seorang sejarawan partikelir yang lahir dan besar di Jember. Ia banyak sekali menulis tentang Jember. Kini setelah pindah ke Kalisat –salah satu kecamatan di Jember– ia banyak menulis tentang serba serbi kehidupan di Kalisat. Mulai dari soal ludruk, becak, sampai grup musik. Sangat menarik dan memberikan warna sendiri terhadap khazanah tulisan perjalanan di Indonesia. Ia membuat saya yakin, bahwa dunia perjalanan, atau penulisan perjalanan, tidak akan cepat mencapai kejumudan.

Tapi lantas apa Hakim lebih baik, atau lebih ideal, ketimbang pejalan lain yang hanya menghabiskan dua tiga hari di sebuah destinasi? Tentu tidak. Saya juga yakin Hakim tak mau dianggap lebih tinggi. Setiap pejalan tentu punya gaya masing-masing, dan mereka yang berkisah melulu tentang keindahan tentu tidak selamanya mengusung apa yang Zen dan Dhani sebut sebagai kolonialisme.

“Berharap semua pejalan seperti Che Guevara tentu gegabah dan naif.” *

Pada akhirnya jalan-jalan atau keluyuran mengalir di nadi yang serupa. Perihal seperti apa gaya jalan atau seperti apa hasilnya dan mana yang lebih baik atau lebih ideal, tentu kita bisa berdebat sepanjang tahun untuk menentukannya. Dan tetap tak akan ada juntrungannya.

Kalaupun kita berdebat tentang itu, ada baiknya kita berdebat sambil ketawa ketiwi dan nyeruput kopi Aroma. Atau wine dari Praha mungkin, Kang? []

Post Scriptum:

* Itu kutipan dari Panjul. Saya dapat setelah saya menunjukkan tulisan ini dan ia berpendapat. Dia pula yang menyuruh saya untuk tetap mengunggah tulisan ini.

Saya mengumpulkan keberanian selama lebih dari seminggu untuk mengunggah tulisan ini. Ada perasaan takut dan segan yang menjalar sewaktu saya tak sepakat dengan Kang Zen, dan merasa harus menuliskannya. Penyebabnya apa lagi kalau bukan Kang Zen adalah salah satu penulis favorit saya. Pun orang yang sangat saya hormati. Tapi pengalaman ngobrol dan ngebir di malam sebelum pernikahannya, saya tahu Kang Zen akan ketawa ketiwi saja dengan tulisan saya yang berapi-api namun mentah ini. Punten, Kang.

Nyanyi Orang-Orang Kampungan

$
0
0

Kelompok Kampungan adalah nama kelompok musisi yang nyaris serupa mitos. Nama mereka terus terdengar, dituturkan antar generasi, tapi tak banyak yang pernah melihat mereka bermain, terutama generasi pasca 80-an. Musik dan lirik mereka banyak diperbincangkan. Apalagi dandanan yang nyeleneh, kerap memakai sarung yang diselempangkan begitu saja. Dandanan orang kampung, kata mereka.

“Kampungan lahir dari orang kota yang mengartikan kampungan sebagai ungkapan dari ketidaksiapan, lugu, bodoh, kurang ajar, disharmonis, dan masih banyak lagi,” tulis Bram Makahekum dalam web milik Sawung Jabo.

Bram pula lah yang masih setia mengibarkan panji Kelompok Kampungan. Menengok ke belakang, banyak musisi beken yang berkarya di kelompok itu. Dua yang paling akrab, setidaknya bagi saya, adalah Inisisri dan Areng Widodo, yang lantas lebih dikenal sebagai partner Ian Antono dan Achmad Albar dalam menggarap album Indonesian Art Rock.

Setelah dilarang tampil oleh Orde Baru, kelompok ini seperti hilang ditelan bumi. Nama mereka kembali menarik perhatian sewaktu album self titled dan Mencari Tuhan dirilis ulang versi piringan hitamnya oleh Strawberry Rain, label asal Kanada yang banyak merilis ulang album-album cult.

Strawberry Rain merilis terbatas album itu, hanya 500 dan 700 kopi. Di berbagai forum musik, piringan hitam Kelompok Kampungan dibanderol dengan harga mahal. Pernah satu keping dihargai hingga setengah juta. Strawberry Rain menyebut Kelompok Kampungan sebagai “…a progressive folk monster from Indonesia!”

Saya sendiri tak pernah benar-benar akrab dengan Kelompok Kampungan. Hanya mendengar lagunya sepintas lalu. Karena itu, sewaktu mendengar kabar bahwa mereka akan bermain di Taman Ismail Marzuki saya langsung antusias. Kebetulan pula ada seorang kawan yang memberikan tiket gratis. Klop!

Kelompok Kampungan akan berbagi panggung dengan Iwan Fals. Saya menduga akan banyak Orang Indonesia yang datang. Perkiraan saya benar. Saat saya datang, puluhan fans Iwan Fals sudah berkerumun di depan Graha Bhakti Budaya.

Pertunjukan ini patut dipuji dari segi ketepatan waktu. Jam 20.00, Bram dan personel lainnya sudah naik ke atas panggung. Tanpa banyak babibu, mereka langsung memainkan repertoar andalan yang sekaligus jadi nama album: “Mereka Mencari Tuhan”.

Ketika mendengar lagu ini dan melihat Bram mulai melantunkan lirik, saya jadi terbawa suasana. Membayangkan anak-anak muda yang berkumpul di pinggir pantai dan membuat api unggun.

Ada yang seperti SAWITO

Ada yang seperti HAMKA

Ada yang seperti HATTA

Ada yang seperti SUKARNO

Ada yang seperti RENDRA

Ada yang seperti BANG ALI

Ada yang seperti BUDHA

Ada yang seperti JESUS

Saya sempat mikir, kenapa tidak ada yang mirip Harto? Ah sudahlah.

Musik mereka sangat mengasyikkan. Beberapa orang mengatakan mereka adalah band Indonesia pertama yang memadukan musik pop dengan instrumen tradisional seperti kendang atau gong. Saya harus memeriksa lagi informasi itu. Tapi apapun itu, Kelompok Kampungan memang berhasil memadukan musik folk pop dengan alat musik tradisional, tanpa ada yang dianaktirikan. Sesekali, biola masuk ke pertengahan lagu dan mengambil alih pusat perhatian. Tak heran kalau Strawberry Rain menyebut mereka sebagai monster folk.

