Kurt Cobain dulu pernah bilang kalau better to burn out than to fade away. Kalimat itu sering diartikan lebih baik terbakar habis ketimbang dilupakan.
Kemarin aku ketemu contohnya.
Di Jember, kampung halamanku tercinta, ada satu kolektif yang bikin acara. Intinya ini band-band Jember lawas, ingin kumpul, bikin gigs kecil, sembari mengajak band-band baru. Katanya sih gigs ini buat jadi pelecut semangat anak-anak muda di Jember untuk terus aktif di kancah musik.
Aku sempat melihat posternya. Wuiiih, banyak band-band keren yang aktif dari akhir 90-an sampai medio 2010-an. Bahkan band legendaris Serversick pun reuni. Bagi yang belum tahu, Serversick di Jember mungkin sudah serupa Burgerkill di Ujungberung.
Namanya juga bikin acara komunitas, selalu ada drama. Tidak mungkin tidak.
Seorang kawan cerita, ada gitaris senior yang ngamuk, atau mungkin lebih tepatnya: pundung, karena bandnya tak diajak main. Dia gitaris keren. Skillnya mumpuni, pengetahuan teknis juga. Maklum, pemilik salah satu studio musik populer di Jember pada masanya.
Dulu waktu aku masih kuliah, ada satu kafe bernama Capo yang kerap bikin gigs tribute. Malam itu, ada gigs tribute to Metallica. Hampir semua band yang tampil minta maaf karena tak sanggup memainkan repertoar dari band ngeri itu. Satu-satunya band yang main lagu Metallica dengan apik, dan seingatku, nyaris tanpa cela, ya band mas gitaris ini.
Balik ke acara komunitas ini. Mas Gitaris senior ini sempat kirim pesan pendek ke ketua panitia untuk minta main. Waktu ketua panitia minta izin untuk menyampaikan ke panitia lain, Mas Gitaris sudah ngambek dan membatalkan pengajuan bandnya main.
Ngambek ini diikuti dengan kata-kata pedas dan ngece para musisi muda lain, yang mungkin hanya punya alat-alat musik medioker dan tak semahal punyanya.
Kupikir ini sebuah langkah tak perlu. Ia jadi seperti anak kecil yang menunggu giliran masuk ke taman bermain, dan karena tak sabar, memilih untuk tantrum.
Namun aku juga mikir. Sikapnya itu kemungkinan besar bukan karena merasa dirinya senior atau lebih jago ketimbang yang lain.
Melainkan: ia merasa dirinya dilupakan.
Memang sepertinya tak ada yang lebih menyakitkan ketimbang dilupakan. Bayangkan dirimu memupuk reputasi selama belasan, atau mungkin puluhan tahun, sebagai gitaris jago, membeli alat-alat mahal, tapi lantas dilupakan oleh sebuah gigs komunitas –dan setahuku Mas Gitaris ini termasuk salah satu pendirinya dulu.
Tak semua orang bisa lapang dada menerima kekalahan-kekalahan kecil tapi menyakitkan seperti ini. Beberapa musisi Jember yang kutahu, memilih melanjutkan hidup sembari tetap ngeband dengan senang-senang, ketimbang meratapi tak ada anak muda era kiwari yang tahu soal kiprah masa keemasan mereka.
Yang juga bikin sedih adalah keinginan Mas Gitaris ini untuk terus manggung dan diundang untuk main. Kalau keinginan ini harus diakomodir, bayangkan betapa ricuhnya festival-festival, atau gigs, yang punya pertimbangan masing-masing dalam menentukan line up.
Dunia musik itu kejam, ia berjalan sedemikian gegas. Menjadi tua, dilupakan, dan tidak relevan itu jadi seperti hukum alam. Persis seperti yang dibilang filsuf Tommy Lee dalam postulat Cog Theory-nya.
Hari-hari belakangan ini, kenyataan itu tak berubah. Ada sekitar 60 ribu lagu diunggah di layanan music streaming Spotify per hari, alias ada sekitar 22 juta lagu per tahun. Apa kamu yakin bisa menonjol di antara rimba belantara itu? Apa kamu yakin bandmu akan dicari orang di antara 22 juta lagu per tahun itu?
Istilah orang Karangko’ong: do you have what it takes?
Maka kupikir lebih baik kamu menyingkirkan keinginan untuk terus diingat dan dipuja, sembari pelan-pelan menerima kenyataan bahwa kelak dirimu akan terlupakan. Itu mungkin akan memberikan kedamaian, alih-alih kemarahan dan penyangkalan. Tenang saja, kamu tak sendiri. Ada miliaran orang yang pernah hidup di bumi, dan sebagian besar dari mereka adalah orang-orang tak dikenal, tak tercatat dalam sejarah, the 99 percenter.
Be humble. Always.
Hidup akan terus berjalan, kamu dan musikmu mungkin akan terlupakan. Jadi mungkin alangkah baiknya jika kita meresapi apa yang dibilang Jeff Mangum.
And one day we will die
And our ashes will fly from the aeroplane over the sea
But for now we are young
Let us lay in the sun
And count every beautiful thing we can see
*foto postingan adalah lukisan Forgotten People (1997) dari Godfrey Blow.