Di tengah penampilan, ada orasi budaya dari Radhar Panca Dahana. Ia duduk dan memberikan ceramah yang panjang, namun tajam dan menusuk. Beberapa kalimat malah terasa mengagitasi (dalam tone positif). Ia bahkan sempat menantang seorang penonton yang terus-terusan berisik.

“Berisik kok cuma di sana. Ke sini kalau berani!” tantangnya.

Ia memberikan pandangan yang menarik tentang generasi yang tumbuh besar di Orde Baru. Menurutnya, generasi itu tidak hanya tumbuh dengan ketakutan. Melainkan jadi generasi yang tumpul imajinasi. Sebab segala imajinasi atau pikiran yang nyeleneh tak bisa berkembang.

Dari kondisi itu, musisi seperti Kelompok Kampungan, INPRES, hingga Iwan Fals tumbuh dan membangkang. Lagu mereka banyak berkisah tentang kehidupan di sekitar, kehidupan orang-orang yang tertekan dan kalah.

Di lagu “Catatan Perjalanan”, misalkan. Bram, Joko Haryono, dan Dodo menuliskan kisah yang nyaris serupa dengan “Sarjana Muda” milik Iwan. Hanya saja, Kelompok Kampungan memilih jalan yang lebih tragis. Seorang anak SMA yang tak tahu apa-apa, ikut demonstrasi, dan berakhir dengan sebutir peluru yang merobek jidat.

Iwan Fals muncul di sepertiga bagian akhir. Kehadirannya tentu disambut tepuk tangan meriah dan teriakan membahana. Iwan tampil sederhana seperti biasa. Celana jeans, kaos polo, dan sepatu olahraga. Tapi Iwan tetaplah Iwan. Hanya dengan gitar bolong, suara, dan kharismanya, ia bisa menyihir penonton.

iwan-fals_kampungan

Foto oleh: Andrey Gromico

Saya sudah lupa Iwan menyanyikan apa saja. Sialnya pula, saya tak sempat mencatat lagu-lagu yang dinyanyikan. Yang paling saya ingat adalah saat Kelompok Kampungan dan Iwan pura-pura mengundurkan diri dari panggung. Tentu itu strategi klasik untuk memancing antusiasme penonton.

Benar saja, Iwan muncul kembali dan menyanyikan “Bongkar”. Serempak, para penonton menyanyi bareng tanpa komando. Tak saya sadari, bulu kuduk mulai meremang. Sialan benar lagu ini. Saya pikir lagu ini akan kehilangan taji setelah dipakai untuk iklan kopi. Ternyata dugaan saya salah. Ketika dinyanyikan oleh Iwan, lagu ini masih tetap tajam dan menyengat. “Bongkar” kemudian disambung dengan lagu “Kalau” milik Kelompok Kampungan.

Dari sana, suasana menjadi sedikit canggung dan garing. Muncul seorang yang disebut dalang dan mulai mengobrol dengan para personel. Ada naskah di sana, itu jelas. Tapi masalahnya mereka tampak canggung dan beberapa personel bahkan lupa dialog. Penampilan itu jadi terasa lebih menyebalkan karena durasi yang panjang.

Kekurangan itu menggenapi beberapa kekurangan lain. Yang fatal tentu masalah tata suara sebelah kanan yang hidup segan mati tak mau. Beberapa orang penonton malah sempat teriak, “sound-nya juga kampungan!”

Iwan Fals juga tampil terlalu sebentar. Saya sedikit kasihan dengan Orang Indonesia yang rela membayar cukup mahal untuk menonton Iwan. Sang legenda hanya menyanyikan potongan “Bongkar” saja. Saat pertunjukan selesai, beberapa Orang Indonesia menggerutu. “Mengecewakan,” kata mereka. Seharusnya Kelompok Kampungan sedikit “peka” dengan membiarkan Iwan tampil menyanyikan barang dua tiga lagu. Atau paling tidak ya berkolaborasi.

Kelompok Kampungan seharusnya bisa lebih baik dalam mengemas pertunjukan ini. Penonton yang kebanyakan anak muda tak begitu mengenal mereka. Harusnya di sana mereka dikisahkan hikayat tentang Kelompok Kampungan. Sayang, kesempatan itu dilepaskan begitu saja. Padahal Bram pasti punya banyak kisah menarik. Seperti pelarangan tampil, kisahnya tampil di luar negeri, hingga dirilis ulangnya album mereka dalam bentuk piringan hitam oleh label asal Kanada.

Mungkin di pertunjukan yang lain, Om?

Post-scriptum: Pertama kali tayang di sini

Belajar Adil Pada Rokok dan Kretek

$
0
0

I.

“Kamu ini nulis kopi, tapi jarang ngopi. Nulis tembakau, tapi nggak ngerokok.”

Ayah mertua saya berkelakar di sebuah pagi. Langit Jambi masih lumayan pekat dengan asap, walau sudah berkurang drastis. Kami sedang memulai pagi dengan segelas teh dan pisang goreng di depan rumah. Saya cuma ngekek mendengar kelakar ayah mertua itu. Saya memang aktif di website minumkopi.com, tapi mulai mengurangi minum kopi karena beberapa alasan. Dan saya sering sekali menulis tentang tembakau, tapi tak pernah merokok seumur hidup.

Ayah mertua saya bukan yang pertama bercanda soal itu. Ada banyak sekali teman dan handai taulan yang menanyakan hal sama, terutama tentang rokok. Saya selalu selo dengan pertanyaan-pertanyaan mereka.

Yang bikin agak senewen ya kalau menghadapi teman bukan-saudara bukan-kenal baru-baru aja, tapi sudah maen todong: Kamu mengajarkan hal yang buruk dengan menulis tentang rokok dan tembakau. Yang lebih ceriwis akan menuduh dengan semena-mena dan ganas: kamu membela kepentingan asing! Lha kok?

II.

Beberapa waktu lalu, ada seorang kawan di Facebook membagi sebuah foto dari akun anonim. Foto itu bertuliskan bahwa pabrik-pabrik rokok besar adalah milik asing. Disebutlah nama seperti Djarum, Sampoerna, hingga Gudang Garam.

Belakangan, dari tulisan Cak Rusdi, saya tahu kalau propaganda itu berasal dari Herry Chaeriansyah yang mengatasnamakan Koalisi Rakyat Bersatu Melawan Kebohongan Industri Rokok. Kalau disingkat panjang benar. Sayangnya, propaganda itu salah besar dan cenderung ngawur.

Agak ironis sebenarnya. Karena mereka mengusung kampanye melawan kebohongan, tapi mereka sendiri mengusung kebohongan sebagai senjata. Tapi ya sudahlah. Kita tak bisa menghalangi seseorang untuk mempermalukan diri sendiri.

Jadi begini, kalau rajin-rajin Googling dan baca buku, akan kelihatan kalau apa yang disebut oleh Harry –dan disebarluaskan oleh banyak orang yang tidak tahu– itu kengawuran. Sampoerna memang sudah dibeli Philip Morris. Tapi Djarum dan Gudang Garam, untuk menyebut pabrikan besar lain, sama sekali tidak dimiliki oleh asing.

Djarum masih milik Hartono Bersaudara, Budi dan Michael. Gudang Garam bahkan lebih mudah lagi melacak kepemilikannya. Dari data di situsnya, pemilik saham terbesar yang menguasai 69,29 persen saham Gudang Garam adalah PT Suryaduta Investama, sebuah perusahaan yang masih merupakan anak perusahaan Gudang Garam. Markasnya juga di Kudus.

Soal isu kepemilikan ini bahkan sudah dikupas mendalam oleh Ahmad Taufiq di salah satu tulisannya di Mojok.

Penyebar isu murahan itu juga agaknya kurang banyak membaca atau mencari tahu. Dia pikir, perusahaan rokok hanya sebatas Djarum, Sampoerna, atau Gudang Garam. Padahal ada banyak sekali, mencapai ratusan, pabrik rokok skala menengah dan kecil.

III.

Pernah dengar nama Goenoeng & Klapa? Itu adalah salah satu perusahaan rokok tertua di Indonesia, berdiri pada 1913 di Kudus.Mark Hanusz pernah menulis sedikit tentang perusahaan ciamik ini di bukunya, Kretek: The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes.

Dari buku itu pula saya melihat foto tempat para pekerja setiap hari duduk dan melinting kretek. Sinar matahari yang masuk dari celah-celah jendela, menghadirkan perasaan damai yang menenangkan. Saya membayangkan para pekerja, terutama ibu-ibu berumur sepuh, melinting kretek dengan duduk dan bercengkrama sembari ketawa ketiwi. Membincang cucu yang mulai beranjak dewasa, atau mengisahkan tentang betapa baiknya calon menantu.

Goenoeng & Klapa bukan perusahaan raksasa dengan modal triliunan. Itu adalah perusahaan skala kecil dengan jumlah karyawan hanya 35 orang. Produk rokoknya pun hanya dijual di sekitar Kudus. Mereka juga masih menggunakan tali pengikat rokok, sesuatu yang sudah lama ditinggalkan oleh perusahaan rokok modern.

Goenoeng & Klapa tidak sendirian sebagai perusahaan rokok unik dan bernafas panjang. Ada juga Nojorono yang sudah berdiri sejak 1932.

Produknya yang paling terkenal adalah Minak Djinggo. Perusahaan ini dijalankan turun temurun oleh 5 keluarga besar. Rokok ini populer di kalangan nelayan dan pelaut. Hal ini tak lepas dari inovasi mereka dalam membuat rokok tahan air. Mereka pun sudah mematenkan temuannya itu.

Di luar pabrikan itu, ada ratusan pabrik skala kecil dan menengah lain yang memproduksi berbagai merek kretek yang mungkin nyaris tak pernah anda dengar namanya. Mulai Grendel, Sukun, Lodjie, Omplieng, Bintang Buana, Paku Bumi, atau Sendang Mulyo. Bahkan dulu sekali, saya pernah melihat rokok rumahan dari Ujung Berung, Bandung. Karena tempat itu identik dengan musik metal, bungkus rokoknya pun bergambar tengkorak dan typografi-nya pun metal. Saya tertawa geli waktu melihat rokok itu.

Apa mereka milik asing? Kalian sudah tahu jawabannya.

Perusahaan-perusahaan rokok skala kecil dan menengah ini yang sekarang sedang berjuang untuk sekadar hidup. Tak perlu jauh-jauh berbicara tentang laba miliaran atau saham yang laku keras. Bisa bertahan tidak bangkrut saja sudah bagus.

IV.

Di Kudus, kota yang namanya harum sebagai kota kelahiran kretek, ada 40 perusahaan rokok yang bangkrut dalam 8 tahun terakhir. Pada 2014, perusahaan rokok di Kudus tinggal 31 perusahaan. Kenapa perusahaan rokok bisa bangkrut?

Ada banyak sebab. Misalkan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 200 tahun 2008. Di sana, pemerintah mewajibkan usaha rokok harus mempunyai tempat bekerja atau produksi rokok seluas 200 meter persegi, dari awalnya hanya 60 persegi.

Peraturan konyol ini tentu saja mematikan usaha rokok rumahan. Perusahaan skala kecil yang hanya punya 6 hingga 30 pekerja biasanya cuma punya ruang kerja seluas 60 meter persegi, sesuai peraturan awal pemerintah. Ketika ada peraturan baru, mereka jelas tak punya dana untuk memperluas ruangan kerja. Akibatnya, banyak perusahaan kecil yang memproduksi sigaret kretek tangan bertumbangan.

Secara nasional, jumlah perusahaan rokok turun sangat drastis. Pada tahun 2009, jumlah pabrik rokok sebanyak 3.255. Jumlah itu terus merosot, hingga pada 2014 jumlah pabrik rokok hanya tinggal 600 saja.

capture-20151106-024612

Padahal perusahaan rokok kecil di daerah telah memberikan pekerjaan bagi banyak orang. Tutupnya perusahaan rokok lokal skala menengah dan kecil ini juga berdampak pada pemutusan hubungan kerja. Dari data Gabungan Perusahaan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia, pengurangan ini terjadi sejak tahun 2012. Pada 2014, pekerja sigaret kretek tangan hanya tinggal 160 ribu orang, berkurang sebanyak 22 ribu tenaga kerja dari tahun sebelumnya.

Penyebab lain tentu adalah terus naiknya cukai secara serampangan. Tahun ini, pemerintah menargetkan pendapatan dari cukai sebanyak Rp 139 triliun. Naik 25 persen dari target tahun lalu yang berjumlah Rp 111 triliun.

capture-20151104-184928

Dengan kenaikan cukai yang gila-gilaan, harga rokok pun terpaksa dinaikkan. Padahal, pemerintah sebagai tukang pungut cukai, mewajibkan perusahaan rokok memberikan gambar seram untuk mengurangi jumlah para perokok. Belum lagi rokok-rokok lokal berharga sangat murah, yang membuat pendapatan mereka terus tergerus. Menaikkan harga pun tak bisa, karena konsumen mereka adalah kalangan menengah ke bawah.

V.

Yang mungkin tidak disadari banyak orang adalah betapa kompleksnya industri rokok. Perusahaan rokok, terutama produk kretek, tidak hanya bergantung pada tembakau. Ada cengkeh dan juga saus rokok. Karena itu pula, ada banyak diversifikasi usaha dalam industri rokok.

Mulai dari penjual tembakau, pengepul cengkeh, penjual saus kretek, penjual bumbu, percetakan kertas rokok, penyewaan oven tembakau, penjual mesin linting manual, mesin pertanian, hingga suku cadang mesin rokok.

Mereka ibarat satu tubuh. Kalau ada satu yang lumpuh, maka seluruh tubuh juga akan merasakan sakit yang sama. Buktinya sudah ada di mana-mana. Pabrik rokok tutup, tentu akan berdampak pada usaha yang lain. Mulai dari pertanian hingga berkurangnya lapangan kerja.

Industri kretek kini semakin gencar diserang. Mulai dari isu murahan kepemilikan asing, hingga melalui regulasi, salah satunya adalah Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).

Di guideline pasal 9 dan 10, jelas sasaran tembaknya adalah kretek. Musababnya, guideline itu mengharuskan nihilnya daya tarik produk tembakau, salah satunya aroma. Ini artinya kretek yang beraroma cengkeh tidak boleh beredar. Kalau pakta ini diketok, maka tamat sudah industri kretek. Padahal aroma dan rasa cengkeh itu yang membuat legenda-legenda seperti Agus Salim atau Soekarno menggemari kretek.

Tentu tulisan ini tidak mengajak atau menghimbau anda untuk merokok. Wong saya sendiri juga ndak merokok. Saya hanya iseng mengajak anda untuk berpikir adil. Susah memang. Tapi kalau anda bisa mengecam J*nru atau PK*Piy*ngan karena sering menyebar berita fitnah, masa anda sendiri menyebar kabar fitnah hanya karena tidak suka pada rokok dan kretek?

Huft sekali. []

Buku Digital dan Pencuri Buku

$
0
0

Beberapa hari lalu saya pergi ke perpustakaan Pusat Studi Pariwisata UGM. Saya datang agak siang. Sudah sepi. Hanya ada dua, tiga motor di parkiran. Saya masuk ke perpusatakaan. Mengisi buku tamu. Terakhir pengunjung datang adalah tiga hari lalu.

Di dalam perpustakaan juga sepi. Tak ada penjaga. Walau sebenarnya belum jam pulang. Hanya ada satu pengunjung. Perempuan, dengan ponsel iPhone dan laptop Asus. Ia sibuk mengetik di ponsel. Sesekali membaca buku. Kemudian kembali lihat layar ponsel.

Saya mencari beberapa skripsi, tesis, atau disertasi tentang potensi wisata. Untuk menambah kajian pustaka. Namun tak ada yang benar-benar membantu. Saya malah kembali membuka koleksi buku digital saya. Saya mikir, mungkin 5 atau 10 tahun lagi orang tak perlu pergi ke perpustakaan untuk membaca buku.

Rani pernah heran dan tanya: kenapa saya jarang pergi ke perpustakaan untuk mencari bahan tesis. Saya bilang, semua yang saya butuhkan ada di laptop. Kalau butuh cetak, tinggal pergi ke copy centre terdekat. Murah meriah. Pakai kertas book paper. Saya mencetak beberapa buku digital agar bisa saya bawa dan baca ke mana-mana. Murah. Satu buku kira-kira setebal 250 halaman, hanya menghabiskan ongkos Rp 18 ribu.

Dan perpustakaan di Indonesia tentu tidak semegah di Amerika atau Eropa. Di dua kawasan itu, buku adalah barang penting. Koleksinya lengkap. Dari banyak sekali penulis. Merentang ke berbagai tema. Musik. Film. Pariwisata. Ekonomi. Agama. Banyak sekali.

Di Indonesia, banyak perpustakaan hanya memiliki sedikit buku. Bahkan di kampus saya, perpustakaan hanya memiliki sekitar 5 rak, setinggi dua meter, dengan tiga atau empat kolong. Itu pun isinya tak penuh.

Tapi biar bagaimanapun, memiliki buku dalam bentuk cetak itu menyenangkan. Bisa dilihat dan dipegang. Bisa juga dibaca di mana saja. Di toilet. Di dapur. Di angkutan umum. Tak perlu khawatir baterai gawai habis.

Karena itu, didorong sepinya perpus dan nihilnya penjaga, saya sempat kepikiran ingin mencuri dua tiga buku. Godaan itu teramat kuat. Apalagi setelah saya melongok ke beberapa kolong rak, tampak debu tipis di atas buku. Tanda tak banyak dibaca. Sayang sekali.

Namun bayangan tertangkap, diciduk, dipermalukan, bahkan bisa dipecat dari kampus, berhasil membuat saya mengurungkan niat mencuri buku itu. Saya ternyata tak seberani beberapa orang kawan yang punya catatan gemilang dalam jagat pencurian buku perpustakaan. Hei Irwan Bajang dan Arman Dhani, I am talking to you!

Saya lantas mengepak barang. Memasukkan laptop. Pergi dari perpustakaan. Sebelum dorongan mencuri buku kembali lagi dan semakin kuat. []


Kembang Pete

$
0
0

Di pekarangan depan rumah, Mamak menanam pohon petai. Ia tumbuh tinggi. Daun dan kembangnya lebat. Tapi tak berhasil menghasilkan buah sama sekali. Saya sering meledek pohon ini. Tapi toh Mamak tak menebangnya hanya karena ia tidak berbuah. Bisa jadi karena buah petai sejatinya tidak lebih penting ketimbang kembang petai.

Sebab bagi Iwan Fals, kembang petai adalah tanda cinta abadi namun kere.

Tadi malam, di perjalanan menuju timur Jawa, Bang Jibal mendendangkan “Kembang Pete“. Saya menyanyi dalam hati. Beberapa jam setelahnya, saya menelpon Mamak. Ia baru saja sholat tahajud. Kami berbincang cukup lama. Saya rindu sekali dengan perempuan yang berani bertaruh nyawa demi anak-anaknya ini.

Lagu “Kembang Pete” juga membuat saya rindu pada Rani. Beberapa lirik lagu itu membuat saya meringis. Iwan muda selalu bisa memahami kaum miskin yang berani jatuh cinta. Ia bisa paham betapa sedihnya sakit ketika uang di dompet nyaris tak ada. Atau terpaksa harus menjahit dagu karena kecelakaan, saat uang hanya cukup beli mie instan dan dua butir telur.

Sewaktu memutuskan untuk melamar Rani, saya tidak punya pekerjaan tetap. Ketika akhirnya punya gaji pertama, semua langsung ludes untuk membeli cincin kawin. Saya tak punya apa-apa, kecuali keberanian dan cinta… Taeeeeek!

Tapi hidup selalu menemukan jalannya masing-masing. Kami masih bisa bertahan dengan segala keterbatasan. Berusaha menguatkan saat ada yang melemah. Semoga selamanya begitu.

Saat halimun perlahan turun malam ini, saya kembali mendengarkan “Kembang Pete” sembari menyebarkan pikiran pada Mamak dan Rani, dua orang perempuan yang saya cintai sepenuh hati.

Semoga hidup kita bahagia.
Semoga hidup kita sejahtera.

*ditulis sembari terus diintip oleh mas Puthut*

Murai oh Murai

$
0
0

Malam ini dapat pelatihan singkat jenis-jenis murai dan karakteristiknya dari seorang teman penghobi burung. Menurutnya, burung murai yang paling bagus itu berasal dari Medan. Kalau yang paling jelek itu dari Lampung. “Jambi masih di tengah-tengah,” ujarnya.

“Lha burung kan berpindah-pindah. Gimana cara tau kalau murai itu dari Medan?”

Kata teman saya, murai Medan punya ekor paling panjang. Bisa sampai 20 centimeter. Ekornya juga bergerak-gerak seperti reog. Murai yang nyaris serupa adalah murai Aceh. Ekor panjang, namun dengan ukuran tubuh yang lebih besar.

Kalau murai dari Nias, warna kepala hingga ekor hitam. Panjang badannya sekitar 18 centimeter. Nah, pembedanya dengan murai Medan adalah jenis Medan punya warna putih di atas ekor.

Percakapan ini bermula dari cerita sang kawan yang sedang pusing. Makan tak enak. Dicium istri terasa hambar. Penyebabnya: murai kesayangannya lepas dari kurungan. Saya tahu perasaannya.

Almarhum Ayah pernah menjadi penghobi burung. Dulu, di puncak kegilaan terhadap hobinya, ada puluhan jenis burung di rumah. Mulai cendet, kacer, kenari, sampai cucak rowo. Suatu hari burung kesayangannya hilang. Ia mengajak saya mencarinya. Berkeliling. Bertanya pada tiap anak yang hobi menjaring burung. Hasilnya nihil. Burungnya tak kembali. Ayah lantas jadi mirip orang digendam. Linglung.

“Murai itu gak ada yang murah. Yang sudah bisa berkicau harganya bisa Rp 2,5 juta,” kata teman saya itu, mengenang kembali rasa pahitnya.

Saya membayangkan ekspresi kawan saya yang muram itu. Tapi saya pasti akan tertawa geli. Ia memang dikenal punya ekspresi yang bisa memancing tawa. Kawan saya itu tambah pusing karena sudah memelihara murai sedari belum bisa berkicau. Ia menyebut harga Rp 1,25 juta saat pertama membeli. Mahal. Apalagi untuk saya yang tak hobi burung.

“Istrimu tahu soal harga segitu?” goda saya.

“Tahu dong. Kan sebagai keluarga kami harus terbuka. Kenapa, Ran?”

“Oh enggak, mau aku pakai buat bahan tulisan.”

“Hehh! Ojo cuk. Aku bilang ke istriku harganya cuma Rp 700 ribu.”

Saya ngikik.

Pariwisata Musik

$
0
0

Seperti yang sudah pernah saya tulis di beberapa kesempatan, saat ini saya sedang menulis tesis tentang pariwisata musik di Indonesia. Sudah masuk tahap akhir. Semoga bulan depan semua sudah kelar. Saya juga sudah jenuh dan capek dikejar urusan kampus. Hehe.

Tentu saja saya tak ingin meracau tentang penggarapan tesis di tulisan ini. Apa yang ingin saya bagi adalah sekilas tentang pariwisata musik.

Pariwisata musik adalah bagian dari new tourism, pariwisata baru. Bisa dibilang gerakan itu adalah pemberontakan atas kejumudan pariwisata lawas yang salah satu cirinya adalah mass tourism. New tourism biasanya bersifat personal. Wisatawan –terutama berusia muda– mencari wisata yang sesuai dengan hobi atau kesukaannya. Maka lahirlah berbagai bentuk wisata baru. Mulai dari ekowisata, wisata alam liar, hingga wisata musik.

Sejak kapan wisata musik ada? Sebelum sampai ke sana, perlu digarisbawahi bahwa industri pariwisata masih relatif baru. Meski perjalanan sudah ada sejak nabi Adam diturunkan ke dunia dan dikutuk mencari Hawa. Industri pariwisata bisa dikatakan mulai berkembang di negara-negara industrialis abad ke 17. Pencetusnya adalah institusi yang disebut Grand Tour.

Institusi ini adalah sekumpulan orang-orang elit seperti mahasiswa, pejabat, dan para pedagang besar. Mereka jamak berpergian keliling Eropa untuk mencari pendidikan terbaik sekaligus juga rekreasi. Saat itu fokus dari Grand Tour adalah sastra, arkeologi, dan arsitektur. Musik hanya mengambil sedikit bagian.

Wisata musik mulai berkembang di Eropa pada abad ke 19. Para agen perjalanan kala itu sudah mulai mempromosikan musik-musik opera. Di Venesia misalnya, ada banyak band dari kesatuan militer untuk menghibur para wisatawan. Di Napoli, para pemain musik bayaran mulai muncul saat festival-festival diadakan.

Pertunjukan musik klasik seperti ini adalah bentuk pertama pariwisata musik. Sejak saat itu wisata musik perlahan mulai berkembang. Terutama setelah Perang Dunia I dan era Great Depression. Pasca dekade 60-an, di mana transportasi makin beragam dan seperti melipat jarak, wisata musik semakin menemukan tempatnya.

Secara sederhana, wisata musik dapat diartikan sebagai berpergian ke suatu tempat dengan tujuan dan atau alasan musik. Baik itu mendatangi festival dan konser musik, datang ke tempat bersejarah, hingga ke makam para musisi legendaris. Mulai dari menonton festival Glastonbury, menyambangi Abbey Road, atau berziarah ke makam Jim Morrison.

Wisata musik sekarang dianggap sebagai kekuatan ekonomi penting bagi kota-kota kecil. Salah satu bentuk paling populer dari wisata musik adalah festival musik. Seiring dengan berkembangnya wisata musik, festival juga turut berkembang. Bahkan beberapa kota mengadakan festival musik sebagai acara wisata tahunan. Hal ini dikarenakan festival musik bisa jadi identitas bagi kota yang tidak punya destinasi wisata unggulan

Salah satu contoh paling menarik adalah Liverpool, kota industri dan pelabuhan di Inggris. Paska dekade 60-an, Liverpool mengalami krisis karena pabrik dan pelabuhan sudah mulai dikuasai oleh tenaga mesin. Akibatnya sumber daya manusia menjadi tidak dibutuhkan. Hal ini membuat jumlah pengangguran meningkat dengan drastis.

Pada dekade 80-an, keadaan sosial ekonomi warga Liverpool sudah semakin compang-camping. Pemerintah mulai mencari cara baru untuk melakukan pemulihan ekonomi. Akhirnya pemerintah kota Liverpool fokus kepada pariwisata musik sebagai pendongkrak ekonomi kota.

Hal ini wajar, sebab Liverpool dikenal sebagai kota kelahiran Beatles, salah satu band terbesar di dunia. Karena itu kota ini punya banyak situs-situs bersejarah yang berkaitan dengan Beatles. Sejak kematian vokalis Beatles, John Lennon, pada tahun 1980, kunjungan wisatawa ke kota Liverpool guna mendatangi situs-situs Beatles semakin meningkat. Lalu mulailah Liverpool mengemas diri sebagai kota kelahiran Beatles. Liverpool telah sukses “menjual” Beatles untuk jadi brand baru bagi kota tersebut.

Di luar Beatles, Liverpool juga punya beberapa festival musik skala internasional yang selalu sukses mendatangkan ribuan wisatawan.

Baca Buku Apa?

Sebenarnya, jika dibandingkan dengan kajian pariwisata lain, referensi wisata musik masih amat minim. Sejak tiga tahun lalu saya mulai berburu referensi, hanya ada belasan buku atau tesis tentang wisata musik. Sangat jauh jika dibandingkan dengan, misalkan, ekowisata atau wisata budaya. Ada ratusan buku dan kajian soal itu.

Dari jumlah yang sedikit itu, saya sangat menyarankan anda untuk membaca buku Music and Tourism: On the Road Again karya dua akademisi Australia, Chris Gibson dan John Connel. Buku ini mengupas secara tuntas mengenai pariwisata musik. Mulai dari virtual tourism; musical landscape; musik dalam kajian pasar, ekonomi, sosial, dan pariwisata; hingga pembahasan mengenai musik dan identitas keaslian suatu daerah. Kawasan kajiannya pun sangat luas, mencakup nyaris semua benua: Amerika, Eropa, Afrika, hingga Asia.

Ada juga tesis milik Concepcion Regidor Rivero yang berjudul Impacts of Music Festival on Tourist’ Destination Image and Local Community yang diterbitkan pada 2009. Rivero membahas mengenai dampak festival musik terhadap pembentukan citra dan identitas baru suatu daerah. Rivero menyatakan bahwa festival musik berpengaruh besar, terutama pada bisnis loka. Ia juga mengkaji mengenai bagaimana sebuah festival musik bisa mengangkat peran serta dan memberdayakan komunitas lokal.

Selain Rivero, referensi cukup bagus mengenai pariwisata musik berasal dari Richard Bret Campell yang menuliskan paper berjudul A Sense of Place: Examining Music-based Tourism and its Implication in Destination Venue Placement (2011). Paper itu meneliti tentang pariwisata berbasis musik dan hubungannya dengan perkembangan manusia, agama, hingga politik.

Selain itu ada beberapa kajian lain yang cukup menarik. Mulai dari Daniels Bowen yang menulis Does the Music Matter? Motivation for Attending a Music Festival. Event Management; S. Cohen yang menulis beberapa paper tentang Beatles dan industri musik di Merseyside, hingga Irina Krupnova yang menulis tentang pengaruh line up terhadap jumlah penonton dalam festival musik.

Oh ya, kalau anda suka statistik –kalau ahli, tolong ajari saya sekalian– anda perlu membaca laporan dari UK Music tentang festival musiknya. Laporan mereka sangat dahsyat. Menampilkan data yang komprehensif dan dikemas dalam bentuk yang sangat pop. Dengan warna yang menarik mata dan penjelasan yang sangat cemerlang.

Britania Raya memang yang terdepan kalau bicara soal wisata musik. Bahkan mereka punya lembaga khusus bernama UK Music untuk mendokumentasikan apapun terkait wisata musik. Lembaga itu bekerja sama dengan Universitas Oxford untuk membuat kajian tentang wisata musik. Dari sana, kita bisa membaca tentang jumlah pengunjung tiap tahun, negara mana saja yang paling banyak dikunjungi, hingga kontribusi terhadap ekonomi lokal. Kajian UK Music tahun 2015 bisa dibaca dan diunduh di sini.

Di lain kesempatan, mungkin saya akan menulis sedikit tentang beberapa hasil penelitian saya. []

Post-scriptum: Kalau anda tak bisa menemukan referensi yang saya sebutkan, sila tulis alamat email anda di kolom komentar. Nanti akan saya kirim beberapa referensi tentang wisata musik.

Hiroshima dan Bu Kris

$
0
0

At exactly fifteen minutes past eight in the morning, on August 6, 1945, Japanese time, at the moment when the atomic bomb flashed above Hiroshima, Miss Toshiko Sasaki, a clerk in the personnel department of the East Asia Tin Works, had just sat down at her place in the plant office and was turning her head to speak to the girl at the next desk. At that same moment, Dr. Masakazu Fujii was settling down cross-legged to read the Osaka Asahi on the porch of his private hospital, overhanging one of the seven deltaic rivers which divide Hiroshima; Mrs. Hatsuyo Nakamura, a tailor’s widow, stood by the window of her kitchen, watching a neighbor tearing down his house because it lay in the path of an air-raid-defense fire lane; Father Wilhelm Kleinsorge, a German priest of the Society of Jesus, reclined in his underwear on a cot on the top floor of his order’s three-story mission house, reading a Jesuit magazine, Stimmen der Zeit; Dr. Terufumi Sasaki, a young member of the surgical staff of the city’s large, modern Red Cross Hospital, walked along one of the hospital corridors with a blood specimen for a Wassermann test in his hand; and the Reverend Mr. Kiyoshi Tanimoto, pastor of the Hiroshima Methodist Church, paused at the door of a rich man’s house in Koi, the city’s western suburb, and prepared to unload a handcart full of things he had evacuated from town in fear of the massive B-29 raid which everyone expected Hiroshima to suffer. A hundred thousand people were killed by the atomic bomb, and these six were among the survivors. They still wonder why they lived when so many others died. Each of them counts many small items of chance or volition—a step taken in time, a decision to go indoors, catching one streetcar instead of the next—that spared him. And now each knows that in the act of survival he lived a dozen lives and saw more death than he ever thought he would see. At the time, none of them knew anything.

Kakidashi Hiroshima itu sebenarnya biasa saja. Seperti laiknya berita di koran sore Amerika. Panjang. Dengan deskripsi yang apik. Namun tak ada yang berlebihan di sana. Tak ada pula kalimat yang benar-benar mencolok sehingga bikin mata pembaca melekat.

Hiroshima dikerjakan oleh John Hersey pada 1945, dan diterbitkan pada Agustus 1946 di majalah The New Yorker. Saking istimewanya –dan juga panjang– Hiroshima menjadi satu-satunya tulisan di edisi New Yorker itu. Sekitar dua bulan setelah terbit di New Yorker, Hiroshima dicetak dalam bentuk buku. Laris manis. Terjual jutaan kopi. Masih dibaca hingga sekarang. Karya itu kerap disebut sebagai naskah jurnalistik terbaik sepanjang masa.

Kemarin sore, seperti biasa, saya dan Rani mengerjakan ritual sehabis gajian. Ia pergi cuci mata. Sekalian membeli kado di mall Blok M. Saya berkeliling Blok M Square untuk cari buku bekas. Di sebuah kios, mata menumbuk Hiroshima terbitan Vintage. Saya menawar.

“45 ribu,” kata si penjual.

“15 ribu aja lah. Tipis gini.”

Tebakan saya, sang penjual tak tahu Hersey. Saya menambahkan kalimat provokasi yang biasanya selalu berhasil kalau menawar buku.

“Nemunya di bawah ini. Keselip. Gak bakal ada yang beli dah.”

Sang penjual setuju. Saya keluarkan tiga lembar lima ribuan. Lucunya, di toko yang sama, saya menemukan Hiroshima versi Bahasa Indonesia. Saya sudah punya. Tapi ingin beli lagi untuk diberikan entah pada siapa. Saya coba tawar.

“Samain ya, 15 ribu?”

“Wah jangan, buku terkenal itu. 40 ribu dah.”

Saya nyengir. Batal beli, tentu saja.

Malam itu kami pungkasi dengan bersantap di penyetan Bu Kris, di bilangan Fatmawati. Di Surabaya, tempat asalnya, kedai ini bisa dibilang legendaris. Cabangnya ada di mana-mana. Saya memesan bakso goreng penyet. Rani pesan garang asem daging. Sambalnya, seperti biasa, nonjok dan mengoyak lidah. Garang asemnya kuat rasa kecap. Gelap dan manis. Malah ada seperti jejak kluwak. Nyaris mirip rawon.

Usai itu, kami pulang dengan bahagia. []

Rujak Madura di Jakarta

$
0
0

Rujak Madura dan rujak cingur itu serupa tapi tak sama. Nama yang pertama, memakai petis merah. Beken dengan nama petis Madura. Seperti karakter masakan Madura, petis Madura jauh lebih asin dan gurih ketimbang petis hitam yang bercitarasa sedikit manis.

Kalau rujak cingur ala Surabaya, biasanya tak pakai petis Madura. Cukup petis hitam. Makanya warnanya hitam pekat. Kalau rujak Madura kebalikannya. Zonder petis hitam, hanya petis Madura. Warnanya jadi cokelat berkilat. Rasanya pun lebih gurih, dengan tendangan rasa asin yang menonjol.

Sejauh pengamatan saya, rujak Madura hanya populer di daerah asalnya dan jazirah Tapal Kuda: Jember, Bondowoso, Lumajang, Situbondo. Daerah itu memang banyak dihuni oleh pendatang asal Madura yang dulu didatangkan untuk menggarap kebun-kebun milik Belanda.

Para pendatang asal Madura ini lantas berbaur dengan masyarakat Jawa yang datang dari kawasan Mataram. Karena itu penduduk di Tapal Kuda kebanyakan bisa berbahasa Madura, tapi tak mau disebut sebagai orang Madura. Mereka punya identitas sendiri: pendalungan, atau orang campuran. Meski begitu, perihal rasa mereka tetap tak jauh dari leluhur, menyukai rasa asin dan gurih khas masyarakat pesisir. Tak heran kalau rujak dengan petis Madura memang hanya populer di Madura dan kawasan Tapal Kuda.

Meski tak memakai petis hitam ala rujak cingur, isiannya nyaris sama. Timun, tempe, tahu, kedondong mangga, cingur, kangkung, dan toge. Di Bangkalan, Madura, saya pernah menemukan rujak dengan isian buah jambu monyet. Memberi rasa sepat yang unik.

Kalau di Jember, rujak langganan saya ada di bilangan Raden Patah. Dekat SD saya. Rujak ini langganan ayah dan mamak sejak masih kuliah. Usaha ini diteruskan oleh anaknya. Ada pula rujak Mbah Minah di belakang TK Pertiwi. Rujak ini sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang. Mbah Minah kini sudah meninggal. Saya belum sempat datang ke warung yang terletak dalam gang sempit ini selepas beliau meninggal. Bisa jadi rasanya sedikit berubah.

Malangnya, di Jakarta nihil penjual rujak Madura. Adanya rujak cingur ala Surabaya yang pakai petis hitam dan agak manis itu. Dan sejak beberapa hari lalu saya ngidam rujak Madura. Bayangan petis yang kental dan berwarna cokelat, dengan harum laut yang kuat, serta rasa asin yang menggelitik lidah, begitu mengganggu tidur saya.

Iseng, saya curhat ke Budi soal keinginan makan rujak Madura. Bagi yang belum tahu, Budi adalah kawan saya semenjak lama sekali. Kami sudah berteman semenjak sekolah di SMP yang sama. Kemudian di SMA yang juga sama. Begitu pula ketika kuliah di jurusan dan kampus yang sama. Berkali-kali mengulang mata kuliah yang sama (apalagi kalau bukan Grammar dan Syntax), hingga sekarang pun bersama-sama memburuh di Jakarta. Mendengar rengekan saya, tak dinyana ia mengajak saya untuk membuatnya.

“Ibunya Rere (mertua Budi) selalu stok petis Madura, gak usah khawatir,” katanya. Kebetulan, mertua Budi berasal dari Madura.

Akhirnya saya rela bangun pagi untuk kemudian memacu motor ke rumah Budi yang terletak di Sawangan. Untung Jakarta sedang ramah. Para penghuninya banyak yang memindah macet ke arah Bandung dan Yogyakarta. Jadi jalanan lumayan kosong melompong. Perjalanan ke rumah Budi hanya butuh 40 menit, kalau di hari biasa butuh 1 jam.

Ternyata Budi juga berjuang keras untuk mewujudkan rujakan ala Madura ini. Ia kerepotan mencari pisang kluthuk (di Jakarta disebut dengan pisang batu). Di pasar manapun, Budi tak bisa mendapat pisang kluthuk. Padahal pisang kluthuk ini adalah elemen kunci dalam rujak Madura. Budi mencari pisang ini hingga Ciputat, sekitar 10-12 kilometer dari rumahnya.

Akhirnya pisang kluthuk didapatkan di lapak penjual rujak manis. Tentu saja sebenarnya pisang kluthuk itu tidak dijual. Tapi Rere, yang sedang hamil 5 bulan, merajuk.

“Ayolah, Pak. Saya sedang ngidam nih.”

Akhirnya bisa ditebak: sang bapak iba dan menjual setandan pisang kluthuk itu. Hehehe.

Saat saya sampai, Budi baru saja usai menggoreng tempe dan tahu. Juga sudah mencuci bersih toge dan merebus kangkung. Kacang juga sudah digoreng. Petis siap sedia. Air asam siap dituang. Ulekan pun demikian. Cingurnya mana? Kebetulan, saya dan Budi kurang suka cingur. Entah kenapa. Apalagi mengolah cingur itu sedikit susah. Kalau salah perlakuan, cingur bisa amis. Ditambah lagi, agak susah mencari cingur di pasar dekat rumah Budi.

Budi kebagian tugas membuat semuanya. Dia juga ingin membuktikan pada Rere kalau membuat rujak itu perkara gampang.

Langkah pertama, kupas dulu pisang kluthuk. Lalu diiris tipis. Beri kacang. Kemudian siram air asam. Tabur sedikit garam. Ulek hingga setengah halus. Kasih petis. Ulek lagi sampai menyatu. Kasih air hingga adonan larut. Budi semangat sekali mengulek dengan tangan kirinya (omong-omong, Budi memang kidal). Setelah saus rujak sudah siap, tinggal potong tempe, tahu, ditambah dengan sejumput toge dan sejeput kangkung. Campur.

Saya kebagian menyaksikan dan mendokumentasikan kejadian kudus ini. Saat petis dikeluarkan dari wadahnya, bau pesisir seperti membawa saya pulang ke Jember, kota yang dijanjikan. Saya sudah bisa merasakan asinnya petis bahkan sebelum saya membuka mulut.

cats

Ketika Budi menyodorkan piring, saya terdiam sejenak. Penantian panjang ini akhirnya usai juga. Kami bikin rujak tanpa lontong. Gantinya adalah nasi. Full strike carbohydrate! Saya menyendok nasi, potongan timun, tempe, dan tahu, dan saya cium aromanya. Saya mendegut ludah. Ketika akhirnya masuk mulut, saya tahu kalau saya sudah tak butuh apa-apa lagi untuk bahagia.

Selepas menyantap rujak yang bakal bisa membuat saya tidur dengan nyenyak, Budi mengeluarkan botol berisi cairan hitam.

“Iki cold brew, soko kopi sing mbok kei,” katanya.

Beberapa waktu lalu saya memang memberi biji kopi dari Jember. Dikasih oleh Mas Bebe. Budi lantas menggerindanya, setengah kasar, lalu dibuat cold brew. Rasanya masam dan segar. Enak sekali kalau diberi campuran susu. Saya dan Budi menghabiskan siang dengan bercakap ngalor ngidul. Menjelang sore, saya pamitan. Sebelumnya, saya punya satu permintaan lagi.

“Bud, nambah lagi dong rujaknya.” []

Viewing all 133 articles
Browse latest View live